Ganti Rugi

1065 Words
Getaran ponsel pada saku membuatku kaget. Kurogoh benda pipih itu dan melihat nama siapa yang tertera di sana. Bu Winda. Nyawa yang sedari tadi seolah menjauh raga, tetiba terkumpul saat menatap nama calon besan Papa itu. Gemetar juga bingung, memenuhi tubuh. Ada rasa ragu untuk segera membalas. Apa yang harus kukatakan padanya, sementara aku tak tahu persis bagaimana keadaan Bagus saat ini. Namun, jika tak kuangkat panggilan ini. Ada hati ibu yang akan terus gusar mencari keberadaan anak yang mungkin saat ini tak bisa untuk dihubungi. Sambungan telepon masih menyala, berdering cukup nyaring pada genggaman tangan. Wajah ketiga temanku kini melirik ke arah ponsel milikku. Meski tanpa menoleh, bisa kulihat dari sudut mata. “Angkat saja, Al. Beri tahu sesuai apa yang kau tahu.” Lucky memberi saran. Tetapi jemariku masih enggan. Hanya menatap layar yang terus menampilkan nama wanita sosialita itu. Keadaan hotel masih ramai, lalu lalang manusia bingung menjadi pemandangan yang kulihat di depanku. Ada raut ketakutan pada wajah mereka. Bagaimana tidak, beberapa jam lalu kami digoncangkan dengan dahsyatnya angin di pantai, dan sekarang mendapati kecelakaan lain di tempat yang mungkin sedikit aman pikir kami. Nyatanya tidak. Di mana pun dan siapa pun, mempunyai potensi tak aman dari segala terjangan bencana. “Al! Malah melamun, sih?” Mataku berkedip dua kali menemukan kesadaran. Aku memutar sedikit kepala ke kiri, tepat pada wajah Fara dengan kernyit yang mengintimidasi. “Ya ...,” jawabku yang malah membuatnya menggelengkan kepala. “Ada seorang ibu yang butuh jawaban di sana.” Telunjuk Fara menuding pada jemariku yang masih menggenggam erat ponsel. Aku mendongak sebentar, memikirkan apa yang akan kukatakan padanya. Lalu dengan mantap menyeret tombol hijau ke atas. Kutempelkan benda pipih ini pada telinga, hanya ada suara gemeresak di seberang sana. “Halo ...,” ucapku memulai obrolan. Tak ada jawaban. Hanya suara entah angin atau apa, membuatku mengerutkan kening. “Halo.” Kuulangi ucapanku. Berharap ia segera merespons. Tetapi, hingga menit ke dua, hanya ada gemeresak yang terus terdengar. Kuputar kepala ke kiri dan kanan, menatap teman-temanku yang juga heran, menunggu jawaban di seberang sana. Menit ke dua detik ke lima belas. Ada suara serak yang mulai membalas panggilanku. “Halo ....” “Bu Winda,” panggilku memastikan. “Maaf, Bu Winda pingsan saat tahu kabar tentang putranya. Ini saya Ki Pratna. Beberapa menit lalu saya datang ke sini, memenuhi panggilan beliau. Tapi saat sampai di sini. Bi Asih berteriak minta tolong. Dan ketika sampai di dalam rumah, saya lihat Bu Winda sudah ada di pangkuan pembantunya itu.” Aku hanya bisa mencerna tiap ucapan kalimatnya tanpa bisa membantu apa-apa. Ketiga temanku kian merapatkan jarak, beberapa kali menaikkan dagu, menanti jawaban dariku. Aku hanya memberi lirikan pada ketiganya. Memberinya kode agar tenang. “Sekarang, bagaimana keadaan Bu Winda?” “Bi Asih masih berusaha menyadarkan. Jika kamu tahu tentang kabar terbaru dari Bagus, tolong hubungi kembali. Bu Winda pasti menunggu.” Aku mengangguk, meski tahu seseorang di sana tak bisa melihat ekspresiku. “Maaf, boleh tahu Pak Darma di mana?” tanyaku sebelum menutup telepon. “Beliau ada pekerjaan di luar negeri. Mungkin, Pak Darma juga belum tahu kabar ini. Lebih baik tak usah memberitahunya dulu, dari pada bikin panik.” “Baiklah, akan kuhubungi kembali nanti. Terima kasih informasinya.” Kututup sambungan telepon dengan menutul tombol merah. Aku menolehkan kepala ke kiri dan kanan, menatap ketiga temanku yang kini seolah bingung dengan keadaan masing-masing. “Kalian pulang saja. Aku mau nyusul Papa ke rumah sakit. Sekalian cari tahu bagaimana kondisi Bagus. Kasihan Bu Winda.” Lucky mengusap jemariku, “Aku temani kamu. Aku juga nggak mau terjadi apa-apa sama kamu. Dari tadi sepertinya jiwamu masih tergoncang.” “Aku setuju. Nanti kabari kita ya kalo sudah sampai sana.” Geisya mengangguk sekali. Setelahnya ia berdiri dan mulai menuntun Fara melangkah. Meninggalkan kami berdua yang masih bergeming di atas bangku panjang. Baru saja aku hendak berdiri, ponsel kembali berdering. Kurogoh kembali saku dan mengecek siapa penelepon kali ini. Rupanya Papa, segera kutarik layar untuk menghubungkan kami. “Halo, Pa.” “Al, kamu bisa ke sini, nggak?” Terdengar suara Isak tangis seseorang di sebelahnya. Jika tidak salah itu suara Mbak Esti. Kenapa ia menangis? “Iya, Pa. Ini Aldi mau ke sana sama Lucky. Mm ... bagaimana keadaan Bagus? Barusan Bu Winda telepon. Aku harus tahu kondisinya untuk memberi informasi.” Beberapa detik tak ada jawaban. Hanya hening yang membuatku semakin takut, sebenarnya apa yang sedang Papa tutupi? “Sebaiknya kamu ke sini. Biar tahu dan lebih jelas. Papa benar-benar nggak bisa menjelaskan.” Suara tangis di sebelahnya kian kuat, saat Papa berbicara demikian. Aku semakin penasaran, melirik Lucky yang sepertinya sama bingungnya denganku. “Baiklah, Aldi langsung ke sana sekarang.” Tanpa menunggu jawaban, kuakhiri sambungan telepon dan menganggukkan kepala pada Lucky. Kami bangkit dan berjalan menuju lahan parkir, yang di sana masih penuh dengan manusia. Kami berjalan dengan menerobos kerumunan. Ingin tahu juga keadaan pasca kecelakaan yang dialami Bagus. Asap sudah tak lagi pekat, genangan air di bawah mobil membasahi lantai parkir. Mungkin, habis digunakan untuk menyemprot mobil dari kebakaran tadi. Beberapa orang tampak marah. Melotot pada seseorang dengan kemeja dan dasi. Aku mendekat untuk mengetahui apa yang tengah diperdebatkan. Samar kudengar bahwa mereka adalah pemilik mobil yang ditabrak Bagus, sementara lelaki berdasi adalah manager hotel ini. Mereka meminta pertanggungjawaban atas apa yang terjadi. Aku memberanikan diri mendekat, turut masuk dalam obrolan meski tanpa dipersilakan. Lucky hampir menarik tubuh ini, tetapi aku sudah terlanjur masuk. “Maaf, saya harus menyela ini. Biarkan saya yang bertanggungjawab atas kejadian ini. Semua kerusakan yang terjadi dengan mobil kalian, akan kuganti sepenuhnya.” Beberapa manusia langsung menatapku dengan heran, masih tak mengerti. “Aku yang menyebabkan kecelakaan terjadi. Karena aku, temanku Bagus sekarang masuk rumah sakit. Jadi, akan kuurus semua kerugian yang kalian alami. I’m promise.” “Yakin? Anda siapa?” Seseorang tampak meremehkan. Menatapku dengan sungging sinis. “Bisa dilihat di CCTV, saya dan Bagus yang mengalami kecelakaan tadi. Hanya saja saya masih selamat, tidak dengan temanku.” “Ya, aku ingat. Aku yang menyeretnya masuk hotel, saat mobil-mobil itu mulai mengeluarkan asap.” Kuulurkan tangan kanan pada sosok yang masih melirik sinis. Meski agak ragu, ia pun membalas jabatanku, “Perkenalkan, saya Aldi Wicaksana, putra dari Andri Wicaksana.” Seketika wajah-wajah tegang itu melunak, tak lagi berteriak. Seperti mengerti siapa aku ini. Sang manajer pun mengucap terima kasih padaku. Kubalas dengan anggukan sopan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD