Harapan Tinggal Kenangan

1052 Words
Ki Pratna hanya terdiam, melihat Bi Asih mengusapkan kayu putih ke beberapa bagian tubuh Bu Winda. Ia seperti dibingungkan keadaan. Kenapa Bagus bisa mengalami kejadian ini? Padahal ia sudah memberi gelang keselamatan padanya. Apa mungkin ilmunya kali ini sudah memudar? Atau memang benar apa yang dikatakannya sendiri, bahwa semua akan sia-sia, jika saja pasangan Bagus tak memiliki rasa yang sama dengannya. Jadi, untuk apa mereka mengikat dua hati, jika hanya bertepuk sebelah tangan? Ia masih duduk di kursi sebelah ranjang. Melirik tiap gerakan Bi Asih, berharap bisa memberinya bantuan, jika Bi Asih membutuhkan pertolongan. “Apa perlu air?” Pria berjenggot itu memberi saran. Bi Asih menggeleng, “Nyonya memang sering pingsan. Apalagi jika mendapat kabar yang tiba-tiba. Terutama tentang Den Bagus. Anak semata wayangnya.” “Jadi, jika kamu sudah terbiasa dengan keadaan ini, mengapa harus berteriak?” Bi Asih terkekeh, masih berkutat dengan pekerjaannya mengusap kepala majikannya. “Hanya sedikit panik. Apalagi, kami sendirian di rumah. Biasanya banyak pekerja dan tim dari nyonya. Tapi hari ini semua libur.” “Tim?” Ki Pratna menopang dagu dengan sebelah tangan “Ya, nyonya seorang selebgram, ia butuh banyak orang untuk membuat konten.” Lelaki berjenggot itu mengernyit. “Aku tidak tahu itu.” Lagi-lagi Bi Asih terkekeh, “Ki Pratna terlalu sibuk dengan ilmu astral, sampai lupa dengan dunia.” Pria itu menaikkan sebelah alis, “Mungkin.” Sebuah gerakan mulai terlihat dari telapak tangan Bu Winda, jari-jarinya terangkat perlahan. Kedua manusia di sebelahnya mendekat, memastikannya benar-benar siuman. Tetapi, beberapa detik kemudian, kembali tenang. Tak bergerak. Bi Asih cemas, mengusap kembali kening dan memegang telapak tangan majikannya. “Nyonya, bisa mendengar suaraku?” Wanita berdaster itu mengganti posisi. Duduk bersimpuh di sebelah ranjang dengan menciumi tangan Bu Winda, sembari mengusap-usap agar segera direspons. Ki Pratna turut duduk di tepi ranjang bagian bawah. Memegang telapak kaki Bu Winda sambil mengucap sesuatu. Ia menempatkan jemarinya pada titik-titik tertentu di bawah telapak kaki. Seperti mengalirkan ilmunya. Bi Asih hanya memperhatikan penuh cemas, berharap sang majikan segera sadar. Rapalan mantra pada bibir Ki Pratna kian cepat, tetapi tanpa suara. Lelaki itu kini memejam. Kian kuat menusukkan jari, hingga beberapa detik setelahnya, Bu Winda bangkit dari tidur, duduk tegak sembari berteriak melengking, “Baguuuss!!” Ia membuka mata, napasnya terengah-engah, menatap dua manusia yang ada di sebelahnya. Bi Asih mengucap syukur, memegang kembali tangan majikan, sembari menghujaninya dengan kecupan pada punggung tangan. Bu Winda masih linglung, berusaha mengumpulkan kesadaran. Ia hanya diam, saat Bi Asih menciumi tangannya. Baru ketika ia menatap lekat wajah Ki Pratna, nyawanya seolah kembali. “Ki ....” Kata itu yang pertama kali muncul dari bibir merah merekah itu, disertai genangan yang kini memenuhi pelupuk matanya. Ki Pratna mengulas senyum, mendapati customer-nya sudah benar-benar sadar. Bi Asih tergopoh mengambil minuman di atas meja, tangannya gemetar hingga air sedikit kocar-kacir dari gelas. Secepatnya memberi pada sang majikan. Bu Winda menerimanya penuh suka, meneguk tandas isinya tak bersisa. Seolah habis melakukan perjalanan jauh, kerongkongannya butuh siraman segar air untuk dibasahi. “Tenang dulu, Bu. Saya juga masih memikirkan semua ini. Bagaimana bisa gelang itu tak ampuh?” Ki Pratna memulai obrolan, saat Bu Winda melirik dirinya. Bu Winda memberikan gelas pada Bi Asih, mengusap bibirnya dengan ujung baju bagian lengan. “Asih, apa ada kabar terbaru dari Bagus?” Wanita yang berdiri tepat di samping ranjangnya itu mengernyit sebentar, lalu menggeleng. “Sudah tanya Aldi?” Asih merapatkan kedua jemari di sela paha. “Mas Aldi masih perjalanan menuju rumah sakit. Katanya, nanti kalau sudah di sana, bakal kasih tahu kondisi Aden.” Bu Winda menolehkan kepala ke sekitar ranjang, mencari sesuatu. “Di mana ponselku?” Tergopoh, Asih berdiri dan mengambil benda milik majikannya di atas meja rias. Mengulurkannya cepat pada wanita yang penuh gurat cemas. Tangannya lihai menggerakkan layar mencari nama seseorang dalam daftar kontak. Ia berhenti pada kontak dengan nama Aldi, hendak menekan tombol dengan gambar gagang telepon. Belum juga sempat ia terhubung, ponselnya menunjukkan sebuah nama memanggil, Papa Darma. Wajahnya sedikit menegang saat tahu siapa yang kini ingin menghubunginya. Sudut matanya melirik Asih dan Ki Pratna bergantian. Dua sosok di depannya hanya diam tak mengerti. Ia mengangkat ponselnya berdiri, menunjukkan pada keduanya. “Bagaimana ini?” Bu Winda berharap diberi saran, sementara ponsel masih terus bergetar. “Angkat saja, tak usah membahas soal Bagus,” saran Ki Pratna. Wanita itu seolah mempersiapkan batinnya. Menghela napas sebentar, menyibakkan rambut ke belakang, lalu menempelkan benda silver pada telinga penuh hati-hati. “Halo, Pa.” Ia mengatur nada bicaranya dengan ceria agar tak terkesan sedang dalam keadaan sedih. “Ma, ganti ke panggilan video.” Ia menuruti ucapan suaminya, menjauhkan ponsel dari telinga dengan menghadapkan wajah tiga puluh centimeter dari layar. Lantas, mengubah mode telepon ke video. Bu Winda tampak bingung, ia disuguhkan pemandangan banyak orang yang duduk di atas kursi-kursi panjang. Sebagian tampak sayu, seperti tengah menahan. Lainnya banyak sosok dengan seragam putih yang berjalan dengan sebuah alat yang menggantung di leher masing-masing. “Pa, itu di mana?” Ia sepertinya tahu suasana tempat itu. Tempat yang pernah membantunya melahirkan Bagus puluhan tahun lalu. Namun, agaknya ia enggan menebak. Membiarkan suaminya menjelaskan. “Aku di sini, setelah diberi kabar oleh Pak Andri. Beliau juga di sini, sama Esti.” Pak Darma mengarahkan kamera pada wajahnya, bergeser ke kiri, tepat pada wajah calon besan dan menantunya yang duduk resah bersandar pada tembok. “Oh, syukurlah. Terus ... bagaimana keadaan Bagus? Apa ia baik-baik saja?” Kini nadanya terburu, ingin secepatnya tahu kabar anak semata wayangnya itu. “Belum, Ma. Kami juga sedang menunggu. Dokter belum keluar dari ruang ICU. Doakan saja yang terbaik.” Wanita yang terkenal selalu ceria itu membekap mulutnya. Mulai terisak. Kerut pada keningnya kini penuh. Gerakannya patah-patah menahan tangis. Asih segera merangkul sang majikan. Mengambil ponsel dari tangan yang kini melemas kembali. Suara Pak Darma kini terdengar berbicara pada seseorang, tetapi lupa untuk menutup sambungan teleponnya. Asih, Bu Winda, dan Ki Pratna mendengarkan dengan saksama. Maaf, kami sudah berupaya sebaik mungkin. Tapi keadaan kaki pasien sudah tak ada harapan. Remuk. Sebaiknya dilakukan operasi untuk amputasi, daripada fatal. Bu Winda kian membekap mulutnya erat. Matanya memejam semakin kuat. Mendengar penuturan seseorang yang bisa ditebak jika dia seorang dokter. Lalu menangis kencang. Asih segera menutup sambungan telepon. Memberi pelukan kian erat. Suara tangis wanita lima puluhan itu begitu pilu, menyayat hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD