Waktunya

1325 Words
Seorang desainer langganan Mama sudah datang ke rumah malam ini. Aku terkekeh melihatnya dengan gestur gemulai. Tangannya sungguh lentik merentang dengan uluran tali meteran. Ia mengukur tubuh Papa yang berdiri di depannya. Sesekali ia mencubit perut dan pipi Papa. Membuat kedua orang tuaku tergelak dalam tawa. “Pak Bos nih. Meski sudah berumur tapi otot-ototnya masih mengkel ya. Hihi ... jadi gemes!” Aku benar-benar geli melihat kelakuannya. Baru kali ini kutemui lelaki genit macam dia. Aku benar-benar tak paham dengan manusia macam mereka. Terkadang, ada rasa kasihan, saat melihat orang seperti itu yang terkadang dipandang sebelah mata. Aku tahu, di dalam hati kecilnya, ia juga tak ingin menjadi seperti itu. Namun, apa daya jika takdir sudah digariskan. Aku duduk bersama Mbak Esti di sofa ruang tengah, menanti untuk diukur juga. Sembari tanganku sibuk menggoreskan tinta untuk mengecek list nama yang disodorkan Papa. Mama terdengar cerewet saat si desainer menunjukkan foto hasil rancangan untuk acara kami. Bahkan, keduanya saling ngotot untuk mengatakan keinginannya masing-masing. Mama yang ingin sempurna, sedikit tak paham dengan apa yang dilontarkan lelaki gemulai tersebut. Aku mengerti, pria itu sebetulnya paham apa yang Mama inginkan. Namun, terkadang membuat suatu rancangan pun ada kerumitan pada bagian-bagian tertentu. Sehingga, ia memberi sedikit solusi untuk mengubahnya agar tak rumit saat merancangnya nanti. Namun, rupanya Mama tak mau tahu, ia terus bersikeras dengan pendiriannya. Maunya harus sempurna. Tanpa cacat. Sementara, Mbak Esti di sampingku malah sibuk dengan ponselnya sendiri. Tak mau tahu apa yang tengah diperdebatkan Mama. Papa juga tampak sibuk menelepon beberapa koleganya, mengabari tentang hari bahagianya. Riuhan tawa Papa malah membuat Mbak Esti semakin malas dan muak. Ia sibuk membalas chat dengan sesekali terkikik. Sedangkan aku disibukkan Papa untuk mengurus dan mencatat undangan yang bakal meramaikan acara. Papa nggak mau kecolongan tamu tak diundang dan membuat acara spesial ini kacau. Aku juga butuh berhati-hati. Menjadi pengawal untuk Papa dan Mbak Esti. Sebab aku juga ingin apa yang dikatakan kedua orang tua Bagus benar adanya, jika semua kesialan yang terjadi pada kami akan segera berakhir setelah adanya ikatan pertunangan ini. Saat tiba waktuku dan Mbak Esti untuk diukur. Pria desainer itu tampak berbeda. Bahkan, ia tak mengucap kata lucu seperti halnya saat mengukur Papa tadi. Sepertinya ia berkonsentrasi dan diam untuk fokus pada pekerjaannya. Kutelisik isi kepalanya. Kudengar ada suara meracau di dalam. Rupanya ia sedikit malas, sebab perdebatannya dengan Mama tadi. Namun, ketika mengukur bagian dadaku, ia mengerling manja. Aku terkesiap, napasku terasa tercekat. Apalagi, ia berada tepat di depan wajahku. Dengan kulit mulus sempurna dan bandana pada kepala untuk menyingkap rambut merahnya. Aku mencoba menahan tawa, tak mau membuatnya tersinggung. Ia malah menikmati saat aku hanya pasrah dan diam saja mengikuti apa yang dilakukannya, tanpa membantah. *** Empat hari, semua persiapan dan segala pernak-pernik sudah rampung dan matang. Dalam empat hari itu juga, tak kulihat Doni sekali pun. Mungkin, ia tahu tentang rencana pertunangan ini, dan memutuskan untuk menjauh dari Mbak Esti. Namun, sungguh aneh rasanya. Ia bak ditelan bumi. Menghilang begitu saja tanpa jejak. Bahkan rutinitasnya untuk datang menemui Papa dan meminta tanda tangan, diganti oleh sopir lain. Hingga membuatku mengerutkan kening. Sebenarnya apa yang ia rencanakan kali ini? Aku yakin, dia tak mungkin diam saja. Apalagi, jika benar-benar tahu tentang acara akbar untuk Mbak Esti. Ya, aku harus waspada dengannya! Mengingat apa yang pernah dilakukannya padaku dan Bagus waktu itu. Besok, adalah puncak acara. Entah, kenapa jadi aku yang deg-degan menunggu waktu esok. Aku merasa bagai anak gadis yang tak sabar menunggu sang pangeran datang meminang. Inikah yang dirasakan Mbak Esti? Atau justru sebaliknya? Bahkan, aku tak dapat tidur tenang. Gelisah, terbangun dan tertidur berulang kali saat malam hari. Sungguh resah dan tak sabar. Beruntung, seluruh borok dan luka di tubuh sudah sepenuhnya sembuh. Hanya beberapa bekas luka saja yang perlu sedikit perawatan. Aku dengar, Bagus juga sama. Ia sudah kembali bisa memakai sepatu. Kami sudah benar siap untuk menyelenggarakan acara besar besok. Hari itu pun tiba. Sejak pagi, orang-orang suruhan Papa sudah berlalu lalang di dalam rumah. Ruang keluarga yang lumayan besar. Disulap sedemikian rupa, menjadi aula pertemuan tamu undangan. Bunga mawar pink, menjadi hal yang dominan di setiap sudut ruang. Sebab, bunga itu adalah kesukaan Mbak Esti. Semerbak wanginya memenuhi ruang. Mencipta suasana damai dan romantis. Sorot lampu kuning dari bawah di sudut-sudut ruang, menjadikan hal ini tampak elegan. Siap untuk membawa acara ini menjadi lebih dramatis. Meja-meja bundar ditata bersama dengan kursi yang dibalut kain pink dengan pita warna senada. Backdrop dengan bunga dan kain pink, melingkar dan menggelantung, ditata di bawah tangga. Tepat di tengah. Untuk menggiring mata para undangan, langsung tertuju di sana. Tempat di mana Papa akan mengumumkan acara pertunangan untuk gadis pertamanya nanti. Aku beralih ke bagian dapur. Belum tepat di ruang dapur, aroma dan kepulan asap masakan sudah menggugah cacing-cacing di perut untuk meronta. Kuusap perut yang bergemuruh, ketika mendapati beberapa kue dan adonan masakan yang tertata di meja panjang. Bi Sumi terlihat sibuk mengatur para orang catering yang disewa Papa untuk sigap menyelesaikan semua masakan, agar bisa matang tepat waktu. Kuembuskan napas lega, melihat semua terkontrol dan terkendali dengan baik. Sesaat lagi, bagian dokumentasi pun akan tiba, untuk mengabadikan momen-momen hari indah ini. Sejak sore pun, para MUA sudah datang untuk menyulap wajah Mama serta Mbak Esti agar cantik paripurna. Papa menyewa mereka yang terbaik untuk istri dan anak-anaknya. Ia ingin semua mata tertuju pada kami. Para keluarga inti. Satu jam sebelum acara digelar. Keluarga Bagus datang dengan pakaian dan make up sempurna. Aku bahkan sedikit pangling melihat potongan rambutnya yang dipotong licin dengan pomade yang disisir ke belakang. Tak lupa jas hitam dengan jahitan lipit pink di bagian ujung lengan. Tentunya senada dengan warna gaun yang akan dipakai Mbak Esti. Tak sabar rasanya melihat mereka bersanding bersama. Pasti begitu serasi, pikirku. Saat pintu kamar Mbak Esti terbuka, mata Bagus seperti terhipnotis. Mulutnya menganga, seakan tak percaya melihat calon istrinya begitu anggun dalam balutan gaun pink yang melebar bagian bawahnya. Kulitnya yang putih mulus, sungguh cocok dengan warna pink salem. Membuatnya tampak lebih bersih. Ia mengangkat sedikit gaunnya ketika berjalan. Menampakkan betis kecilnya dan sepatu higheels warna senada. Rambutnya dibiarkan tergerai dan sedikit di curly bagian ujung-ujungnya, dengan selipan pita aksen mutiara di sebelah kanan. Tepat di sebelah poni yang ditata miring. Make up-nya minimalis tak begitu mencolok. Namun, sukses membuat Mbak Esti pangling. Bagus melangkah untuk mendekat. Tepat ketika keduanya saling berhadapan, Bagus mengulurkan tangan padanya. Namun, Mbak Esti hanya mendelik tanpa membalas maupun berkata sepatah kata pun. Wajah Bagus terlihat kecewa. Perlahan mengepalkan jemari yang terulur dan menariknya kembali. Kini wajahnya ditekuk. “Ti, tolong! Biarkan aku merasa benar-benar jadi pasanganmu untuk malam ini. Demi keluarga kita. Please ...,” pinta Bagus memelas. Mbak Esti masih bergeming memandangnya. Beberapa detik, ia membuang muka ke kiri. Mengangkat gaunnya kembali. Rupanya ia ingin pergi. Aku yang sedang memasang kancing pada lengan, benar-benar tak percaya Mbak Esti masih saja bersikap dingin pada Bagus. Langsung saja kudekati keduanya. Habis sudah rasa sabarku pada Mbak Esti. “Mbak, tega sekali kamu sama calon suami sendiri. Lihat dong mereka!” Kutunjuk jari telunjukku pada keempat orang tua kami yang bersuka ria tergelak dengan wajah bahagia. “Hargai dikit napa? Bersandiwaralah untuk malam ini. Lihat juga Bagus yang sudah sabar mengikuti sikapmu yang kian hari malah sedingin es!” “Aku nggak peduli. Aku hanya mau dan bisa berakting di depan orang tua kita. Tapi tidak di depan Bagus. Ini hati, Al. Bukan mesin ciptaan manusia! Perasaan tak pernah bisa berbohong. Aku muak dengan semuanya! Aku bagai badut yang rela menghibur demi kepuasan tawa mereka. Tanpa pernah dihiraukan. Hanya demi imbalan!” Mbak Esti mengentak kasar, berlalu meninggalkanku bersama Bagus yang penuh dengan raut kecewa. Tepat tiga langkah ia berjalan. Tubuh Papa sudah berdiri di depan kami. Matanya melotot tajam pada Kakakku itu, dengan rahang mengeras. “Apa-apaan kamu, Esti! Jadi, selama ini kamu membohongi kami dengan bermuka dua seperti ini!” Mbak Esti tampak tercekat. Terdiam memandang wajah Papa dengan sedikit mendongak. Kulihat bahunya berguncang gemetar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD