Kesepakatan

1207 Words
Papa menaikkan alis. Kepalanya maju beberapa sentimeter ke depan, dengan posisi menoleh ke kiri, tepat menatap wajah Mbak Esti. Rahangnya terlihat mulai mengeras. Seolah isi dalam kepalanya akan meledak. “Cepat? Apa kamu lupa, bahwa Bagus sudah menantimu sejak kamu SMA? Dan kini usiamu sudah dua puluh empat tahun. Usia yang cukup matang menuju jenjang pernikahan. Mau sampai berapa lama lagi?” Nada tinggi yang ia lontarkan membuat kami terhipnotis diam. Napas Papa bahkan sedikit memburu saat mengucapkannya. Tampak sekali kekesalan memenuhi wajahnya. Tak ada yang berani menyela. Semua terdiam. Mbak Esti menundukkan kepala. Rambut hitam tebalnya itu, menutup wajah yang tengah ditekuk. Kulirik ia yang semakin menguatkan diri di sampingku. Setetes buliran bening tak sengaja jatuh dari sudut matanya, membasahi tas pink salem yang berada di pangkuan. Kugenggam jemarinya yang berada di sebelah pahaku, berharap memberinya sedikit kekuatan. Ia menaikkan wajah, menoleh padaku. Lantas, memberanikan diri menatap Papa dengan mata yang masih berkaca-kaca. “Iya, Pa. Esti paham. Mungkin, Esti saja yang belum terlalu siap untuk mengakhiri masa lajang.” Suaranya terdengar parau, berusaha ikhlas. Kulihat Bagus yang tampak khawatir, menatap Mbak Esti dengan penuh cemas. Seolah ingin memeluk dan membenamkannya pada d**a. Aku tahu ia juga tak ingin memaksakan. Namun, perjodohan ini sudah terlanjur menjadi ikatan dan janji antara kedua orang tua kami. Tangan Mama terulur melewatiku, yang menjadi penghalang dirinya dengan Mbak Esti. Ia menarik tangan Mbak Esti dan mengusapnya lembut, di atas paha Kakakku itu. “Tenanglah, Nduk. Kami akan selalu ada di sampingmu untuk melewati semua ini. Bukankah semua manusia juga pasti akan bertemu dengan jodohnya? Jalani saja prosesnya. Mama yakin kamu pasti akan bahagia dengan Bagus.” Kini semua mata beralih pada Bagus. Ia tampak salah tingkah, tersenyum nyengir melihat kami semua. “Bagus pasti akan berusaha untuk membahagiakan Esti. Pasti!” Mantap ia berkata dengan anggukan kuat. Menatap Mbak Esti yang malah tak ingin memandangnya sama sekali. “Sekarang kamu paham ‘kan, Ti?” Nada Papa kembali stabil. Mencari wajah Mbak Esti yang kini semakin tertunduk lesu. Ia hanya menganggukkan kepala sekali, lalu berpamit untuk masuk. Bagus terlihat semakin risau mengikuti gerak-gerik Mbak Esti. Tubuhnya bahkan ikut sedikit terangkat, saat Mbak Esti melangkahkan kaki masuk. Seolah ia ingin mengikuti. Namun, aku paham betul dengan Bagus. Di balik tubuh kekarnya, ia hanya pemuda polos dengan hati yang begitu lembut. Penuh sabar ia menanti Mbak Esti yang selalu saja menolak untuk bertemu dan bertatap muka dengannya. Kupejamkan mata sesaat. Ingin membaca isi pikiran Bagus. Aku memiringkan kepala mendengarkan suara hatinya. Sungguh lelaki lembek. Bahkan, di saat seperti ini, yang seharusnya menjadi kesempatannya untuk mengikutinya masuk kamar, malah ia kepikiran Doni. Rupanya ia takut jika Mbak Esti akan menghubungi Doni dan mengeluhkan semua kesahnya hari ini. Tak bisa dibiarkan! Aku berdiri, mendekat pada calon kakak iparku itu, lantas menarik tangannya cepat. Orang tua kami hanya melihat, tak berkata apa pun. Kuseret tangannya untuk mengikutiku masuk. Ia pun tak melawan, begitu pasrah mengikuti tarikan tangan ini. Sampai di ruang tengah, ia baru menarik balik tanganku sedikit kasar. “Apa-apaan, sih, Al?” Ia melepaskan genggaman tanganku, lalu mengusap pergelangannya sendiri. Mungkin cengkeramanku terlalu kuat. “Kamu ngapain sih mikir Doni? Kejar dong Mbak Esti. Beri dia hiburan!” Ia melongo, mengangkat wajahnya menatapku yang lima centi lebih tinggi darinya. “Kamu, kok, bisa tahu pikiranku?” Aku terenyak, memutar bola mata ke kiri dan kanan. Aku benar-benar lupa jika tak ada yang mengetahui kemampuan yang kumiliki. “Emm ... anu, ya ... aku menebak saja, sih. Kira-kira seperti itu ‘kan?” Ia masih terlihat tak percaya. Menatapku dengan bibir mengerucut penasaran. “Sudahlah, nggak usah dipikirkan. Cepat! Ini kesempatanmu biar bisa dekat sama Mbak Esti. Kapan lagi coba?” Ia mengatupkan mulutnya, mengangguk mantap dan segera beranjak menuju kamar Mbak Esti. Ia memalingkan wajah sekali, seperti ingin diberi semangat. Kuacungkan lengan ke atas memberinya kata pacuan. “Semangat!” kataku. Ia tersenyum sekilas lalu berpaling kembali. Bagus berdiri di depan pintu kamar Mbak Esti yang sedikit terbuka. Ia mengangkat tangan kanan, bersiap untuk mengetuk. Sepertinya ia ragu. Dua kali diangkat dan diturunkannya kepalan tangannya itu. Hingga ketiga kali, ia tampak mantap, mengetuk pelan sebanyak dua kali. Aku hanya bisa mengawasinya dari kejauhan, tak mau mengusik mereka. Sepertinya Mbak Esti mempersilakannya masuk. Aku menghela napas lega. Kuberanjak melangkahkan kaki menuju tangga, ingin kembali istirahat dalam kamar. Namun, tepat di tengah tangga. Kudengar suara pintu kamar Mbak Esti terbuka. Kuhentikan langkah, menurunkan pandangan ke bawah, memastikan apa yang terjadi. Rupanya Bagus ke luar dari sana. Wajahnya tampak dongkol, lalu menjejak dengan langkah kesal. “Gus!” sapaku yang membuatnya mendongak. Ia mengembuskan napas berat, lalu mengikutiku menuju tangga. Langkahnya menyeret, sama sepertiku. Kulihat jari kelingkingnya yang berbalut perban tampak sedikit bengkak di area sekitarnya. Saat ia menyamai posisiku, pandangan kami saling menatap. “Apa yang terjadi?” Kumulai membuka obrolan kembali. Lagi-lagi ia mendengus, menepuk pundakku sedikit keras, lalu mengajakku melangkah ke atas. Aku mengajak masuk ke kamar, membiarkannya mengempaskan tubuh ke kasur. Ia menekuk tangan kanannya di atas kening, menutupi wajah. Aku tahu, jelas ada hal yang mengusik hatinya, hingga ia memilih pergi dari kamar Mbak Esti tadi. “Kamu itu kurang nge-gas, Gus. Perasaanmu udah kayak cewek, lembek!” Aku memilih duduk di sampingnya. Bersandar pada punggung ranjang. Sigap ia membuka lengan, menatapku tajam. Lantas, menyeret tubuhnya ke atas, menyamai posisiku. “Aku tuh cuma lembek saat di depan Kakakmu doang. Nggak tahu kenapa, kalau lagi dekat sama dia. Aku benar-benar nggak tega dan nggak ingin mengusiknya. Makanya, lebih baik aku menjauh dan mengawasinya dari kejauhan saja. Dari pada dia malah Ilfil sama aku.” “Ini yang bikin kamu kalah. Sebab, kamu kurang berjuang. Jangan kasih kendor, kasih dia perhatian terus. Jangan malah menjauh kek gini!” Bola matanya memutar ke sembarang arah. Rupanya ia bimbang. “Kamu nggak tahu apa yang kurasakan, Al! Tadi aku pas masuk ke kamar Kakakmu, ia malah asyik VC-an sama si Doni. Gimana nggak kesel coba? Kalau tahu bakal dibuat cemburu, ngapain juga tadi dia mempersilakanku masuk?” Kutepuk bahunya untuk menguatkan, berharap ia bisa legowo dan tetap semangat untuk mempertahankan Mbak Esti. “Sabar, Gus. Setelah ini kamu bakal jadi satu-satunya yang bisa memiliki Mbak Esti.” Ia memijat pelipisnya sendiri, menoleh padaku dengan seringai aneh. “Enggak, Al. Enggak.” Kepalanya terus menggeleng. “Aku semakin ragu dengan semua ini. Nggak tahu bakal bisa ngelanjutin apa nggak. Capek tahu dipermainkan mulu sama Esti!” “Kamu ini ngomong apaan sih, Gus. Jadi, nyerah? Segitu doang? Cemen!” Tanpa sempat mengelak, tetiba ia menjambak kerah bajuku kasar. Menatapku dengan rahang mengeras. “Nggak usah lagi mencoba menyemangatiku. Aku muak!” Aku terkekeh. Menertawakan dirinya yang plin-plan. “Kalo kayak gini, aku sendiri juga nggak yakin, jika Mbak Esti bakal bahagia sama kamu.” Ia melepaskan cengkeramannya pada kerahku. “Kamu bantuin juga setengah-setengah. Nggak totalitas. Mbok ya diomongin gitu Estinya. Beri dia pengertian, kalo aku lebih baik dari Doni gembel itu!” “Dih, sombongnya keluar! Emangnya aku dapet apa kalo bisa bantuin kamu?” “Apa pun!” Ia berkata dengan wajah tegas, seperti tak main-main. “Aku mau bengkel pribadi, buat usaha.” Ia mengulurkan tangan. “Oke, deal.” Kujabat tangannya erat dengan seringai puas. Berharap semua bakal jadi kenyataan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD