Happy Reading
Maureen memutuskan untuk pergi ke kantin setelah selesai merekap data pasien. Biasanya dia makan siang bareng Kendra, pria itu sejak tadi menghubunginya tetapi dia bilang sedang sibuk. Ya, akhirnya Maureen membalas pesan dari pria yang masih berstatus sebagai kekasihnya itu.
Maureen ingin secepatnya menghindar dan memutuskan Kendra. Dia ingin hidupnya tenang dan tidak ada yang membebani hatinya lagi setelah tahu kenyataan yang sebenarnya.
"Huh, gimana caranya aku mutusin dia? Kalau tiba-tiba bilang putus nanti dia nggak bakal percaya atau bahkan curiga? Nanti deh, aku mau liat dulu bagaimana perjalanan hidup ke depan. Yang jelas aku sekarang harus lebih hati-hati lagi," gumam Maureen.
Wanita itu berjalan ke arah depan, dia ingin makan soto ayam depan rumah sakit saja. Sepertinya Maureen malas pergi ke kantin karena takut bertemu dengan Kendra di sana. Pria itu pasti juga tengah makan siang.
"Tenang Maureen, jika kamu bertemu sama Kendra, bersikap biasa saja. Jangan sampai dia semakin curiga dan kamu harus mencari titik lemahnya dan membuat hubungan Kendra dan Nita ketahuan agar kamu bisa memutuskannya," batin Maureen. Dia harus bisa menenangkan hatinya saat ini. Perasaannya benar-benar campur aduk.
Namun, ketenangan itu tak bertahan lama ketika matanya menangkap sosok yang tak asing baginya. Rafka. Jantungnya menjadi berlalu kencang. Pria itu sedang berdiri di depan ruang administrasi, memegang beberapa dokumen. Maureen berhenti sejenak. Dulu, ketika melihat Rafka, yang ia rasakan hanyalah rasa tak suka dan jijik. Ia selalu merasa pria itu terlalu menakutkan dengan asumsi sendiri dan kurang menarik dibandingkan dengan Kendra yang karismatik.
Akan tetapi sekarang ada sesuatu yang berbeda. Maureen mendapati dirinya justru merasa hangat dan semakin berdebar melihat Rafka. Tanpa ragu, ia mendekati pria itu dengan senyum di wajahnya.
“Rafka?” panggil Maureen dengan nada ceria. Rafka menoleh, tampak sedikit terkejut melihat ternyata yang menyapanya adalah Maureen.
Sungguh di luar nalar, Maureen yang dulu tidak pernah seperti ini, tetapi sekarang wanita itu benar-benar menunjukkan perubahannya.
“Maureen, hai! Apa kabar?”
“Baik. Kamu ngapain di sini? Ada hal yang penting?” tanya Maureen sambil tersenyum lebar, dia tahu jika Rafka adalah dokter spesialis penyakit dalam dan sebentar lagi dia akan bekerja di rumah sakit Mitra Husada ini. Tetapi bukankah waktunya masih sebulan lagi, itu dalam ingatan Maureen di kehidupannya yang dulu.
Rafka tersenyum tipis. Pria ini memang sangat jarang tersenyum bahkan saat memeriksa pasiennya. Rafka menatap Maureen seksama, wanita itu selalu tampil cantik dengan setelan jas dokternya. Seharusnya Maureen tahu jika Rafka sudah mulai bekerja di sini. Tetapi sepertinya wanita itu belum tahu atau entahlah, Rafka tidak bisa menebaknya.
“Nggak, aku cuma bantu urusan administrasi buat proyek donasi di sini.”
Maureen mengangguk antusias. “Oh, begitu. Kamu hebat ya, selalu mau bantu-bantu.”
Rafka tampak tersipu sedikit, tetapi dia tetap menahan wajahnya agar tidak terlalu kentara jika dia tersipu. Pujian dari Maureen benar-benar membuatnya melayang, sungguh tidak ada yang tahu jika hatinya sekarang berdebar-debar.
"Sepertinya Maureen memang tidak tahu jika aku sudah mulai bekerja di sini dan biarkan saja Maureen tidak mengetahuinya sampai saat nanti ketika pimpinan rumah sakit diperkenalkan," batin Rafka.
“Ah, nggak juga. Cuma kebetulan aja," jawab Rafka.
Keduanya terlibat dalam obrolan ringan, tetapi tidak lama kemudian, Maureen menyadari tatapan tajam yang menghujam dari belakangnya. Saat ia menoleh, Kendra berdiri di sana, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca—antara cemburu dan bingung. Maureen terdiam, tetapi kali ini ia tidak ingin menghindar. Ia kembali menatap Rafka dan melanjutkan percakapan mereka, seolah tak ada yang salah.
Kendra mendekat, mencoba ikut dalam pembicaraan, tetapi suasananya terasa canggung.
“Rafka, apa kabar? Kita tadi ketemu di loby sana. Aku agak sedikit lupa- ingat kalau itu kamu,” sapa Kendra dengan nada ramah yang sedikit dipaksakan. Rafka mengangguk sopan.
“Baik, Kendra. Bagaimana dengan kamu? Aku tadi juga agak lupa. Maklum, sudah lama tinggal di luar negeri.”
“Baik juga,” jawab Kendra singkat. Ia kemudian menoleh ke Maureen, menatapnya dengan tatapan penuh tanya. “Sayang, kamu … sudah selesai bicara sama Rafka?”
Maureen mengangkat alis.
“Belum. Kami baru ngobrol sebentar.” Ia kemudian berbalik lagi ke arah Rafka. “Jadi, kapan kamu ada waktu lagi buat ngobrol? Aku penasaran soal proyek donasi itu.”
Kendra jelas tampak terganggu, tetapi ia berusaha menahan diri. Maureen kenapa mengabaikannya? Bukankah Maureen sangat membenci Rafka dan sangat tidak menyukai pria itu, tetapi kenapa sekarang wanita itu bahkan terlihat sangat tertarik pada Rafka dan bukan padanya?
"Ayo kita makan siang, sayang." Kendra sengaja menekan kata sayang saat memanggil Maureen agar Rafka tahu jika wanita itu adalah miliknya–kekasihnya.
Maureen sendiri terlihat kesal saat Kendra melakukan itu. Dia menatap Rafka dengan tatapan memohon agar pria itu membantunya, tetapi sepertinya Rafka tidak ingin membantu dan langsung mengalihkan pandangannya pada Kendra.
"Kamu makan siang dulu aja, aku masih ada yang ingin dibicarakan dengan Rafka," jawab Maureen tersenyum pada Kendra meski senyum itu tampak dipaksakan.
Kendra benar-benar terkejut mendengar ucapan Maureen, sepertinya ada yang salah kali ini. Maureen bukankah sangat tidak menyukai Rafka? Kenapa tiba-tiba kekasihnya itu seolah tertarik terhadap pria itu.
"Aku akan menunggu, sayang." Kendra menggenggam tangan Maureen dan hal itu membuat Maureen reflek menariknya. Akan tetapi, genggaman tangan Rafka semakin kuat sehingga tangan Maureen tidak terlepas begitu saja.
Rafka melihat semua interaksi itu. Sejujurnya, ada rasa bergemuruh di hatinya saat melihat Kendra begitu perhatian pada Maureen, dia cemburu. Akan tetapi, Rafka ingin melihat seberapa keras Maureen terhadap Kendra.
“Kita nggak punya banyak waktu, sayang. Nanti keburu jam makan siang habis...”
Namun, Maureen hanya mengangguk pelan.
“Ya, aku tahu. Tapi ada sedikit waktu sebelum kembali. Aku rasa aku bisa bicara dengan Rafka sebentar lagi.”
Kendra menatap Maureen dengan penuh cemburu yang semakin kentara. Pria itu tak bisa menyembunyikan perasaannya, namun ia tetap diam. Maureen, di sisi lain, merasa dirinya kembali memiliki kendali atas situasi. Dia tahu bahwa Kendra tidak suka dengan kedekatannya dengan Rafka, dan mungkin ini adalah cara kecilnya untuk mulai membalas rasa sakit yang Kendra berikan. Maureen ingin melihat bagaimana Kendra setelah ini? Apakah pria itu akan tetapi melakukan provokasi agar dirinya membenci Rafka seperti di kehidupan sebelumnya?
Sementara itu, Rafka yang tidak mau terlalu ikut campur dalam kedua orang yang dia Yani masih memiliki hubungan itu. Dia juga masih banyak pekerjaan yang harus dia urus di tempat barunya itu. "Kalau begitu, aku nggak mau mengganggu waktu kalian. Maureen, kita bisa lanjut bicara nanti setelah jam kerja."
Maureen mengangguk dengan wajah berbinar. Dia tahu jika Rafka pasti banyak pekerjaan.
"Aku tunggu nanti."
Ketika Rafka berjalan pergi, Maureen merasa seolah beban di dadanya sedikit terangkat. Kini, ia tahu bahwa hidupnya mulai bergerak ke arah yang berbeda—arah yang lebih bebas dari bayang-bayang Kendra dan dengan hubungannya dengan Rafka yang akan semakin membaik . Tetapi di sisi lain akan ada pertarungan baru yang harus dihadapinya. Ah, termasuk pertarungannya dengan Nita dan Andien.
Bersambung