Bab 5

1171 Words
"Cepatlah, Namisya! Kita harus segera berangkat!" Suara Mas Bima terdengar dari luar kamar. Aku yang masih mematut diri di depan cermin bergegas menyelesaikan aktivitasku sebelum kemarahannya memuncak. Ya ... pada akhirnya aku yang akan mendampingi Mas Bima ke acara rekan bisnisnya sebab Salwa mendadak sakit perut. Entah memang benar atau hanya alasan wanita itu agar Mas Bima tidak punya pilihan selain mengajakku. Bisa saja Salwa merasa kasihan dan memberi ruang padaku untuk bisa menemani suami kami ke acara itu. Apakah aku merasa berhutang budi padanya? Jawabannya adalah tidak! Toh aku tidak pernah meminta belas kasihan darinya, apalagi jika menyangkut soal perhatian dari Mas Bima. Aku sadar diri dan mulai terbiasa diabaikan oleh suamiku itu. Aku selalu menekankan pada diri sendiri bahwa aku dipertahankan oleh Mas Bima hanya karena Vano, dan aku pun bertahan dalam pernikahan yang tidak sehat ini juga demi putraku. Ketukan disertai teriakan kembali terdengar. Menghela napas panjang, gegas kubuka pintu kamar dan nampaklah wajah masam suamiku, tetapi penampilannya malam ini sungguh sangat menawan. Tidak ada satu orang pun yang meragukan ketampanan seorang Bima Brawijaya. Bahkan di saat bangun tidur pun, dia selalu nampak seksi dan menggoda. Ah ... ayolah, Namisya! Singkirkan pikiran jorokmu itu! "Kenapa lama sekali?" tanyanya ketus. "Maaf, Mas. Kamu kan tahu aku kalau dandan pasti lama," jawabku sesantai mungkin. Wajah suamiku makin masam. Matanya meneliti penampilanku dari atas sampai bawah. "Apa tidak ada baju yang lain?" "Ya?" Aku melongo. Apa maksudnya? Bukankah gaun yang kupakai ini sangat indah saat melekat di tubuhku yang ramping? "Ganti bajumu. Aku tidak suka didampingi wanita yang pakaiannya terbuka sepertimu. Selama ini Salwa tidak pernah memakai pakaian seperti itu jika sedang menemaniku ke acara-acara penting. Jangan membuatku malu, Namisya. Setidaknya jaga nama baikku yang masih berstatus sebagai suamimu," ujarnya terdengar menyakitkan di telinga ini. Kenapa harus selalu dibandingkan dengan Salwa? Bukankah Mas Bima tahu sejak dulu kalau style-ku dalam berpakaian memang seperti ini? Akan tetapi, aku tidak ingin mendebatnya. Biarlah aku mengalah sebab percuma membela diri di depan orang yang selalu menganggapku salah. Dengan berat hati, aku kembali ke kamar dan mengganti pakaian dengan yang jauh lebih sopan. Gaun panjang berwarna hitam dengan panjang lengan sebatas siku, menjadi gaun pilihanku kali ini. Bagian pundak tidak terbuka seperti tadi. Semoga Mas Bima menyukai penampilanku yang sekarang. "Kita berangkat sekarang, Mas?" tanyaku begitu keluar kamar. "Ya. Biar tidak kemalaman," jawabnya seteleh meneliti kembali penampilanku. Tidak ada pujian yang dulu sering terlontar dari mulutnya saat aku berdandan seperti ini. Mas Bima mendahuluiku menuju mobil tanpa menghiraukan diriku yang berusaha menyamakan langkah dengannya. "Vano beneran gak mau ikut?" Dia kembali bertanya saat kami sudah berada di dalam mobil. "Ya. Katanya dia ingin memberi kesempatan sama papa dan mamanya untuk berduaan." Helaan napas kasar terdengar keluar dari mulut Mas Bima. "Jangan berharap lebih, Namisya. Kita sama-sama tahu kalau aku mempertahankan kamu hanya demi Vano." 'Ya, aku tahu, Mas. Tidak perlu kau perjelas lagi berulang-ulang sampai aku bosan mendengarnya.' Ah, sayangnya kalimat itu hanya tertahan di tenggorokan. Aku memilih tak menjawab dan fokus menatap pemandangan di sepanjang jalan yang lebih menarik perhatianku. Lima belas menit kemudian kami tiba di tempat acara. Tidak seperti sebelumnya, kali ini Mas Bima membukakan pintu mobil untukku, dan tangannya dengan cepat menggandeng lenganku. Kami berjalan berdampingan memasuki gedung tempat acara berlangsung. Jujur saja aku kesusahan mengendalikan detak jantung yang menggila berdekatan seperti ini dengannya. Kutatap wajah suamiku yang fokus ke depan. Pria-ku begitu tampan dan aku sangat mengaguminya. "Jangan menatapku terus." Aku melengos. Rupanya dia menyadari istrinya ini sedang mengaguminya. Dia mengajakku menyapa beberapa orang rekan bisnisnya yang sudah datang lebih dulu sebelum menemui si pemilik acara. "Ini istri pertama Pak Bima yang sempat koma?" tanya salah satu istri dari rekan bisnis suamiku. "Betul, Bu. Ini Namisya, istri pertama saya." Mas Bima meraih pinggangku agar lebih merapat. Kebiasaan yang dulu sering ia lakukan saat memperkenalkan aku pada teman-temannya. "Cantik sekali. Maaf, Bu Nami. Saya baru kali ini bertemu langsung dengan Anda karena biasanya Pak Bima didampingi oleh Bu Salwa. Tenyata Pak Bima sangat beruntung mempunyai dua istri yang sama-sama cantik," ujarnya terdengar ramah. "Tidak apa, Bu. Kebetulan saya memang baru sembuh, jadi baru kali ini bisa mendampingi suami saya lagi," jawabku se-sopan mungkin. Obrolan kami terhenti saat Mas Bima mengajakku menemui si empunya acara. Kami kembali bergandengan menuju sepasang suami istri yang sedang merayakan ulang tahun pernikahan mereka. Keduanya menyambut kami dengan sukacita. Mas Bima kembali memperkenalkanku sebagai istri pertamanya. "Oh, jadi tenyata kamu sudah sembuh." Suara yang berasal dari belakang kami membuatku dan Mas Bima serempak menoleh. Mata ini membola melihat wanita yang sangat kukenal sedang menatapku sinis disertai senyuman yang sangat tidak enak dipandang. Di sampingnya berdiri seorang pria yang juga sangat aku kenal. "Aku kira kamu bakal mati setelah kecelakaan itu," ucapnya dengan melipat tangan di depan d**a. "Tapi ternyata Tuhan masih berbaik hati pada wanita tak tahu diri sepertimu." "Ma, sudah. Jangan membuat kekacauan di pesta orang." Pria disamping wanita itu memperingatkan seraya mengelus bahu istrinya. Dia adalah Adrian. Pria yang pernah memberiku rasa nyaman hingga aku nekat mengkhianati Mas Bima. "Kenapa? Masih mau membela selingkuhan kamu itu?" Wajahku terasa panas. Tangan Mas Bima mencengkeram pinggangku seakan ingin menyalurkan kemarahan yang mulai terpancing. "Dasar wanita tidak tahu malu! Masih punya muka berhadapan dengan banyak orang setelah apa yang kamu dan suamiku lakukan dulu?" pekiknya hingga mengundang perhatian hampir semua tamu yang hadir. "Sudah, Maura! Jangan membuat malu!" "Apa! Bela saja terus mantan selingkuhan kamu itu! Lihat! Sekarang dia sudah sembuh. Apa kalian akan mengulang lagi hubungan yang dulu kandas karena keburu ketahuan?" sergahnya dengan menyeringai bengis ke arahku. Perlahan, tubuhnya mendekat dan hampir saja tangannya mendarat di pipiku, tetapi Mas Bima dengan cepat menahan tangan itu. "Jangan berbuat kasar pada istriku atau Anda akan tahu akibatnya," desisnya dengan mata yang menatap nyalang. "Anda membela istri Anda yang peselingkuh ini? Di mana harga dirimu, Tuan Bima yang terhormat. Istri yang jelas-jelas mencoreng arang ke muka Anda masih dipertahankan? Kenapa tidak dibuang saja ke tempat yang semestinya?" "Bagaimana kalau pertanyaan yang sama saya tujukan untuk Anda? Kenapa Anda masih mempertahankan suami yang sudah jelas mengkhianati Anda, Nyonya Maura?" Wajah Maura berubah pias. Pastilah dia tersinggung oleh pertanyaan Mas Bima. "Sama halnya seperti Anda. Saya juga mempunyai alasan mengapa tetap mempertahankan istri saya. Jadi, jangan ikut campur urusan rumah tangga saya. Jaga saja suami Anda agar tidak memacari istri orang lagi seperti yang sudah-sudah." Ma Bima membawaku keluar dari gedung ini diiringi tatapan dari para tamu yang hadir di sana. Entah apa maksud dari tatapan mereka. Namun yang pasti, malam ini aku telah mempermalukan Mas Bima di depan banyak orang dengan terkuaknya skandal perselingkuhan istrinya ini. "Aarrght!" Mas Bima memukul stir kemudi cukup kencang saat kami sudah berada di dalam mobil. Ia mengepalkan tangan seraya menoleh ke arahku. Wajahnya yang memerah membuatku takut. Sepertinya Mas Bima akan melampiaskan amarahnya padaku. "Maaf, Mas," lirihku dengan mengiba. "Puas kamu?" desisnya. "Aku--" "Harusnya aku tidak menuruti keinginan Salwa untuk mengajakmu ke sini. Kamu ... bukan hanya mempermalukan aku di depan banyak orang. Kamu juga membuka luka lama yang susah payah aku lupakan!" ?????
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD