Salah Siapa

1121 Words
Aku diseret menuju hotel kembali, tetapi hatiku benar-benar tak tenang. Kepalaku masih saja tertuju pada lorong parkir, tempat di mana Bagus sedang terimpit beberapa mobil. Seketika ingatanku kembali pada Doni. Gigiku bergemeletak geram. Ke mana lelaki sialan itu? Bisa-bisanya ia mencelakai kami dua kali hari ini. Sebenarnya apa yang diinginkannya? Banyak manusia mulai datang mengerubungiku. Bertanya saling bersahutan. Kepalaku terasa begitu ngilu, mendengar sahutan suara mereka diiringi wajah yang kembali seperti adegan slow motion. Bergerak lambat, dengan mulut yang membuka dan menutup. Aneh sekali. Bahkan perlahan suara mereka hilang. Hanya senyap menyelimuti. Telingaku berdenging, Dari perlahan, hingga kian kencang. Aku menutup kedua telinga, menggelengkan kepala dan tubuh. Berharap semuanya segera berlalu. Namun, dengungnya kian kuat. Serasa menyakiti telinga. Apa yang terjadi? Beberapa sosok mulai mengoyak tubuhku, masih dengan adegan pelan dan patah-patah. Aku memejam, menaikkan kaki dan berjongkok memeluk kedua kaki. Layaknya orang yang kehilangan kewarasan. Aku mulai berteriak kencang. Menyumpahi wajah-wajah di depanku dengan sumpah serapah. Semua kata kotor keluar dari bibir ini tanpa bisa dicegah. Sosok-sosok di depanku perlahan mundur, saat tanganku mulai merentang dan menyabet ke segala arah. “Pergi kalian, pergiii!!” Masih tak ada suara dari mulut mereka yang bisa kudengar, hanya dengungan nada seperti sambungan telepon yang terputus. Terus mengisi telingaku. Walau aku tahu, mereka tengah berbicara satu sama lain, tak ada yang bisa masuk dalam pendengaranku. Tampak raut mereka mengernyit, tak ada lagi yang bergumam seperti sebelumnya. Mereka mundur beberapa centimeter dariku, menatapku dengan pandangan aneh. Seperti melihat hal yang tak biasa. Hingga sentuhan pada bahu sebelah kanan, membuat semuanya kembali normal. Suasana yang sebelumnya senyap, kembali terdengar suara gerutu orang-orang. Gerakan mereka pun tak lagi pelan. Aku menoleh saat sentuhan pada bahu, terasa semakin kuat. Kutemukan wajah Papa di sana. Ia mengoyak bahuku kembali, seolah mencoba menyadarkan. “Al, kamu kenapa?” Anehnya aku malah memberontak, menyingkirkan tangannya dari tubuhku dengan mengamuk. Bercericau tak jelas. Kembali merentangkan tangan ke sembarang arah. Ia mencoba menenangkanku dengan kata-kata lembut, terus berusaha memegangku yang terus saja memberontak seperti tak kenal dengan dirinya. Aku bahkan tak tahu apa yang terjadi dengan diriku, kenapa aku tak bisa mengontrol emosiku sendiri? Tangan Papa kian kuat mencengkeram, tetapi gerakanku juga lebih kencang menepis. Semua orang kian geram, melihatku yang tak bisa diatur. Papa mulai emosi. Wajahnya memerah dengan napas memburu. Ada sebersit raut marah pada wajah Papa. Ia menggeleng pelan, lalu tanpa basa-basi menggampar keras pipiku. Plaaak!! Aku menjatuhkan wajah ke kiri, seiring gerakan tamparan dari Papa. Suara orang-orang yang sebelumnya riuh dalam gerutu, kini diam. Tak ada yang bersuara, hanya tatapan-tatapan mereka yang kini menyertai suasana. Beberapa menunjukkan ekspresi kasihan. Lainnya seperti setuju dengan apa yang dilakukan Papa. Menyeringai masam, ketika melihat aku menunduk dan memegang ujung bibir. Napasku mulai memburu, melirik wajah Papa dan orang-orang di depanku. Ada rasa nyeri di ujung bibir ini. Kusentuh sesuatu yang terasa merembes di sana. Cairan merah pekat terlihat menempel pada jari telunjukku. Penuh kesal aku melirik Papa dengan sudut mata. Tega-teganya ia mempermalukanku di depan umum seperti ini. Ia tampak bingung, memandang tangan yang digunakannya untuk menampar wajahku. Aku tahu ada rasa sesal dalam hatinya. “Aahhh ...!!” Suara teriakan seseorang membuyarkan perhatian orang-orang di depanku. Kepala mereka menoleh berbarengan ke sebelah kiri, tempat asal suara teriakan itu muncul. Lagi, suara jeritan seseorang itu terdengar kesakitan. Aku mulai mengenal suara itu. Ya, Bagus lah pemilik suara yang kini terus mengerang kesakitan. Semua segera beranjak mencari tahu, meninggalkanku sendiri dengan keadaan yang masih setengah sadar. Aku bagai orang linglung, tak turut beranjak untuk mencari tahu bagaimana keadaan calon kakak iparku di sana. Hingga suara tapak kaki banyak orang terdengar mendekat. Aku menoleh ke sudut di mana suara itu berasal. Pada pintu antara lahan parkir dan hotel, beberapa manusia berjalan cepat, membopong seorang pria. Kutemukan wajah Bagus di atas pangkuan orang-orang. Ia terus berteriak, dengan menatap bagian kaki kirinya. Aku mengikuti sorot matanya ke bawah. Tepat di kaki kanannya, cairan merah terus menetes dari sana. Bahkan keadaannya layu, seperti tanpa tulang. Tetesan-tetesan darah membentuk garis panjang mengikuti pergerakannya. Aku langsung bergidik ngeri. Wajahnya pun gosong, seperti habis terkena asap tebal. Ingatanku kembali pada kejadian sebelumnya. Mungkin mobil Bagus mengalami kebakaran saat tabrakan beruntun tadi. Aku yang lupa mengenakan sit belt, seketika terlempar dari mobil. Tidak dengan Bagus. Aku benar-benar menyesal, kenapa harus mengikuti keinginannya untuk pergi dari hotel. Jika saja aku menolak, mungkin kecelakaan ini takkan pernah terjadi. Kutemukan pula sosok Papa, Mbak Esti, juga teman-temanku. Wajah mereka tampak ketakutan dan panik, berjalan cepat mengikuti gerakan orang-orang yang membopong tubuh Bagus. Seakan tersadar, seketika kuangkat tubuh berdiri. Mulai turut mengikuti mereka. Ia dimasukkan dalam sebuah mobil di belakang hotel. Papa dan Mbak Esti ikut masuk ke dalamnya. Tetapi tidak dengan teman-temanku. Aku terus mendongak memperhatikan mereka, sembari menerobos kerumunan orang-orang, berharap turut masuk menemani Bagus. Namun sayang, mobil segera melaju cepat meninggalkan. Mungkin, keadaan Bagus sudah terlalu gawat. Jika tidak segera dibawa ke rumah sakit, akan bahaya untuk dirinya. Kami hanya melongo, ketika mobil itu bergerak menjauhi hotel dengan terburu. Termasuk aku, hanya bisa pasrah, meski sudah berteriak memanggil nama Bagus. Sentuhan pada pundak di samping, membuatku menoleh pada sosok Lucky. Seketika kuberondongi dia dengan berbagai pertanyaan. “Kamu tahu keadaan Bagus tadi? Bagaimana? Apa ia akan baik-baik saja?” Tanganku langsung mengoyak tubuhnya. Berharap ia segera memberi jawaban. Namun, ia hanya menunduk terdiam. Menampilkan ekspresi yang tak bisa kutebak. Ia meneguk ludah, menggelengkan kepala pelan. Menatapku dengan pandangan sayu. “Parah, Al. Aku nggak yakin ia akan baik-baik saja.” Mulutku langsung menganga, dengan mata yang berkedip-kedip, menahan cairan hangat yang seketika memenuhi kelopak. Bahkan pandanganku pun terasa buram. Tubuh langsung lemas. Hampir saja ambruk, jika Lucky tak sigap menarik punggungku. Ia memeluk bahuku dan menyeret tubuh ini berjalan kembali ke dalam hotel. Langkahku gontai. Apalagi saat melihat ceceran darah Bagus yang kini mulai dibersihkan beberapa OB. Sungguh aku tak tahu bagaimana kondisinya sekarang ini. Itu pasti teramat menyakitkan. Entah sejak kapan Fara dan Geisya turut mengikuti kami dari belakang. Keduanya ikut membantuku duduk, ketika sampai di sebuah kursi panjang. “Ini benar-benar liburan paling buruk sepanjang hidupku.” Fara mendengus lesu. Ia duduk tepat di sampingku, merebahkan punggung pada dinding. Kulihat kaki kirinya menjulur panjang, dan masih terbuntal perban. “Jika tahu kita bernasib sial seperti ini, aku takkan mau ikut. Mending di rumah, rebahan sambil makan kripik kentang.” Sambung Geisya. “Maafkan aku, ini semua salahku. Aku yang punya rencana dan melibatkan kalian semua. Padahal, planningku hanya untuk mendekatkan Mbak Esti dengan Bagus.” Lucky memajukan tubuh, menyandarkan siku pada kedua pahanya. “Tak usah saling tuding dan menyalahkan. Ini semua keinginan kita sendiri.” Kami mengangguk, tak ada yang saling pandang. Hanya ada raut cemas pada wajah masing-masing. Seperti melamun dengan tatapan kosong. Bergelut dengan pikiran masing-masing.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD