Persiapan

1043 Words
Aku semakin penasaran dengan bayangan yang tampak masih di sana, tak beranjak. Mataku semakin gusar, antara memusatkan pada diskusi, atau ingin mencari tahu siapa yang mengusik ketenanganku. Bahkan, aku tak fokus ketika Papa meminta pendapat dariku. Hanya bisa menjawabnya dengan ‘iya' dan anggukan kepala saja. Saat mereka riuh membahas hal dokumentasi, kuberanikan diri untuk memotong, “Maaf, permisi sebentar. Mau ke toilet,” kilahku mengakhiri obrolan, dengan suara sekecil mungkin. Berharap orang di balik tembok tak mengetahui rencanaku. Mereka hanya mengangguk dan terus menggebu untuk saling tukar pendapat demi acara akbar minggu depan. Aku yakin seseorang di sana tak mendengar suara pamitku. Tak ingin kehilangan kesempatan, bergegas aku berdiri untuk memergoki siapa yang tengah menguping pembicaraan kami. Dengan langkah menyeret, mantap aku menampakkan wajah di balik tembok. Mataku membulat, saat tak menemukan apa-apa. Apa aku yang salah lihat? Bahkan, bayangan yang kukira manusia, nyatanya hanya pantulan guci besar di ruang tengah. Aku mendengus, menertawakan diri. Menekuk wajah dengan geli. Ketika aku terkikik, tetiba dari sudut mata, kulihat sekelebat bayang di sampingku. Aku menoleh kasar, berharap menemukan apa yang terasa meresahkan. Kuedarkan pandang ke sekeliling. Tak ada siapa-siapa. Tetapi anehnya, jantungku berdebar kencang. Seperti hendak bersiap menerima kejutan. Aku berusaha menenangkan diri. Mematung sembari menstabilkan napas yang kian memburu. Kenapa suasana tetiba terasa senyap. Bahkan, suara orang-orang di ruang tamu tak kudengar lagi. Apa yang sudah terjadi? Sesaat aku teringat. Di saat seperti ini, biasanya akan ada penampakan yang kutemui. Namun, meski sudah memutar badan dan penglihatan ke seluruh sudut ruang. Tak tampak sesosok pun hal atau sesuatu yang merisaukan hatiku. Dalam hati aku bergumam, ‘Kenapa aku jadi merasa diawasi? Tapi oleh siapa?’ Aku terenyak kaget, saat memalingkan badan. Tetiba saja tubuh Bagus sudah berada di hadapan. Aku hampir menabrak Bagus yang entah sejak kapan mengekor di belakangku. Mata kami saling terpejam sebentar. “Woah! Huuhh! Ngagetin aja kamu, Gus ....” Kami terkekeh, sebab kami sama kagetnya. Ia mengelus dadanya pelan. Sebelah tangan lainnya memegang lengan kiriku, sambil masih tertawa sendiri. Ekspresinya kini lucu dengan menekuk wajah, menyembunyikan tawa. “Katanya mau ke toilet, kenapa masih di sini?” sergahnya mengangkat sebelah alis. Aku jadi salah tingkah. Kebingungan sendiri. Menggaruk tengkuk sendiri yang tak gatal. “Aku tahu, kamu juga melihatnya ‘kan?” Bagus mengucap kalimat seolah apa yang ada di pikiran kami sama. Mata ini langsung menatapnya tajam. Rautku kali ini mungkin menegang. “Jadi, kamu ke sini juga karena penasaran?” Ia mengangguk mantap. Aku langsung menolehkan kepala ke samping. Menunjukkannya sesuatu. “Sayangnya kita tertipu, itu hanya ilusi optik. Bayangan guci itulah pelakunya.” Aku menyeringai sembari menuding guci antik milik Mama. Ia melirik benda yang kutunjuk, lalu menggeleng. “Tidak, Al. Aku tidak melihat bayangan apa-apa. Yang aku lihat adalah sebuah kepala yang sedikit menyembul di balik gorden ini.” Jemarinya menarik gorden warna gold yang terbentang di atas pintu ruang tengah. Aku mengernyit. Isi kepalaku seketika bergumul dengan banyak pertanyaan. Lagi-lagi sebuah kalimat itu muncul di benak, ‘Siapa yang mengawasi?’ Kini bola mataku turun, memikirkan dalam-dalam. “Apa kamu tak melihat seseorang saat masuk tadi?” Pertanyaan Bagus membuatku tersadar. Lalu menggeleng. “Tak ada siapa-siapa di sini.” Kedua tanganku merentang. “Mungkin benar, hanya ilusi mata kita saja yang salah.” Meski ada getir dalam d**a, aku berusaha menampik segala prasangka. Bisa jadi benar adanya, kita yang salah duga. Tetapi, mengapa firasat ini begitu kuat? Ah, kepalaku semakin pening. Kujambak rambut sendiri dengan tangan kiri, sedang tangan kanan berkacak pinggang. Lantas, berdecak. “Sudahlah, Al. Kita balik lagi ke depan, biar semua rencana ini segera rampung.” Kuhela napas berat, lantas mengikutinya berjalan pincang menuju orang tua kami. Aku merasa lucu, berjalan bersama Bagus yang punya keadaan sama mengenaskan di bagian kaki. Harapku, semoga minggu depan segala sakit ini benar-benar bisa sembuh dan normal ketika acara tiba. Agar kami bisa lagi memakai sepatu. Ketika kami tengah menggebu membahas tentang acara pertunangan ini, tetiba Mbak Esti datang dengan wajah kebingungan, melihat kami berenam begitu fokus dengan rencana. Wajahnya seketika menegang, saat melihat Bagus dan kedua orang tuanya. Alisnya bertaut seolah penuh tanya. Ia berdiri di ambang pintu dengan raut penuh penasaran. Bola matanya kini beralih kepadaku dan Mama Papa. Tampaknya, ia ingin mengucap sesuatu, tetapi tak tahu bagaimana mengawali. Seperti takut jika salah bicara. Papa, Mama beserta keluarga Bagus bersama-sama menatapnya, dengan wajah yang sama bingungnya. Kami bahkan terdiam sesaat. Hening beberapa detik. “Baru pulang kuliah, Mbak,” selorohku untuk membuyarkan kecanggungan ini. Seketika wajah kami semua melemas. Mulut Kakakku itu, membuka dan menutup dua kali. Aku tahu ia merasa bingung. k****a isi pikirannya. Sekelebat pencerahan itu muncul di otakku. Rupanya hal inilah yang ia takutkan selama ini. Ia sudah mengira bahwa saat ini kami sedang merangkai acara untuknya. “I, iya. Ini ada apa, ya?” Tangannya meremas tali tas yang melingkar di bahunya. Terlihat sekali kecemasan pada gestur tubuhnya itu. Papa yang paham, segera berdiri dan mendekati Mbak Esti. Ia merangkulkan tangan pada anak gadisnya itu, lalu mengajaknya duduk di sampingku. Pandangan kami berserobok, saat ia mengempaskan tubuh pada sofa, tepat di sebelahku. Aku bisa membaca pikirannya lagi. Ia ingin sekali membantah, ingin murka. Namun, ia berusaha meredamnya. Apalagi, ada kedua orang tua Bagus yang begitu dihormati Papa dan Mama. Ia tak ingin merusak pertemuan ini dengan mengacaukannya. Pandangannya kini beralih pada tiga orang yang duduk berseberangan dengan kami di depan. Bagus tampak menikmati pemandangannya pada Mbak Esti. Bahkan, tak kulihat ia mengedipkan mata sedetik pun padanya. Suatu kesempatan besar baginya, untuk puas memandangnya tanpa terganggu dan penolakan seperti biasanya. Sedangkan orang tuanya mengulas senyum merekah pada Mbak Esti yang tampak tercekat dengan napasnya sendiri. Kulirik Mbak Esti yang masih menstabilkan napas, berusaha sesantai mungkin. Meski ia tahu, apa yang bakal diucapkan oleh Papa. “Esti, minggu depan, kami akan mengadakan acara pertunangan kalian.” Mata Papa bergerak dari Mbak Esti menuju Bagus. Bagus mengangguk dan melengkungkan senyum tipis. Bibir Mbak Esti yang sedari tadi mengatup geram, kini sedikit terbuka. Matanya kini tajam menatap Papa. “Secepat inikah, Pa?” Papa dan Mama memiringkan kepala padanya, sorot mata keduanya begitu terasa tajam menghunjam. Membuat dagu Mbak Esti sedikit mendongak, seperti menahan sesuatu pada kerongkongannya yang tampak bergerak naik turun. Aku tahu ia berusaha sok kuat, terdengar dari suaranya yang bergetar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD