Sebuah Rencana

1049 Words
Ia berjalan tanpa melihat, seolah tak menyadari kedatangan kami. Apa ia sengaja berpura-pura seperti itu, atau memang kebetulan dan ia tak benar-benar tahu? ‘Kenapa Doni ada di sini?’ Hatiku berkata penuh dongkol. Aku langsung memutar wajah pada kakakku dengan memicingkan mata. Sudah jelas, jika semua ini rencananya. Kepalanya langsung menggeleng. Membuatku semakin kecewa padanya. Hari di mana kami akan berbahagia menghabiskan waktu, malah harus bertemu dengan masalah baru. Jika saja Papa dan Mama tahu tentang ini. Mungkin, mereka takkan mengizinkan kami membuat acara seperti ini. Lucky sepertinya tak menyadari kehadiran Doni. Ia terlalu sibuk menyeret koper milik para gadis. Hingga membuatnya berkonsentrasi penuh. Terus berjalan mengikuti Geisya dan Fara yang lebih dulu melangkah sebagai penunjuk jalan. Aku pun berlagak tak melihat Doni yang berseberangan jalan dengan kami, meski tak bisa dipungkiri. Sosok yang mengikutinya begitu mengusik penglihatanku. Hingga sampai pada depan pintu sebuah kamar. Geisya menghentikan langkah. Menancapkan kunci pada pintu dan memutarnya. Didorongnya pintu bercat cokelat itu dan mempersilakan Lucky masuk dengan tas-tas besarnya. Sementara aku menunggu di depan pintu. Fara memberikan satu kunci lainnya padaku. Tertera nomor 13, tepat di sebelah kamar untuk kelompok wanita. Aku menuju pintu itu dan mulai membuka kunci, kudengar suara ribut di kamar gadis-gadis. Hingga kulihat Geisya mendorong tubuh Lucky ke luar dari kamar dan menutup pintunya keras. Lucky tampak memejam di depan pintu, menahan dentuman kasar yang ia terima. Lagi-lagi aku hanya terkikik, melihatnya yang terus saja berulah. Kini ia menatapku, merentangkan kedua tangannya. “Aku hanya minta balasan terima kasih saja.” Aku yang masih kesulitan memutar kunci pintu, meliriknya dan tersenyum. “Balasan yang bagaimana?” tanyaku menggoda. Meski aku tahu apa yang bakal dijawab olehnya. Ia menguncupkan jemari tangan kanannya, lalu menempelkannya pada pipi. Senyumanku semakin lebar melihat gelagatnya. Tepat saat itu pula, kunci terbuka, lalu kudorong pintu dan merentangkan tangan kanan masuk ke dalam, sebagai isyarat menyuruh Lucky masuk. “Monggo, Ndoro,” ucapku setengah membungkuk. Ia berjalan tengil menaikkan dagu, melewatiku dengan mendabik dadanya. Tawaku kian renyah melihat spontanitasnya. Tetiba gesturnya berubah. Ia melengkungkan tangan kanan di depan d**a, lalu berbicara dengan suara hidung. “Jangan apa-apain aku, ya, Boy.” Aku tak tahan lagi melihat kelakuannya. Langsung saja kutimpuk dirinya dengan tubuhku dan menyenggolnya kasar. “Aduh, Mas Boy. Jangan buru-buru, ihh ....” Kudorong tubuhnya menuju kasur dan menimpuk kepalanya dengan bantal dan guling. Kami tergelak, hanyut dalam candaan hingga lupa menutup pintu kamar. Tok tok! Kami seketika menghentikan aktivitas. Menoleh berbarengan pada pintu. Sebuah wajah tersenyum di sana. “Apa aku mengganggu?” katanya yang membuat kami saling pandang bingung. Sebab, posisiku saat ini berada di atas tubuh Lucky. Langsung saja aku melompat dari kasur dan berdiri tegak membenarkan kemeja yang melorot bagian bahunya. Aku menunduk kebingungan membuang muka. Lantas, menatapnya dan berkata, “Ini tak seperti yang kau pikirkan.” Ia tergelak, menyilangkan kedua lengan dan menyenderkan tubuh pada pintu. “Kalau pun iya, kenapa? It’s okay. Itu bukan masalah besar bagiku.”  Mataku membulat, melihatnya yang begitu santai mengeluarkan statement-nya. “Aku masih normal, Gus.” Ia terkekeh lagi. Sebuah pelukan dari belakang membuatku berjingkat. “Kami saling cinta, kok.” Langsung saja kuempaskan tangan nakal itu dan mendelik pada Lucky, yang saat ini malah tertawa terbahak-bahak memukuli kasur. “Sinting!” ucapku kesal. Bagus turut tertawa dan masuk mendekati kami. Ya, aku memang sengaja mengundangnya ke sini. Demi janjiku padanya untuk mendekatkan dirinya dengan Mbak Esti. Kapan lagi ada kesempatan besar seperti ini, jika tidak sekarang. Aku menoleh ke luar kamar, melangkah dengan berjinjit dan menolehkan kepala ke samping kiri. Tepat pada kamar para gadis. Pintunya masih tertutup. Buru-buru kututup pintu pelan dan menoleh pada kedua pria di belakangku. Aku membentuk isyarat ‘oke’ pada jemari, yang diikuti anggukan keduanya. Aku nggak mau Mbak Esti tahu dulu, jika Bagus juga ada di sini. Nanti, akan kuatur seolah-olah ini hanya sebuah kebetulan. Seperti halnya pertemuan kami beberapa menit lalu dengan Doni. Dan aku yakin, semua ini sengaja direncanakan. Seperti halnya hadirnya Bagus di sini. “Gus, nanti kita ketemu di pantai. Pura-pura saja seolah semua tanpa rencana.” Ia membentuk sikap hormat pada dahi. “Sepuluh menit lagi, mereka akan memanggil kita. Kamu siap-siap saja di dekat pantai, Gus. Jangan sampai mereka melihatmu di sini.” Aku berbicara setengah berbisik, sesekali menengok ke belakang. Takut dipergoki salah satunya. “Oke, jangan lupa sapa aku di sana.” Bagus berdiri, mengambil kacamata hitam yang terselip di kemeja bagian d**a. Lantas, mengenakannya dan berjalan dengan memasukkan kedua tangan dalam saku celana pendeknya. Kubuka pintu perlahan, melonggokkan kepala di dekat pintu ke kiri dan kanan. Memastikan keadaan aman, sebelum Bagus harus keluar dan secepatnya pergi dari kamar sewa kami. “Aman. Cepat, cepat!” Kudorong tubuhnya kasar agar segera berlalu. Bagus pun celingukan dan secepat kilat melangkah dengan terburu-buru. Kuembuskan napas lega, menutup pintu. Aku membalik tubuh dan bersandar pada pintu. Lagi-lagi kulihat pemandangan yang membuatku tertawa geli. “Mas Boy, aku sudah siap,” ucap Lucky dengan menarik bahu kemejanya ke samping lengan. Sembari menyilangkan kedua kaki dan mengerling nakal. “Dasar gila!!” Kami kembali bergelut dan tertawa. Hingga sebuah panggilan manja dari Fara, menghentikan candaan kami. Entah sejak kapan, ia berdiri di ambang pintu, “Hai para buaya, udah siap melihat pemandangan indah? Hayuk berangkat!” Kami menoleh bersama lalu meneguk ludah, melihatnya berbalut celana pink sepaha dan kain tipis yang dibalutkan di bagian leher dan d**a saja. Kulirik wajah Lucky, lalu mengatupkan mulutnya yang sedang terperangah. “Tuhan, ini benar-benar surga dunia.” Lucky menggigit bibirnya dan mengerling pada Fara, yang dibalasnya dengan kepalan tangan geram. Sebuah wajah lain, melongok ke kamar kami, Geisya. Pemilik wajah imut itu mengangguk cepat pada kami. Mengisyaratkan agar segera beranjak dari kasur. Lucky membenarkan kemeja dan celana lalu berjalan mendahuluiku. Lantas, merentangkan tangan pada kedua bahu gadis di pintu kamar, merangkul keduanya di kiri dan kanan. Aku hanya mendengus lucu, melihat kelakuannya yang tak pernah berubah. “Dasar Playboy cap tikus!” gumamku di belakangnya. “Iri bilang, Bos!” sahutnya dengan nada mengejek. Tanpa menoleh padaku sedikit pun, masih menikmati kerakusannya merangkul dua wanita. Sembari berjalan dan kian mempererat dekapannya. Aku melihat ke sekitar, saat sudah berada di luar kamar. Ke mana Kakakku? “Gey, Far. Mbak Esti di mana?” Ketiga sosok di depanku seketika menoleh bareng. Mengendikan bahu. Aku mengernyit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD