Bab 6

1072 Words
Semenjak kejadian malam itu, sikap Mas Bima padaku makin dingin. Jangankan bertegur sapa, bahkan melirikku pun sepertinya dia enggan. Aku dianggapnya seolah orang lain di rumah ini. Sepertinya kebencian suamiku kian bertambah setelah bertemu kembali dengan pria yang dulu pernah menjadi penggantinya di saat aku sedang membutuhkan perhatian. "Mbak Nami." Aku terperanjat. Salwa tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangku dengan wajah yang nampak cemas. "Ada apa?" tanyaku setengah malas. Entahlah. Sangat sulit bersikap baik pada adik maduku ini. "Mas Bima sakit, sejak semalam dia demam. Aku sudah mengajaknya ke Dokter tapi dia tidak mau. Aku juga sudah membujuknya untuk minum obat tapi dia terus menolak," terangnya. Kuhela napas berat. Dari dulu Mas Bima memang selalu seperti itu jika sedang sakit. Biasanya aku akan membuatkan wedang jahe atau sup hangat, kemudian memijat tubuhnya hingga ia terlelap. Tak lupa kusiapkan air hangat untuk mandi setelah ia terjaga. Andai saat ini aku melakukan itu, sudah pasti Mas Bima akan menolak. Jangankan menerima perhatian dariku, berdekatan pun ia jijik. Haruskah aku mengajari Salwa agar dia melakukan kebiasaanku dulu sewaktu merawat Mas Bima? "Mbak!" "Eh, ya." Aku tergagap. Lamunanku kembali buyar oleh suara Salwa. "Bagaimana? Apa kita sama-sama bujuk dia supaya mau ke Dokter?" Aku tersenyum getir dan menggeleng. Mas Bima tidak mungkin mau dibujuk olehku. "Kamu bikinkan dia wedang jahe atau sup hangat, setelah itu pijat dia. Mas Bima memang agak susah kalau disuruh minum obat," ujarku menjelaskan. Salwa mengangguk. Aku kira dia akan pergi dan bergegas melakukan apa yang aku katakan. Namun adik maduku itu malah berdiri dan menatapku lekat. "Ada apa lagi?" Aku mulai jengah. Ditatap seperti itu aku jelas tidak nyaman. "Kenapa bukan Mbak Nami saja yang merawat Mas Bima? Bukankah Mbak yang lebih tahu apa saja kebiasaan suami kita?" tanyanya terdengar ragu. Aku terkekeh getir. Salwa bersikap seolah dia tidak tahu seperti apa hubunganku dengan Mas Bima. "Jangan berpura-pura, Salwa. Kamu pasti sudah tahu kalau Mas Bima tidak akan mau jika aku yang merawatnya. Saat ini ... kamu istri yang sangat dicintainya. Mas Bima tidak lagi membutuhkanku." "Mbak ...." "Pergilah. Rawat suami kita dengan baik. Aku percaya dia akan lebih cepat sembuh jika kamu yang berada di sampingnya." Kutinggalkan Salwa yang tak lagi menjawab ucapanku. Lebih baik menghindar daripada terus menerus membahas tentang Mas Bima yang sudah jelas tidak lagi menganggapku sebagai istrinya. Kamar Vano menjadi tujuanku. Hanya bersamanya aku bisa melupakan kesedihan atas sikap Mas Bima yang terlalu menyakitkan. "Vano lagi apa?" Aku duduk di samping putraku yang sedang fokus pada buku gambar di depannya. "Aku lagi lihat gambar ini, Mah," tunjuknya. "Gambar ini aku buat sehari sebelum Mama pulang dari rumah sakit." Aku mengambil gambar tersebut dan melihatnya. Hatiku mencelos mendapati gambar yang Vano buat sangat pas dengan kondisi keluarga kami saat ini. Vano menggambar dua orang wanita, satu orang pria dan satu anak kecil. Pria dalam gambar tersebut berdiri di antara dua wanita yang salah satunya sedang memegang lengan anak kecil tersebut. Namun, ada yang aneh dari gambar ini. Wanita yang memakai jilbab yang aku yakini adalah Salwa justru wajahnya dicoret oleh Vano. "Ini ... Bunda Salwa?" Aku menunjuk gambar yang kumaksud. "Iya," lirih Vano. "Kenapa wajahnya dicoret-coret begini?" Vano menunduk. "Nak--" "Karena seharusnya Bunda Salwa gak ada kan, Ma?" Aku tercekat. Tidak pernah menyangka putraku mempunyai pikiran sampai ke sana. "Kenapa Vano bilang begitu? Bukankah Bunda Salwa itu baik? Lagipula Bunda Salwa istri papa juga. Sudah seharusnya dia berada di antara kita." Aku berusaha memberi pengertian pada putraku. Meski aku tidak menyukai Salwa, tetapi aku tidak akan menjelekkan dia di depan Vano. "Bunda Salwa memang baik. Tapi karena dia Papa jadi jauh dari Mama." Aku kembali tercekat. "Nak--" "Aku kasihan sama Mama. Aku bisa lihat kalau Papa lebih perhatian sama Bunda Salwa. Aku sedih, Ma. Aku ingin Papa juga menyayangi Mama seperti menyayangi Bunda Salwa." Oh, anakku. Aku terharu karena dia begitu menyayangi mamanya ini. Kupeluk tubuhnya dengan erat. Kukecup rambutnya cukup lama untuk meredam isakan yang hampir keluar. Ternyata, aku hanya kehilangan cinta dari Mas Bima, tetapi tidak dari putraku. Meski kami berpisah cukup lama, ikatan batin antara aku dan Vano tetap terjalin. Dia lebih membelaku ketimbang Salwa. Jujur aku bahagia karena adik maduku itu tidak berhasil mengambil semuanya dariku. "Vano sayang sama Mama." Aku bisa merasakan ketulusan dalam ucapan putraku. "Mama juga sayang sama Vano. Mama janji, kita tidak akan berpisah lagi apa pun yang terjadi." ******** Kondisi Mas Bima rupanya sudah membaik. Pagi ini dia sudah berpakaian rapi dan bersiap untuk ke kantor setelah dua hari libur karena sakit. Seperti biasa, aku hanya diam menikmati sarapan tanpa menegurnya. Untuk apa? Toh dia tetap tidak peduli dengan keberadaanku di dekatnya. "Mama sudah selesai sarapan. Vano mau ikut Mama ke Butik? Nanti kita mampir beli mainan biar Vano betah di sana," tawarku. Ya ... Aku memutuskan kembali mengelola Butik yang satu tahun terakhir dikelola oleh Mirna, sepupu sekaligus orang kepercayaanku di sana. Butik itu adalah hadiah ulang tahun pernikahan yang kedua dari Mas Bima. "Supaya kamu ada kegiatan dan tidak jenuh di rumah kalau aku sedang kerja," ucapnya kala itu. Ah ... andai dia tahu kalau aku bukan hanya membutuhkan hadiah dalam bentuk barang, tetapi juga waktu dan perhatian darinya. "Vano ikut, Ma." Putraku nampak antusias. "Kalau begitu Vano siap-siap. Nanti Mama tunggu di ruang tamu." Putraku mengangguk cepat. Ia berlari menuju kamarnya untuk bersiap-siap seperti yang aku perintahkan. Kini hanya tinggal kami bertiga di ruangan ini. Salwa beranjak ke wastafel dan mencuci peralatan masak, seperti sengaja ingin memberi ruang padaku dan Mas Bima untuk duduk berdua. "Aku berangkat dulu, Mas," ucapku setelah beberapa menit kami terjebak dalam keheningan. "Terima kasih." Langkah kaki ini terhenti. Aku berdiri mematung untuk memastikan bahwa ucapan Mas Bima ditujukan padaku. "Aku tahu kamu yang memberitahu Salwa tentang aku yang tidak suka minum obat. Kamu juga yang memintanya membuat wedang jahe untukku." Aku masih bergeming. Menunggu apa yang akan dia ucapkan selanjutnya. "Soal malam itu aku juga minta maaf. Aku sempat emosi dan hampir menyakitimu," sambungnya. "Sama-sama, Mas. Aku melakukan itu karena Salwa yang panik waktu kamu sakit. Dia belum tahu bahwa kamu sangat sulit minum obat. Saranku, lain kali kamu beritahu dia apa-apa saja kebiasaanmu agar nanti dia terbiasa dan tidak perlu bertanya lagi padaku. Dan untuk kejadian malam itu. Kamu tidak perlu meminta maaf. Justru aku yang seharusnya minta maaf karena sudah mempermalukan kamu di hadapan rekan-rekan bisnismu. Saat ini, aku hanya sedang berusaha untuk tahu diri, Mas. Aku di sini hanya karena Vano, bukan karena masih diinginkan olehmu." ?????
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD