Bencana

1102 Words
Aku merasa kasihan pada Bagus. Pria yang benar-benar berharap padanya, ia permainankan seperti ini. Bola mataku beralih ke samping, pada lelaki dengan binar mata yang sedang berbunga-bunga. Tak berhenti memfokuskan pandang pada gadis di depannya. Tampak sekali pada isi kepalanya itu. Ia ingin mengucapkan ribuan kata terima kasih padaku. Bisa k****a saat ia melirikku dengan sudut matanya. Senyuman terus mengembang, dengan pandangan yang lebih baik daripada sebelum-sebelumnya. Aku tersadar saat Lucky menginjak kakiku. Mata ini seketika melotot padanya yang berada tepat di depanku. Alisnya naik turun dengan lirikan mata tertuju pada sebelah kananku. Kuikuti arah matanya dan melihat apa yang ingin ditunjukkannya padaku. Terlihat Doni, Rania, beserta beberapa kawannya datang dan mengambil tempat di sana. Ia sepertinya belum melihat kami di sini. Masih tertawa bersama dengan candaan yang tak ku mengerti. Kepalaku memutar kembali, melirik Mbak Esti. Ingin tahu bagaimana reaksinya saat melihat Doni di sini. Sementara kini ia harus berakting di depan Bagus. Demi nama baik keluarga kami. Ia masih memainkan sedotannya. Memutar-mutar dengan sesekali menyeruput. Wajahnya terlihat masam, saat melirik dua meja di sebelah kananku. Pandangannya seketika risau. Beberapa kali menyelipkan rambut pada telinga yang tergerai angin pantai. Apa ia cemburu? “Kalian mau pesan apa? Silakan, pesan sepuasnya. Apa pun yang kalian mau, minta saja. Biar aku yang membayar.” Sergahan Bagus melunakkan ketegangan ini. “Aku mau semua yang enak-enak.” Lucky tersenyum nakal dengan menjulurkan lidahnya. Lantas, melambaikan tangan pada seorang waiters yang sedang berdiri di depan stage bagian dapur. Seketika sosok itu mendekat dengan membawa daftar menu. Begitu sopan ia memberikan lembaran menunya pada Lucky. “Silakan, Kak. Biar aku catat.” Gadis itu mengambil kertas kotak kecil di saku celemeknya, lengkap dengan bolpoin dan bersiap menulis pesanan. “Aku pesan sepiring cinta dan segelas kasih sayang, boleh?” Mataku mendelik, melihat kawanku yang kini menopang dagu dan menatap mata gadis yang berdiri di sampingnya. Waiters itu menahan tawa, menekuk wajah dan menutup bibirnya dengan kertas kecil di tangannya. Kucubit lengan Lucky untuk menyadarkannya. “Aww ....” Teriakan kecil seketika melengking. Ia mengusap-usap punggung tangannya dengan sedikit menggerutu. “Bisa-bisanya nge-gombalin penjualnya. Dasar garangan!” Mbak Esti menambahkan, membuat kami larut dalam tawa. “Tenang saja, Mbak. Yang nomor satu bagiku tetap kamu.” Sebelah matanya mengerling pada Mbak Esti. Dibalas dorongan tangan pada lengan Lucky. “Ih, sono-sono. Aku nggak mau sama lelaki yang suka pindah-pindah hati.” Tawa kami kian renyah. Hingga tak sengaja mataku melirik Doni yang tampak kesal melihat kami di sini. Wajahnya terlihat berbeda, tak seperti saat kami bertemu beberapa menit lalu. Matanya tajam menghunjam, dengan pandangan yang tak bisa k****a. Tetiba sosok di belakangnya muncul. Berdiri dalam balutan kebaya merah seperti sebelumnya. Napasku tercekat. Jadi, ia hanya menjadi seperti itu saat sosok itu muncul dan ingin mengendalikannya? Aku mulai paham. Ia harusnya tak terlalu tegang jika ingin menjadi hangat. Tidak seperti ini. Semilir angin pantai yang sedari tadi berembus sepoi-sepoi. Rasanya seperti terhenti begitu saja, saat sosok itu menatap kami. Bahkan kurasakan suasana begitu senyap, hening! Ke mana suara-suara percakapan orang-orang? Mataku menjelajah ke sekitar. Semua masih sama, tampak begitu ramai. Tetapi mengapa tanpa suara? Kusogok dalam telingaku dengan telunjuk, berharap kembali mendengar suara mereka. Kualihkan pandangan menuju pada stage musik. Masih ada Geisya dan Fara yang asyik bergoyang di sana. Tetapi kenapa pendengaran ini tak dapat mendengar suara nyanyian mereka? Apa yang terjadi? Peluhku mulai terasa bercucuran di dahi. Melihat semuanya yang masih tanpa suara. Bahkan kini pergerakan mereka tampak melambat. Bagai adegan slow motion. Lucky mulai menggoyang-goyangkan tanganku di depan meja. Aku terperangah, ia masih dalam gerakan lambat. Seperti melihat video lemot, bibirnya bergoyang-goyang begitu pelan. Tampaknya ia ingin menyadarkanku. Goyangan lain kurasakan di sebelah kiriku. Aku menoleh ke samping. Bagus juga sama, ia melambat. Menyentuh bahuku dan menggerakkannya. Apa aku terlihat tak sadar di mata mereka? Tepat di sebelah Lucky, waiters wanita melambai-lambaikan tangannya dengan gerakan yang tampak patah-patah di mataku. Sementara Mbak Esti, seperti tengah mengomel. Mendelik padaku dengan bibir yang terbuka dan menutup pelan. Shit! Kenapa ini? Kepalaku seketika pening! Aku mengernyit. Memejam erat, berharap saat kembali membuka mata semua yang kulihat ini hanyalah sebuah ilusi saja. “Aldi!!” Mataku membuka cepat, menemukan wajah Lucky yang bengong di hadapan. Aku tersenyum lega, mendapati telinga ini sudah dapat mendengar suaranya. “Kamu kenapa, sih?” Bagus menatapku dengan pandangan aneh. Kembali aku tersenyum pada ketiganya. “Dah gila kali ni anak. Dari tadi dipanggil kayak orang linglung, sekarang malah senyam-senyum nggak jelas,” gerutu Mbak Esti. Aku terlalu bingung untuk menjelaskan. Bahkan lidah ini terasa kelu untuk berbicara. Kuakhiri drama ini dengan memesan makanan pada gadis manis yang masih setia menunggu. “Cappucino latte sama French fries saja.” Langsung saja ia menulis apa yang kuucapkan pada secarik kertas di tangannya. “Aku sama. Kopinya jangan terlalu manis, cukup melihatmu saja sudah terasa sweet.” Lucky menopang dagu dengan sebelah tangan, sembari memandang waiters yang kini tersipu malu. Mbak Esti menoyor pelan kepala Lucky, terkekeh kembali. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari arah laut, membuat semua pengunjung kafe menoleh bersamaan. Seketika riuh jeritan orang-orang menggema. Kocar-kacir berusaha menyelamatkan diri. Angin kencang mulai berputar dan menghempaskan apa saja yang ada di dekat pantai. Aku masih terperangah tak percaya. Tetap berada di atas kursi, menatap angin yang kian mendekati bangunan kafe. Tarikan tangan Lucky menyadarkan. “Al, cepat kita pergi!!” Wajahnya begitu cemas tak melepaskanku. Sementara kulihat kursi yang ditempati Mbak Esti sudah kosong. Ke mana dia? Bagus berteriak kencang tepat satu meter di hadapanku, memanggil nama Kakakku itu. “Esti!!” Pandanganku terarah pada sorot mata Bagus. Tampak Mbak Esti berlari sembari bergandengan tangan dengan Doni. Sejak kapan mereka bersama? Bagus tampak khawatir sekaligus kecewa menjadi satu. “Al, anginnya makin dekat. Ayo!!” teriakan Lucky kian kencang. Segera kuikuti dirinya yang menyeretku entah ke mana. Tak lupa meraih tangan Bagus yang juga tak beranjak dari tempatnya berdiri. Angin mulai merambat dalam ruang kafe terbuka ini. Menerbangkan kursi-kursi plastik juga kain taplak. Kami berusaha kuat menahan empasan angin. Saling berpegangan dan berjalan lambat menembus kencangnya kibasan. “Jangan lepaskan, tetap berpegangan!!” Lucky mengomando kami agar bertahan. Di antara ributnya angin dan tebalnya debu. Kulihat Geisya dan Fara yang entah sejak kapan juga turut bergandengan dengan kami. Tepat di belakang Bagus. Kini di kepalaku hanya ada Mbak Esti. Bagaimana dengannya? Apa ia bisa selamat tanpa kami? Apalagi kini pandanganku terbatas, terhalang kabut hitam. “Bertahaann!!” Suara Bagus terasa teredam, tetapi masih bisa kudengar. Kami tak lagi berjalan. Diam di tempat memejamkan mata, sembari bertahan menapak. “Ahh ... tolong aku!” Kudengar suara Fara di sebelah kiriku. Tarikan tangan Bagus tiba-tiba menguat, membuatku menoleh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD