Rencana

1096 Words
Aku terbangun seketika, saat merasakan sentuhan dingin pada ujung kaki. Mata ini membuka tenang sebab masih terasa begitu lengket. Mungkin, efek obat yang kuteguk pagi tadi. Tubuh sontak kaget, ketika menemukan sesosok orang berdiri di pojok kasur. Tepat di ujung kaki yang sempat merasakan belaian lembut tadi. “Bi Sumi! Ngapain? Bikin kaget aja!” Ia tampak tenang, meski nadaku sedikit meninggi padanya. “Maaf, Den. Saya disuruh Tuan bangunin Aden. Ada hal yang perlu dibicarakan. Ditunggu di ruang tamu.” Ia menganggukkan kepala sekali, dengan sedikit menunduk sopan. Lantas, berlalu meninggalkanku. “Tumben sekali? Biasanya Papa yang datang kepadaku, jika butuh berbicara. Kenapa mesti ke ruang tamu?” Aku berdecak. Malas rasanya. Sebab, luka di tubuh yang membatasi gerak, membuatku enggan melangkah. Namun, aku paham betul dengan Papa. Ia bakal murka jika tak menurutinya. Kugeser tubuh ke sebelah ranjang. Mulai menurunkan kaki dan bersiap menjejak. Krakk! Aku sedikit kaget, menaikkan lagi kaki. Alisku terangkat sempurna, saat melihat ponsel yang sempat kubuang tadi, kini semakin lebar retaknya. Kutundukkan badan meraih benda yang layarnya tak lagi mulus. Sekalian akan kutunjukkan pada Papa agar menggantinya dengan ponsel baru. Lagi pula, tipe yang kupakai ini sudah lumayan lama. Beragam tipe baru sudah mulai bermunculan dan tentunya semakin canggih. Aku bahkan sempat ngiler, saat kemarin melihat ponsel punya Bagus. Pantas saja tiap foto yang diunggahnya di sosmed tampak begitu sempurna. Perlahan dan pasti, kuberjalan ke luar kamar. Menuruni tangga dengan susah payah, hingga sampai pada ruang tengah. Kuhentikan langkah, tatkala mendengar percakapan beberapa orang. Aku menempatkan diri berdiri di balik tembok, belum ingin mengintip siapa yang ada di sana. Jadi, ada tamu? Untuk apa aku diajak juga? Samar kudengar suara Bagus, diiringi senda tawa lainnya. Kutajamkan kuping sebentar. Tak kutemukan suara Mbak Esti di sana. “Tak perlu bersembunyi, Den. Sudah ditunggu.” Suara Bi Sumi lagi-lagi membuatku berjingkat. Kuelus d**a pelan, melirik wanita paruh baya yang berjalan membawa nampan minuman ke ruang depan. Mataku seketika melotot tajam, tatkala melihat penampakan sosok wanita yang mengikuti Bi Sumi di belakangnya. Badan refleks bergerak maju, memastikan apa yang kulihat itu benar. “Aldi, sini. Sudah ditunggu dari tadi.” Mama meraih pergelangan tanganku yang berada setengah meter darinya. Aneh sekali. Dahiku mengerut. Saat melihat Bi Sumi yang kini tampak sendiri, menata gelas-gelas di atas meja. Ke mana sosok tadi? Apa aku yang salah lihat? Mataku masih tak percaya. Seperti orang linglung, aku bergelut dalam pikiran sendiri. Hingga tak menyadari, suara Mama kini meninggi menatapku tepat di sebelah. “Aldi! Bisa-bisanya kamu melamun saat diajak bicara!” Aku mengerjap dan menggeleng, menyadarkan otak. “Ma, maaf, Ma. Kenapa?” Kullihat Mama, Papa serta Bagus dan kedua orang tuanya yang kini diam memandangku. Papa menuding sofa sebelah Mama, mengisyaratkanku untuk duduk. Tanpa berkata apa-apa, aku langsung mengempaskan tubuh pada sandaran empuk berwarna merah marun. Keempat orang di depanku masih setia bergeming menatapku. Aku jadi salah tingkah, bingung. Sebenarnya apa yang terjadi sesaat lalu. Ketika aku fokus pada penampakan di belakang Bi Sumi? “Al, kami sedang membahas tentang pertunangan Kakakmu, Esti. Dengan Bagus tentunya.” Papa menyudahi kecanggungan ini dengan mulai mengajakku bicara. Aku mengangguk, mengulas senyum tipis, memandang wajah Bagus yang tampak semringah di sana. Ada sedikit perasaan lega, mengetahui rencana ini. Setelah ini, Doni mungkin akan menjauh dari Mbak Esti dan keluarga kami. Tak terasa kepala mengangguk dengan sendirinya. “Mungkin, kalian kira kami terlalu buru-buru. Tapi, ini semua demi kebaikan Bagus. Juga keluarga kita semua,” ucap Pak Darma yang membuat kami menautkan alis memandangnya. “Jadi begini, kemarin kami sempat mengalami kejadian yang membuat kami memutuskan untuk memanggil orang pintar ke rumah. Dan, benar adanya. Kami harus memberi ikatan pada Bagus dengan Esti, untuk membuat semacam benteng pertahanan. Agar keluarga kami tak lagi mengalami nasib sial.” Papa mengangguk, menimpali ucapan Pak Darma. “Bukankah ini memang rencana kita dari awal? Dengan begini, perusahaan kita juga akan semakin kuat dan maju, bukan? Kita bisa saling sharing.” Aku berdecak malas, melihat Papa yang lagi-lagi mementingkan dunianya, tanpa memikirkan perasaan anak. Satu sisi aku lega pertunangan Mbak Esti dan Bagus dipercepat. Sisi lain, aku muak dengan Papa yang selalu memaksakan kehendak. Apalagi, Mbak Esti juga tak suka dengan Bagus. Namun, mengingat adanya Doni dalam kisah cinta mereka, membuatku membenarkan apa yang seharusnya dilakukan Papa. Mungkin, sudah takdirnya Mbak Esti berjodoh dengan Bagus. Banyak pasangan di luar sana yang awalnya menikah karena perjodohan dan paksaan, kini hidup bahagia dan saling mencinta. Seiring berjalannya waktu, aku yakin Mbak Esti bakal bisa menerima ini semua. “Mbak Esti ke mana? Kenapa tak diajak diskusi juga?” Aku melirik Mama dan Papa di sebelah. “Dia ada ujian di kampus. Tak apa, biar nanti Mama yang memberitahunya.” Kami mengangguk. Bu Winda mulai angkat bicara. Mulai dari membahas konsep dan tema acara, sampai detail makanan dan dekorasi untuk menunjang acara. Mama begitu antusias meladeni setiap perkataannya. Sedangkan Bagus tampak semakin senang melihat kedua orang tua kami yang begitu semangat membahas acara untuknya. Sementara aku, hanya mengiakan segala yang mereka rencanakan. Tak ingin menambah apa pun. Hingga aku teringat satu hal. “Pa, maaf. Kalau bisa, undangan dibuat terbatas, jangan sampai ada orang lain bisa masuk selain para undangan. Jangan sampai kita kecolongan, dan membuat acara jadi kacau. Apalagi, benteng yang dibicarakan Pak Darma belum tentu sempurna, sebelum Mbak Esti dan Bagus benar-benar terikat. Takutnya nasib sial itu muncul di tengah acara.” Rupanya usulku bisa diterima. Bahkan, Pak Darma dan Bu Winda tampak cemas. Aku tahu, mereka begitu percaya dengan ramalan dan petuah orang pintar. Makanya, mereka benar ekstra hati-hati dalam memilih jalan. “Benar kata Aldi, nanti kita buat list undangan dengan hati-hati. Dan orang yang tanpa undangan, tak boleh masuk sembarangan di tengah acara.” Kami semua mengangguk mantap. Menyetujui rencanaku. “Semua sudah bulat, ya. Tinggal kita persiapkan segalanya. Satu minggu cukup bukan? Mari bekerja dengan sebaik-baiknya!” Papa memberi kata final. “Ya, Bagus juga butuh sedikit waktu untuk menyembuhkan luka di kakinya.” Mama Bagus melirik kelingking anak semata wayangnya. “Sama, Aldi malah lebih banyak.” Semua terkekeh. Larut dalam kehangatan canda. Kutemukan wajah polos Bagus yang terlihat begitu bahagia. Ada sebersit rasa bangga, bisa mempercepat jalinan mereka seperti ini. Ucapanku di cafe waktu itu, kini tinggal sejejak lagi. Ia melirikku dan mengucap ‘terima kasih' di sela percakapan kami. Aku mengulas lagi senyum lebih lebar. Ia melirikkan mata di pintu ruang tengah, seolah melihat sesuatu. Alisnya tampak bertaut. Kuarahkan pandang mengikuti apa yang tengah mengusik penglihatannya. Ada sebuah bayangan di sebelah tembok, tampak berdiri di belakangnya. Siapa dia? Bi Sumi ‘kah? Untuk apa ia menguping seperti itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD