Happy Reading.
Kendra terkejut melihat reaksi Maureen, kenapa wanita itu terlihat begitu dingin.
"Yank, kamu nggak apa-apa, kan?"
"Eh, enggak kok." Maureen membatin jika dirinya jangan sampai terlihat begitu kentara seperti ini.
"Huh, kenapa rasanya sulit sekali meneriaki pria di samping ku ini. Rasanya tenggorokan ku tercekat!" batin Maureen.
Kendra merasa Maureen berubah, awalnya Kendra mengira saat mengatakan jika dia punya sepupu yang butuh donor ginjal, Maureen akan dengan antusias menawarkan diri sebagai dokter pribadinya, tetapi kenapa tanggapannya seperti ini? Kendra masih belum menyerah, dia merasa jika Maureen seperti ini pasti karena baru saja sembuh dari sakit.
"Jadi, gimana? Apa kamu mau ketemu sama Nita? Keadaannya makin buruk."
Akhirnya Maureen mengangguk pelan, tetap tak menatap Kendra. Dia akan mengikuti skenario hidupnya, tetapi dia juga akan berusaha mengubah alur.
“Tapi, jangan hari ini. Hari ini, aku punya banyak pasien, jadi … kita lihat nanti deh”
Kendra terdiam, jelas kecewa dengan sikap Maureen yang tak seperti biasanya.
“Oh, ya, tentu. Aku ngerti kamu pasti sibuk.”
Maureen hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa lagi, membiarkan keheningan kembali mengisi mobil mereka. Di dalam hatinya, ia merasa lega karena berhasil menahan diri untuk tidak meluapkan emosi. Sekarang, lebih dari sebelumnya, Maureen tahu bahwa ia harus bermain aman. Jika Kendra tahu ia sudah mengetahui perselingkuhan itu, situasinya bisa menjadi lebih rumit.
Sesampainya di rumah sakit, Maureen segera keluar dari mobil, bersiap untuk menjauh dari Kendra. Namun sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, Kendra menarik pergelangan tangannya.
“Sayang,” panggilnya, membuat Maureen berbalik dengan jantung berdebar. Rasa itu ternyata masih ada, belum sepenuhnya sirna. Mungkin memang tidak bisa hilang begitu saja, jadi Maureen akan belajar karena dia juga sudah mengatakan pada Rafka akan mencintai pria itu.
“Apa?”
Kendra menatapnya sejenak, seolah ingin mengatakan sesuatu yang penting, tetapi akhirnya hanya menggeleng pelan.
“Nggak apa-apa. Hati-hati di dalam dan semangat kerjanya, ya?”
Maureen melepaskan tangannya dengan halus dan tersenyum tipis.
“Terima kasih. Kamu juga.”
Ia kemudian berjalan cepat menuju pintu masuk rumah sakit, tak ingin berlama-lama lagi bersama pria itu. Begitu masuk ke dalam gedung, ia merasakan sedikit kelegaan. Setidaknya di sini, di tempat kerjanya, ia bisa lebih fokus pada hal-hal lain selain Kendra.
Berbeda dengan Kendra yang masih merasa aneh dengan sikap Maureen, dia segera berjalan ke arah gedung sebelah karena tempat kerjanya ada di sana. Kendra bekerja di rumah sakit yang sama dengan Maureen, dia seorang dokter umum yang memiliki pasien banyak setiap harinya.
***
"Huh, kenapa jadi tegang banget sih. Padahal cuma sama Kendra," gumam Maureen mengelus dadanya. Wanita itu berjalan menyusuri loby masuk rumah sakit.
Meskipun dia tahu jika Kendra memang memiliki niat tertentu, entah kenapa Maureen tetapi sulit lepas dari pria itu.
Maureen merasa miris dengan kehidupannya yang dulu. Masih jelas di ingatannya bagaimana dia sangat membenci Rafka dan memuja Kendra. Dia dulu yang sangat bodoh sampai tidak menyadari jika hanya dijadikan Kendra sebagai alat untuk kesembuhan Nita. Meskipun sejatinya dia memang dokter spesialis dan pasti akan menyembuhkan pasiennya, tetap saja tidak dipungkiri jika apa yang dilakukan Kendra dan Nita yang memanfaatkannya sampai akhirnya Kendra dengan sadis membunuhnya membuat Maureen harus bisa menjaga dirinya sekarang.
Pagi tadi Kendra sudah mengatakan tentang Nita. Ingin sekali hatinya menolak, tetapi entah kenapa ada sesuatu yang seakan menahannya. Hatinya masih merasa tidak tega melihat pasien yang membutuhkan dirinya.
"Aku harus bisa meyakinkan Kendra, mungkin dengan mengiyakan permintaannya, aku bisa membuat Kendra tahu jika aku bukan Maureen yang bucin bodoh seperti dulu!"
Jam sudah menunjukkan pukul 11 siang, Maureen sudah selesai dengan pekerjaannya dan waktunya istirahat. Dia melihat pesan Kendra dan hanya mengabaikan saja. Rasanya malas sekali menjawab pesan dari pria itu.
"Dok, ngelamun aja," sentak Miska membuat Maureen terkejut.
"Huh, ngagetin aja."
"Habisnya dokter sejak tadi diem, dipanggil sekali nggak merespon, jadi bisa dipastikan kalau dokter sedang melamun," jawab Miska terkikik.
"Bukankah pasien ku sudah habis?"
"Iya dok, tapi ada kabar penting, nih. Dokter harus tahu," ujar Miska kali ini dengan raut wajah serius.
Maureen jadi ikut-ikutan serius melihat raut wajah asisten pribadinya itu. "Ada kabar apa?"
Miska menengok ke belakang, melihat pintu ruangan sudah tertutup rapat, Miska berjalan mendekati Maureen, seakan dia akan memberitahu kabar berita yang sangat rahasia.
"Dokter tahu, kan kabar yang beredar. Kepala rumah sakit yang lama udah pensiun dan sebentar lagi penggantinya akan dikenalkan pada kita," ujar Miska.
"Ya ...." Kalau kabar ini sih bukan kabar rahasia lagi. Maureen sudah tahu sejak beberapa bulan lalu.
"Katanya yang menggantikan ini adalah anak pemilik asli rumah sakit ini. Dia baru pulang dari luar negeri, katanya sih beberapa hari ke depan dia sudah menjabat sebagai pemimpin," lanjut Miska.
"Kamu tahu orangnya?" Miska menggeleng.
"Hehe, belum tahu dok. Saya juga penasaran," jawab gadis itu cengengesan.
"Terus letak kabar pentingnya ada di mana?" Maureen memutar bola matanya malas, dia belum bisa menduga siapa yang akan menggantikan kepala rumah sakit karena di kehidupan yang dulu dia belum pernah bertemu dengan orangnya.
"Kabar pentingnya, katanya pemimpin rumah sakit itu sebenarnya sudah ada di sini, dia kayak menyamar gitu, buat ingin tahu bagaimana pelayanan rumah sakit ini. Jadi, sebenarnya dia sudah ada di sini, dok."
"Ehm, aku paham. Dia berbaur di sini cuma ingin lihat bagaimana kinerja rumah sakit miliknya?" Miska mengangguk cepat.
"Betul sekali, dok!"
"Ya sudah, kalau gitu kamu kembali bekerja sana, aku mau rekap dulu data-data pasien terbaru," ujar Maureen.
"Iya-iya, dok. Siap laksanakan." Gadis itu langsung ngacir keluar dari dalam ruangan Maureen.
Sedangkan di sisi lain.
Kendra baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Dia keluar sebentar untuk mengecek kondisi pasien rawat inap. Saat akan naik ke lantai dua, Kendra mengerutkan keningnya ketika melihat sosok pria asing berjalan dengan salah satu dokter senior. Meskipun sosok asing, tetapi Kendra merasa dia tidak asing. Saat pria itu berjalan semakin mendekat, Kendra baru ingat dengan sosok pria tersebut.
"Bukankah itu Rafka? Pria yang dijodohkan oleh Maureen. Kapan dia kembali ke Indonesia?" batin Kendra.
Pria itu bertanya-tanya apakah Rafka akan bekerja di rumah sakit ini? Ini tidak bisa dibiarkan, dia harus mengatakan pada Maureen dan menghasut Rafka agar Maureen semakin membencinya.
Rafka dan sang dokter senior hanya menyapanya dengan senyuman, setelah keduanya menjauh, Kendra segera mengeluarkan ponselnya, dia melihat pesannya yang belum dibalas oleh Maureen. Padahal biasanya Maureen selalu gercep jika menyangkut dirinya.
"Ah, apa aku harus ke ruangannya?" Tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Nita tertera di layar. Kendra langsung mengangkat panggilan tersebut.
"Halo, ada apa? Aku lagi di luar ruangan." Kendra tidak bisa berkata mesra dengan Nita jika dia di tempat umum.
"Halo, kapan kamu mempertemukan ku dengan Maureen?"
"Besok, aku akan bawa kamu menemui Maureen."
"Makasih, sayang."
Setelah itu Kendra menutup panggilannya, rasanya ingin sekali mengatakan pada Nita jika Maureen sekarang sedikit berubah. Lama-kelamaan Kendra juga merasa ada yang hilang dari sudut hatinya.
Perhatian Maureen.
Bersambung