Hanya Berakting

1102 Words
Geisya bersuara, “Tadi aku melihatnya menerima panggilan telepon. Lalu ia bergegas ke luar dari kamar saat mengangkat ponselnya. Sepertinya ia tak mau didengar percakapannya.” Fara turut mengangguk, mengiakan apa yang diucap Geisya. “Ke arah mana?” tanyaku yang dijawab gelengan kepala dan bibir merengut keduanya. Aku berdecap. Bagaimana kalau Papa dan Mama tahu jika aku lalai mengawasi Kakakku itu, bisa-bisa mereka tak mempercayaiku lagi. Dalam pikiranku, seketika teringat akan Doni. Mungkinkah mereka? Ah, segala pikiran buruk menyelimuti otakku. Bergegas aku berjalan mendahului mereka sembari menyusuri pandang ke setiap sudut tempat. Aku juga tak mau mengingkari janji pada Bagus, dan membuat sampai Bagus kecewa kembali, jika sampai menemui mereka sedang bersama, atau bahkan berduaan. Langkahku terburu, dengan penuh rasa panik. Memperhatikan wajah-wajah manusia yang berlalu lalang di sekitar hotel. Maklum, hari libur sekolah. Jadi, pengunjung tampak membludak memenuhi tempat wisata ini. Kepalaku kini terasa pusing, sebab terlalu tegang memperkerjakan otak. Tak peduli lagi dengan ketiga kawan yang mungkin sudah berada jauh di belakangku. Aku terus berjalan mencari keberadaan Kakakku. Kini aku sudah berada di luar hotel. Tetapi belum juga menemukan sosok Kakak yang menjadi tanggung jawabku itu. Aku berkacak pinggang, memutar badan ke segala arah. Hingga tepukan pada bahu, membuatku menoleh kasar. “Hai, Al. Kamu di sini juga?” Napasku terasa tercekat melihat wajah Doni yang kini mengangkat sebelah alisnya. Tak percaya ia begitu berani menyapaku seperti ini. “Seharusnya aku yang bertanya itu padamu!” kataku dengan nada meninggi. “Aku sedang menikmati liburan.” Kini alisnya bertaut, mengendikan bahu. Mengingat segala hal yang dilakukannya beberapa hari kemarin. Membuat rahangku mengeras. Ingin rasa membalas, tetapi sikapnya kali ini menunjukkan kehangatan. Kenapa ia pandai sekali memberantakkan mood-ku. Dengan gampangnya ia memutar balikkan sikap Sebenarnya yang mana sifat aslinya? Ia seperti seseorang dalam dua karakter yang berbeda. Hitam dan putih. Entah, aku tak bisa membedakannya. “Don, sudah ditunggu yang lain!” Sebuah panggilan dari seorang gadis, tepat di ujung barat tempat kami berdiri, menggerakkan kepalaku menyamping. Memperhatikan sosoknya. Doni melambaikan tangan dan mengacungkan jempol padanya. Gadis manis itu tampaknya tergugah mendekat. Ia berjalan begitu anggun, dalam balutan gaun polos katun hijau lime sebatas dengkul. Flat shoes warna cokelat s**u menambah sempurna penampilannya. Rambutnya di-curly bagian bawah, tergerai ke belakang, dengan selipan pita cakar belakang kepala. Untuk menjepit bagian kiri dan kanan rambut. “Semua sudah di pantai, menunggumu untuk makan siang,” katanya sembari melirikku dari atas hingga ke bawah. Tak pernah ku melihatnya. “Iya, ini mau ke sana. Cuman ketemu sama Aldi, jadi mau nyapa bentar.” Doni mengulas senyum padanya. Tampaknya kedua insan ini begitu akrab. Siapa dia? Apakah kekasih Doni. Lantas, untuk apa ia mendekati Mbak Esti? Gadis itu menjulurkan tangan kanan. Menunggu sambutan dariku. Aku mendiamkannya beberapa detik. “Rania,” ucapnya menyebutkan nama. Sebuah nama yang anggun untuk sosoknya. Kulirik jemarinya yang lentik, dengan kuku-kuku panjang dan kutex warna coklat s**u. Lalu aku melihat wajahnya. Alisnya terangkat. Segera kuterima uluran tangan itu, dan menggenggamnya lembut. Sembari menaikturunkan lengan. “Aldi.” Manik hitamnya terasa tajam menghunjam saat kami saling bertatap. “Ngomong-ngomong, aku suka brondong,” ujarnya setengah berbisik. Bibirnya tertarik kian lebar, menampakkan gigi timunnya yang berjajar rapi. Doni terkekeh, saling lirik dengan perempuan manis ini. Langsung saja kutarik tangan dan mengalihkan pandang pada Doni. “Aku lagi cari Mbak Esti. Apa kamu melihatnya?” Mata Doni terlihat membulat. “Oh, jadi Esti ikut juga?” Aku mengangguk. “Esti anak ekonomi?” tanya Rania yang dibalas anggukan Doni. “Jadi, ini putra Wicaksana? Lumayan juga.” Perempuan itu menyunggingkan bibir. Tampaknya pikiran kotor kini memenuhi otaknya. Kucoba membaca isi kepalanya. Ada sebersit keinginan nakal darinya padaku. Aku harus segera pergi, agar ia tak lagi terobsesi. Rupanya ia bukan perempuan baik-baik. “Al ...!” Suara Lucky terdengar keras memanggilku. Kuputar kepala ke belakang, menemukannya yang mengangkat kepala dan melambaikan tangan. “Mbak Esti sudah ketemu!!” teriaknya lagi. Dadaku seketika mengendur, ada perasaan lega saat tahu Mbak Esti tak bersama lelaki yang kini berdiri di hadapanku. “Aku ke sana dulu, ya.” Jempolku menunjuk arah belakang. Tepat di mana Lucky memanggil. Doni mengangguk, sedangkan gadis bertangan lentik itu mengerling nakal. Napasku rasanya tercekat. Lantas secepatnya meninggalkan mereka menuju kawan-kawanku. Dengan langkah setengah berlari aku mendekat pada Lucky. “Di mana?” Mataku menjelajah ke sekitarnya. Tak ada sosok yang kucari di mana pun. “Ada di dekat pantai.” Ia mendekatkan wajah dan berbisik, “lagi berduaan sama Bagus.” Keningku mengerut, “Oh, ya?” Ia mengangguk cepat. Mulai melangkah agar aku mengikutinya. Terdapat sebuah kafe di daerah sekitar pantai, dengan hiburan live music akustik mengiringi. Lucky meluruskan telunjuknya pada dua insan yang terlihat tertawa kecil saling berhadapan, tersekat oleh meja. Hatiku terasa adem melihat pemandangan yang tak biasa ini. Aku berjalan mendekat, sembari mengeluarkan ponsel. Mulai membuka tombol kamera. Kualihkan fungsinya ke video dan mulai merekamnya beberapa detik. Tak lupa menarik layarnya membesar, agar video terlihat lebih dekat. Setelah mendapatkan hasil yang mungkin bisa membuat orang tuaku semringah. Kuhentikan rekaman dan mengirimnya pada mereka. Lantas, memasukkan kembali ponsel pada saku celana. Di atas stage kecil, tempat di mana live music berlangsung. Kulihat Geisya dan Fara asyik menyanyi di atas kursi bundar. Keduanya tampak ceria mendendangkan lagu hits band luar negeri yang tengah digandrungi dengan sedikit menggoyangkan badan dan bahu. Beberapa pria tampak antusias merekam keduanya. Mereka bak artis yang dikerubungi penggemar. Aku tertawa kecil melihatnya. “Apa kita tak salah lihat?” Lucky mengalihkan perhatianku dari dua gadis yang sedang dipuja itu. “Yang mana?” tanyaku tak mengerti. “Mbak Esti, tentu saja. Siapa lagi?” Lucky memang paham betul dengan Kakakku itu. Apalagi, sejak dulu dialah teman curhat yang selalu menjadi sandaran ternyaman. Makanya, ia tahu betul jika selama ini Mbak Esti tak pernah sedikit pun membalas perasaan Bagus. “Entah, aku pun tak percaya.” Kuberikan sunggingan bibir padanya. Lalu menjejak menuju kedua insan yang saling pandang. “Ehem, ehem ....” Dua kepala itu menoleh padaku. Bagus langsung memberi tempat dengan menggeser tubuh sedikit ke kiri. Sementara Lucky meringis padaku sebab mendapat tempat di sebelah Mbak Esti. “Aku kirain tadi diculik orang. Udah muter-muter nyari. Eh, ternyata berduaan di sini,” sindirku pada Mbak Esti yang sedang menyeruput jus alpukat dengan sedotan di depannya. Ia melirikku dengan pandangan yang bisa k****a. Meski ia menampilkan Senyuman manis pada wajahnya itu. Aku tahu persis jika ia sedang berbohong. Tak kusangka, semua yang ditampilkannya pada Bagus hanyalah palsu. Kulirik pandangan ke sekitar. Beberapa paparazzi dengan candid kameranya, tampak mengambil foto Mbak Esti dan Bagus yang seperti tengah di mabuk cinta. Jadi, semua ini hanya demi pencitraan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD