bc

Merindu Nafkah Batin

book_age18+
255
FOLLOW
3.2K
READ
HE
heir/heiress
drama
like
intro-logo
Blurb

Namisya pernah melakukan kesalahan fatal hingga Bima Brawijaya, sang suami membencinya. Ia ingin memperbaiki kekhilafannya, tetapi sayang di saat Namisya sadar, justru kecelakaan yang menimpanya membuat wanita itu koma selama satu tahun. Kesempatan hidup yang diberikan Tuhan memperkuat tekadnya untuk memperbaiki diri dan menjadi istri yang baik bagi Bima. Namun sayang, kepulangan Namisya justru disambut oleh istri baru suaminya.Apakah Namisya akan tetap bertahan demi sang buah hati, meski Bima sering mengabaikannya? Atau justru menyerah setelah yakin bahwa cinta sang suami bukan lagi untuknya?

chap-preview
Free preview
Bab 1
"Selamat datang kembali di rumah ini, Nami. Mama senang akhirnya kamu bangun dari koma dan sembuh seperti sedia kala." Mama Farida--Ibu mertuaku menyambut di pintu masuk. Aku mengangguk dan tersenyum, berterima kasih karena beliau masih sudi menyambut kepulangan menantunya ini. "Bima, bawa Namisya ke kamar kalian. Mama akan memasak makanan kesukaannya untuk nanti kita makan malam." Mas Bima--suami yang menikahiku lima tahun lalu melaksanakan perintah mamanya tanpa banyak kata. Memang, suamiku ini terkenal pendiam. Ia tidak suka berbicara banyak apalagi jika menurutnya hal yang dibicarakan tidak terlalu penting. Bima Brawijaya. Pria berusia tiga puluh dua tahun, putra sulung dari keluarga Brawijaya. Ketampanan dan kesuksesannya selalu menjadi buah bibir di kalangan rekan bisnis juga media. Aku merasa beruntung bisa menjadi pendamping pria sempurna seperti dirinya, meski diriku hanya dari kalangan menengah, bukan sultan seperti keluarga suamiku ini. "Selama datang kembali di rumah, Mbak. Aku senang Mbak sudah sehat dan kita akhirnya bisa bertemu." Aku mengulas senyum tipis. Wanita di hadapanku ini begitu cantik dengan balutan jilbab syar'i yang menutupi hampir seluruh tubuhnya. Dia berjongkok, memeluk tubuhku dengan erat seakan kami ini adalah teman lama yang sekian tahun terpisah dan baru dipertemukan kembali. "Aku Salwa." Dia melirik Mas Bima sekilas setelah mengurai pelukan kami. "Mungkin Mas Bima sudah memberitahu tentangku pada Mbak," katanya lagi. "Ya, Mas Bima sudah menceritakan siapa dirimu." Aku menjawab singkat karena memang tidak ingin terlalu lama berhadapan dengannya. "Alhamdulillah kalau begitu. Maaf jika kehadiranku mungkin akan membuat Mbak tidak nyaman. Tapi aku berharap kita bisa menjadi saudara yang rukun seperti harapan Mas Bima," ucapnya begitu lembut. Saudara yang rukun? Bisakah aku menganggapnya seperti saudara, sedangkan dia melenggang masuk dalam bahtera rumah tangga kami tanpa seizin dariku? Apa pantas wanita yang terlihat baik-baik seperti dirinya menikah dengan pria yang bahkan istrinya sedang berjuang di antara hidup dan mati akibat kecelakaan? "Vano mana? Aku sudah kangen sama dia." Aku sengaja mengalihkan pembicaraan. "Vano sedang tidur siang, Mbak. Tapi sudah aku beritahu kalau mamanya akan pulang hari ini. Vano sangat senang mendengarnya." "Kalau begitu, bisa Mas antar aku ke kamarnya? Aku ingin melihat dia. Anak itu pasti sudah besar sekarang." Mas Bima kembali mendorong kursi roda yang kududuki, tetapi bukan ke arah kamar putra kami. Aku masih ingat jika kamar Vano bersebelahan dengan kamar kami di lantai atas. Akan tetapi, kenapa Mas Bima justru membawaku ke kamar lain? "Kok ke sini, Mas? Bukannya ini kamar tamu?" "Vano masih tidur dan sebaiknya jangan diganggu. Untuk sementara kamu tidur di kamar ini sampai keadaanmu sembuh total. Tidak mungkin kamu tidur di lantai atas sedangkan berjalan saja kamu tidak bisa," ucapnya terdengar begitu dingin. Aku menelan ludah getir. Tidak ada lagi Mas Bima yang biasanya bertutur kata lembut padaku. "Baiklah, Mas. Tapi nanti kalau Vano sudah bangun, tolong bawa dia ke kamar ini." "Ya. Sekarang kamu istirahat, aku harus kembali ke kantor." Aku? Mas Bima bahkan tidak memanggil dirinya "Mas" seperti biasa. "Tunggu, Mas!" Aku berseru sambil memegang lengan Mas Bima. "Apa nanti kamu akan tidur di sini? Kita sudah lama tidak tidur bersama dan aku kangen sama kamu. Please, temani aku malam ini ya, Mas?" Tatapan Mas Bima begitu menusuk. Pegangan tangan ini ia tepis sedikit kasar sebelum akhirnya bergerak menjauh. "Mas--" "Apa kamu pikir aku masih mau tidur denganmu setelah apa yang kamu lakukan dulu? Aku tidak mungkin melupakannya, Namisya. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah lupa," tandasnya tanpa menoleh. Tubuh tinggi tegap itu membuka pintu kamar dan membantingnya dengan kasar. Tubuh ini terperanjat bersamaan dengan air mata yang lolos begitu saja. Rupanya Mas Bima belum melupakan kejadian satu tahun yang lalu. Kejadian yang membuat sikapnya berbalik seratus delapan puluh derajat terhadapku. "Aku minta maaf, Mas," gumamku sembari menepuk d**a yang tiba-tiba terasa sesak. ??? "Mama!" Vano berseru sembari menghambur ke dalam pelukanku. Kudekap tubuh putraku dengan erat, lalu menciumi seluruh wajahnya bertubi-tubi. "Mama kangen, Nak." "Vano juga kangen sama Mama," ucapnya dengan mata yang berkaca. Aku mengulas senyum haru. Meski saat ini Mas Bima bukan milikku seutuhnya, tetapi setidaknya Vano masih menyayangiku sebesar dulu. Mas Bima. Pria itu berdiri berdampingan bersama istri mudanya, memperhatikan kami yang tengah melepas rindu. Lengan kokohnya melingkar di pinggang Salwa tanpa menghiraukan mata ini yang sesekali melirik ke arah mereka. "Sebaiknya kita makan dulu. Kasian Nami belum makan sejak tadi siang. Dia juga masih harus minum obat, kan?" Mama muncul dari arah dapur. Wanita yang masih terlihat cantik di usia yang sudah kepala lima itu menghampiriku dan mengusap lengan ini. Sepertinya ia paham apa yang tengah aku rasakan. Menyaksikan perlakuan mesra Mas Bima kepada istri mudanya membuatku mati-matian menahan cemburu. Aku tidak berhak untuk marah karena Salwa pun menantu di rumah ini. "Biar aku yang mendorong kursi rodanya ya, Mbak." Salwa menawarkan diri dan aku hanya mengangguk pasrah. Makan malam diselingi tawa dan celoteh Vano. Anak itu mencairkan suasana yang sempat terasa canggung karena aku dan Salwa sama-sama mengambilkan nasi untuk Mas Bima. Pria itu tidak melirik ke arahku sama sekali. Sudah bisa dipastikan ia lebih memilih dilayani oleh istri mudanya. Mama mengusap punggung tanganku dengan lembut. Seakan ingin memberi kekuatan kepada menantunya ini dan aku membalasnya dengan menampilkan senyum tulus meski hati terasa perih. "Malam ini Vano tidur sama Mama, ya." Aku berkata ketika makan malam kami sudah selesai. Putraku mengangguk antusias, membuat senyumku melebar sempurna. "Gak papa kan, Bunda? Malam ini Vano sama Papa tidur sama Mama dulu?" Anak itu menoleh ke arah Salwa. "Boleh dong, Sayang. Malam ini memang seharusnya kalian tidur bersama karena Vano dan Papa pasti sangat merindukan Mama." "Salwa." "Mas!" Mas Bima terlihat keberatan, tetapi juga tidak bisa menolak permintaan istri mudanya. Aku ... kembali menelan ludah getir menyaksikan suamiku begitu enggan tidur bersamaku, padahal aku pun masih berstatus sebagai istrinya. "Ya sudah, malam ini Papa tidur sama Vano juga Mama." Mas Bima akhirnya setuju. "Kamu gak papa kalau tidur sendiri?" Ia menoleh cemas ke arah Salwa. "Gak papa, aku kan bukan anak kecil." "Masalahnya, kamu akan sulit tidur kalau tidak dipeluk sama Mas." "Mas! Ada Mbak Nami!" Salwa melotot ke arah Mas Bima dan pria itu malah terkekeh menanggapi ucapan istri mudanya. "Gak akan ngaruh. Toh dia juga tidak akan cemburu." "Mas!"Mata Salwa makin melebar. Aku yang jengah mengajak Vano untuk masuk ke kamar terlebih dahulu. Bisa-bisanya mereka saling melempar canda di hadapanku yang juga istrinya Mas Bima. Meski pria itu telah kecewa padaku, setidaknya hargailah perasaanku dengan tidak menunjukkan kemesraan terus-menerus. Vano terlelap setelah aku membacakan dongeng untuknya. Kebiasaan Vano sebelum tidur tentu masih kuingat meski diri ini sempat terbaring koma satu tahun lamanya. Mas Bima ... pria itu entah ke mana. Bahkan ia melupakan janjinya kepada Vano untuk tidur bersama kami. Pintu yang terbuka mengalihkan tatapan ini dari wajah putraku. Pria yang kutunggu akhirnya datang dengan pakaian yang berbeda. "Mas." Senyumku mengembang. Menyambut kedatangannya yang malam ini terlihat begitu tampan. "Vano sudah tidur?" "Sudah, aku bacakan dongeng dan dia langsung tidur." "Baguslah." Helaan napas lega keluar dari mulutnya. "Kalau begitu aku kembali ke kamar Salwa. Besok pagi-pagi sekali sebelum Vano bangun aku ke sini lagi supaya dia tidak curiga," ujarnya dengan enteng. Mas Bima seakan sengaja ingin kembali melukai perasaanku. "Kenapa harus begitu? Apa salahnya kita tidur bersama? Aku masih istrimu kan, Mas?" Suaraku bergetar akibat menahan tangis. "Sepertinya aku harus menekankan satu hal padamu." Mas Bima menghampiriku. Tangan pria itu mencengkram dagu ini dengan kuat hingga aku mendongak menatapnya. "Jika bukan karena Vano, aku tidak akan sudi menerimamu kembali di rumah ini. Status kita memang masih suami istri, tapi jangan harap aku akan bersikap layaknya suami yang baik seperti dulu." "T-tapi--" "Rasaku padamu sudah mati, Namisya. Pengkhianatan yang kamu lakukan membuat rasa cinta yang dulu aku miliki terkikis habis. Jadi, jangan berharap lebih." Ia melepaskan cengkraman tangannya. Mas Bima kembali berdiri tegak kemudian memutari tempat tidur untuk mencium rambut putra kami. "Maaf Papa tidak bisa menemani Vano malam ini." Ia menoleh padaku sebelum benar-benar pergi. "Tidurlah. Kamu juga butuh istirahat." "Mas." Pria itu menghentikan langkah. Ia hanya berdiri mematung tanpa kembali menoleh padaku. "Aku masih berstatus istrimu kan? Aku juga berhak mendapatkan perlakuan yang sama dengan Salwa terlepas dari apa yang aku lakukan dulu. Kamu berdosa jika bersikap tidak adil padaku." Ucapanku berhasil membuatnya berpaling ke arahku. Rahang pria itu mengeras, nampak sekali jika ia tengah menahan amarah. "Tidurlah di sini bersamaku. Tunaikan kewajibanmu sebagai seorang suami jika kamu tidak ingin dianggap zolim." ????

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook