Bab 8 - Situasi Rumit

1373 Words
“Kau sungguh, tak memintaku datang ke klub?” tanya Queen setelah mengganti pakaiannya dan meminjam pakaian Lily. “Sungguh, Queen. Untuk apa aku berbohong dan untuk apa juga aku mendatangi klub. Bisa-bisa, Erick menggantungku hidup-hidup!” Jawaban Lily tentu saja menimbulkan tanda tanya besar untuk Queen yang masih meluangkan sedikit waktunya untuk terbahak kilas. Lily yang terbuka, dan kadang tak bisa memfilter perkataannya, tentu saja membuatnya terhibur. “Jadi, kau datang ke klub semalam?” tanya Lily penasaran dan Queen mengangguk. “Iya. Aku takut terjadi sesuatu padamu, Lily. Tapi, begitu sampai kau tidak ada di sana,” jawab Queen sambil menghela napasnya pelan. Lily memicingkan matanya melihat ekspresi Queen tadi. “Apa terjadi sesuatu padamu semalam? Di klub? Sehingga membuatmu nyaris terlambat datang?” tanyanya beruntun. Queen menatap Lily kilas. Ya, memang terjadi sesuatu padanya semalam. Tapi, tak mungkin juga kan, dia mengatakan pada Lily, jika dirinya terjebak bersama seorang polisi dan tidur bersama? Mau ditaruh di mana mukanya? Lily pasti akan berpikiran macam-macam tentangnya. “Tidak ada, Lily. Begitu melihatmu tidak ada, aku segera pulang.” “Kau tidak sedang berbohong ‘kan?” Queen tertawa pelan. “Sikapmu yang seperti detektif inilah yang mungkin membuat Erick sering kesal,” jawab Queen menetralkan detak jantungnya yang berdetak cepat. Dia selalu berdoa, semoga saja dirinya tak pernah bertemu dengan polisi itu lagi. Petualangan semalam, benar-benar begitu memalukan. Bagaimana bisa, dirinya menjadi pemimpin selama beberapa dekade pergulatan? Astaga, jika Jasmine tau. Dia pasti akan marah-marah dan meminta Peter menemukan polisi yang sudah menidurinya. Dan keributan akan terjadi setelahnya. “Queen?” “Ya?” “Kau melamunkan apa? Aku jadi curiga, kau menyembunyikan sesuatu dariku! “ lagi-lagi, Lily menaruh curiga. Queen kembali tertawa. “Tidak ada, Lily. Astaga kau ini. Aku hanya memikirkan ketegasan juri pria tadi. Entah bagaimana jadinya kalau pria tadi tidak se tegas itu. Aku pasti sudah pulang dan menangis seharian,” ucap Queen diselingi candaan. “Eh, ngomong-ngomong, juri yang sedang kau pikirkan itu adalah kekasihku,” celetuk Lily membuat Queen terkejut sampai membulatkan matanya. “Jadi, dia pria kemarin yang bertengkar denganmu? Yang kesal karena sebab tak jelas itu? Pria bernama Erick, CEO sekaligus pemilik agensi ini yang sifat posesifnya sampai-sampai membuatmu tidak bisa lagi menjadi model?” “Ya, itu aku. Apa ada masalah denganmu?” Ctak! Cangkir yang dipegang Queen nyaris saja terjatuh jika saja tak ada meja di depannya. Bagaimana bisa, pria itu tiba-tiba muncul seperti ini? “Em, hey Erick. Kau—“ “Aku masih kesal padamu. Kedatanganku kemari, bukan untuk menemuimu.” Erick yang tak menyangka, akan ada seseorang di ruangan Lily, mendesah kesal karena harus mencari alasan baru karena Lily dan peserta bernama Queen itu ternyata kenal dan sedang membicarakannya. Padahal, niatnya ke ruangan ini adalah untuk bertemu Lily walaupun masih dalam situasi marahan setelah pertengkaran mereka kemarin. Aneh memang. Tapi, dia tak bisa jika dalam sehari saja, tak melihat model terbaiknya yang sudah vakum karena dirinya juga penyebabnya. Jawaban Erick, membuat Lily hanya bisa mengangguk pasrah sedangkan Queen masih belum bisa menetralkan rasa terkejutnya. Bagaimana pun, apa yang dikatakannya tadi bukan hal yang baik-baik mengenai Erick. “Emm ... baiklah. Lalu, ada hal penting apa yang membuatmu datang ke ruangan ini?” Lily tau. Erick hanya membuat alasan. Pria itu, pasti ingin bertemu dengannya. Sejenak, dia melirik Queen yang berada di depannya. Dia mengedipkan sebelah matanya pertanda, semuanya baik-baik saja. Erick bukan pria kasar yang akan dengan mudah menyakiti seorang perempuan. “Aku memeriksa kondisi gedung di ruangan ini. Siapa tau, mengalami kerusakan.” “By The way, gedung ini baru direnovasi beberapa bulan yang lalu, Mr Erick. Bagaimana mung—Emp!” perkataan Lily terpotong mana kala, mulutnya tiba-tiba Erick tutup menggunakan telapak tangannya. “Bisakah kau keluar dari sini?” Perkataan Erick selanjutnya, jelas membuat Queen segera bangkit dari duduknya kemudian segera keluar dari ruangan itu dengan tergesa. Namun sebelumnya, Queen sempat berpesan, “Semoga berhasil Lily. Berikan dia alasan yang membuatnya puas, oke?” “Emmph!” Lily membulatkan matanya, dan Queen malah terkikik geli kemudian menutup pintu ruangan itu dengan rapat. Sebagai orang dewasa, Lily pasti mengerti apa maksudnya tadi. Erick butuh alasan, dan sudah seharusnya Lily memberikan alasan masuk akal agar pertengkaran mereka segera berakhir. *** Queen turun dari taxi yang ditumpanginya. Di tangannya ada sebuah kantung plastik berwarna hijau yang berisi makanan. Hari ini, dia akan merayakan keberhasilannya tadi bersama nenek Ans yang pasti sudah menunggunya. Se iring langkahnya menuju rumah nenek Ans yang berada di samping rumahnya, Queen tiada hentinya terus tersenyum bahagia. Akhirnya, kompetisi hari ini berjalan dengan lancar dan dirinya bisa pulang dengan selamat. Jika mengingat insiden tadi malam di mana dirinya dituduh sebagai penjahat, rasanya dia tidak akan bisa merasakan bagaimana kasur empuk di rumahnya dan lezatnya masakan nenek Ans. Beruntung, takdir masih berpihak padanya. Meski lewat kesepakatan konyol, dirinya masih bisa bebas dan semoga saja polisi itu tak lagi mengganggunya. “Nenek Ans ... aku pulang! Yuhu ....” Suara Queen mendadak lenyap begitu saja. Bahkan, kantung plastik hijau yang berada di tangannya jatuh ke lantai saking terkejutnya dia melihat siapa yang berdiri di depannya sekarang. Tak kalah terkejutnya, seseorang yang juga terkejut melihat keberadaan Queen di sana, bahkan membatalkan suapan kue kering buatan nenek Ans yang enak. “Kenapa kau ada di sini?” Suara mereka yang serempak, me riuh di sana sampai-sampai membuat nenek Ans yang sedang menyeduh minuman menoleh cepat. “Hy, Queen. Kau sudah datang? Ayo duduk. Nenek memang sedang menunggumu,” ucap Nenek Ans dengan suaranya yang ramah dan menua. “Oiya, nenek kedatangan tamu polisi. Kebetulan, polisi tampan ini yang mengantarkan nenek pulang tadi. Dan sepertinya, kalian sudah saling mengenal. Jadi, tidak perlu berkenalan.” Nenek Ans tertawa di akhir kalimatnya. Queen menarik napasnya kuat-kuat. Baru saja dia berdoa agar dirinya tak pernah bertemu dengan polisi itu seumur hidupnya, sekarang polisi itu malah nampak dengan jelas di depan matanya. Memakai seragam polisinya yang sialnya, membuat Robert semakin terlihat gagah dan menawan. Ya Tuhan, takdir macam apa ini? Ingin rasanya, dia jadi lilin dan meleleh saja dari pada berhadapan dengan polisi itu lagi. Robert yang melihat keberadaan Queen di rumah nenek Ans yang diantarnya tadi, tentu saja sedikit terkejut. Dia tidak menyangka, akan bertemu dengan wanita yang ditidurinya itu lagi. Dalam waktu sesingkat ini. Padahal, Washington itu begitu luas. Tapi kenapa seolah sempit lalu mempertemukannya dengan Queen secepat ini? Queen mengambil kantung plastik hijau yang sempat dia jatuhkan ke lantai tadi. Setelahnya, dia mendekati meja dan meletakkan kantung plastik itu di sana. “Nenek, aku membelikan makanan kesukaanmu. Makanlah. Aku pergi dulu, “ ucap Queen. Sedikit pun, dia tak melirik ke arah Robert yang sialnya malah intens menatapnya. Dia kan jadi teringat tatapan Robert semalam. Sial! Sial! Sial! “Biasanya kau menemaniku makan malam, Queen,” jawab nenek Ans yang merasa ada perbedaan pada Queen malam ini. Queen tersenyum tipis. “Aku lelah, Nek. Aku ingin istirahat. Makan malam bersamanya besok malam saja, ya?” ada sedikit nada memohon, karena dia ingin secepatnya pergi dari sini. Berada di jarak se dekat ini dengan Robert tentu saja membuatnya panas dingin. “Baiklah. Selamat beristirahat, Queen.” “Selamat malam, Nenek,” balas Queen dengan cepat. Setelahnya, dia pun memutar tubuhnya dan hendak melangkah pergi. Namun, Brak! “Aduh!” Queen sedikit meringis. Salah kakinya juga sih harus tersandung ke kaki kursi. Jadinya ketahuan kan kalau dirinya sedang salah tingkah saat ini. “Kursi itu untuk di duduki bukan di tendang. Kasihan kakinya jadi sakit ‘kan ...?” Queen gemas sendiri. Dia mengepalkan ke dua tangannya di depan d**a sembari memejamkan matanya karena kesal dengan kata-kata Robert yang bisa-bisanya mengejeknya di saat kakinya sedang sakit seperti ini. Bisa tidak sih, pria itu tak selalu membuatnya kesal seperti ini? “Bukan urusanmu. Lagi pula yang sakit itu kakiku bukan kakimu!” setelah membalas kata-kata Robert dengan kata-katanya yang sinis, Queen pun segera pergi dari sana. Bisa-bisa, dirinya terkena gejala stroke di usia muda jika terus berdekatan dengan polisi tak waras itu. Jangan tanya, naik berapa persen tekanan darahnya sekarang. “Apa kalian saling mengenal?” tanya nenek Ans dan Robert hanya tersenyum menganggukinya. Kami lebih dari kata mengenal, Nek. Bukan hanya mengenal jenis nama saja. Tapi, kami sudah mengenal semuanya. Batin Robert tanpa bisa dikatakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD