Bab 5. Mencoba untuk mengendalikan diri

1564 Words
Happy Reading. Kendra duduk di samping tempat tidur Nita di apartemennya yang kecil namun rapi. Ruangan itu dihiasi dengan perabotan minimalis dan pencahayaan lembut, menciptakan suasana tenang, meskipun suasana hatinya jauh dari itu. Nita terbaring lemah di tempat tidur, wajahnya pucat dan keringat dingin membasahi dahinya. Nafasnya terdengar berat, namun senyumnya tetap tergurat saat melihat Kendra di dekatnya. “Kamu sudah datang.” Suara Nita terdengar serak, namun ada kebahagiaan yang tidak bisa disembunyikan. Kendra tersenyum lembut, meskipun ada kegelisahan di balik matanya. Ia meraih tangan Nita yang dingin dan menggenggamnya erat. “Aku selalu di sini,” bisiknya. Ada kehangatan dalam kata-kata itu, kehangatan yang mungkin lebih dari sekadar kasih sayang biasa. Mata Nita mulai berair, dia terlihat rapuh, namun juga sangat menyayangi Kendra. Dalam kondisi fisik yang sangat lemah, ia merasakan cinta yang begitu kuat untuk Kendra. Tanpa sadar, tangannya yang lemah meraih wajah Kendra, menariknya mendekat. Kendra tidak menolak, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam momen tersebut. Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang lembut namun penuh dengan perasaan yang dalam. Ciuman itu singkat, namun sarat dengan emosi yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Namun setelah itu, Kendra menarik diri perlahan, matanya penuh kekhawatiran. “Kamu terlalu lemah, Nita. Kita harus segera bertindak. Aku akan membawa Maureen ke sini. Dia dokter terbaik yang bisa menolongmu.” Nita mengangguk pelan, air matanya masih menggantung di ujung mata. “Aku percaya pada dokter pilihanmu. Aku serahkan semuanya padamu. Aku yakin dia bisa menyembuhkanku.” "Aku akan meminta dia mencari donor ginjal yang cocok untukmu, kamu tahukan kalau Maureen sangat mencintaiku? Dia pasti akan memenuhi keinginanku?" "Ken, apa kamu tidak merasa bersalah dengan memanfaatkan perasaan Maureen?" tanya Nita lirih. Nita sudah tahu semuanya, jika Kendra sudah menerima Maureen sebagai kekasihnya hanya untuk memperalatnya saja. Kendra mengelus rambut wanita yang sangat dicintainya itu. "Kamu tenang saja, aku hanya bisa melakukan hal ini. Maureen itu dokter handal, selain itu dia juga pasti bisa membantu kita. Kamu pasti sembuh jika ditangani olehnya." Nita mengangguk dan tersenyum. "Baiklah, aku juga ingin segera sembuh." Kendra terdiam sejenak, mengingat bagaimana Maureen dua hari ini tidak bisa dihubungi. Ah, lebih tepatnya wanita itu tidak mau mengangkat teleponnya dan membalas pesan. Biasanya Maureen akan menghubunginya jika sudah di waktu luang, atau memberikan pesan beruntun. Namun, dua hari ini Maureen tidak ada kabar, wanita itu juga cuti tidak bekerja. Kendra berdiri dan meraih ponselnya. Dia memutuskan untuk menghubungi Maureen lagi, akan tetapi kali ini ponsel Maureen bahkan dalam mode mati karena hanya suara operator yang menjawab. Sejujurnya Kendra merasa gelisah, dia tidak bisa diam saja jika sudah seperti ini. Dua hari ini dia memang tidak berniat mencari Maureen karena mungkin wanita itu sibuk dan biasanya Maureen juga menghubunginya. Tetapi entah kenapa sekarang Kendra justru merasa ada yang tidak beres dengan wanita itu. "Ada apa?" tanya Nita yang melihat raut wajah Kendra berubah. "Nomor Maureen tidak aktif, tidak biasanya dia seperti ini," jawab Kendra masih berusaha menghubungi. Nita bisa melihat kepanikan di wajah sang kekasih, ada rasa tidak suka di hatinya melihat kegelisahan Kendra karena wanita lain, tetapi Nita seharusnya tahu jika apa yang dilakukannya oleh Kendra semua juga demi dirinya. "Sebaiknya kamu ke tempat Maureen, mungkin dia sedang sibuk," ujar Nita. Kendra mengelus rambut Nita dan mencium bibirnya sekilas. "Baiklah, besok sebelum ke rumah sakit aku akan datang menjemputnya." *** Maureen mematikan ponselnya dan dia merebahkan tubuhnya di atas ranjang queen size. Ada beberapa pesan dari Kendra dan dia tidak akan membalasnya. Wanita itu mengingat-ingat kejadian di kehidupan dulu sebelum dia mati di tangan Kendra. Dulu dia begitu tergila-gila dengan pria itu, sejak kuliah jurusan, dia satu kampus dengan Kendra, dan dia sangat menyukai pria itu. Rela mengejar bahkan merendahkan harga dirinya dengan nembak Kendra lebih dulu. Setelah mengingat hal tersebut, Maureen benar-benar merutuki kebodohannya. Dia yang bisa mendapatkan gelar dokter spesialis di usia 29 tahun dengan IPK 40 menjadi sangat bodoh jika menyangkut cinta dan laki-laki. "Seharusnya aku tahu sejak awal jika Kendra sama sekali tidak pernah mencintaiku. Hanya aku saja yang selalu merasa jika bisa membuat Kendra jatuh cinta, tapi nyatanya semula hanyalah kepalsuan." Maureen memejamkan matanya, dia mengingat bagaimana dulu dia merasa begitu bahagia saat Kendra menerima cintanya, 6 bulan mereka memiliki hubungan sebagai sepasang kekasih. Tetapi ternyata Kendra hanya memanfaatkannya. "Mulai sekarang, aku akan membuat Kendra tahu jika cinta tololku ini sudah hilang. Apakah dia masih bisa memanfaatkanku?" Pagi harinya, Maureen sudah siap dengan setelan kasual, celana kain panjang berwarna hitam dan kemeja berbahan sifon dengan warna putih tulang. Tidak lupa dia menyiapkan jas kedokterannya. Setelah memastikan semua dokumen dan peralatan medisnya tersimpan rapi di dalam tas, ia menatap cermin. Pikirannya melayang pada banyak hal, terutama dengan hubungannya dengan Kendra sekarang. Apakah lebih baik diakhiri saja secepatnya? Maureen menghela napas panjang sebelum akhirnya memutuskan untuk berangkat ke rumah sakit, tempat ia bekerja sebagai dokter spesialis. Saat membuka pintu apartemen, Maureen tersentak kaget. Berdiri di hadapannya, Kendra dengan pakaian rapi dan senyuman yang tampak tulus. Maureen terdiam sejenak, matanya membulat, dan tanpa sadar ia mundur selangkah. Perasaan tak nyaman merayap ke seluruh tubuhnya. Kendra tampak mengernyit, heran dengan reaksi Maureen. “Kenapa kamu kaget gitu? Aku nggak menggigit, kok,” ucap Kendra dengan nada bercanda, mencoba meredakan suasana. Maureen mencoba mengendalikan diri dan berpikir jika saat ini Kendra belum harus tahu jika dia hidup kembali ke masa lalu. Dia harus berpura-pura baik-baik saja. “Oh, nggak… Aku cuma kaget aja. Nggak biasanya kamu datang pagi-pagi ke sini,” jawab Maureen dengan senyum kecil yang dipaksakan. Jantungnya masih berdegup kencang, tapi kali ini bukan karena cinta, melainkan waspada dan rasa tak percaya yang mulai merasuk dalam pikirannya. Kendra memang tidak pernah mendatangi Maureen, selama ini Maureen lah yang mendatangi Kendra sampai Maureen membeli apartemen di sebelah unit Kendra karena merasa curiga jika Kendra memiliki wanita lain. Ternyata memang benar dugaan jika Kendra saat itu memang menjalin hubungan dengan Nita bahkan jauh sebelum bersamanya. Mengingat hal itu, lagi-lagi Maureen merasa jantungnya seperti diremas. Kendra menyandarkan tubuhnya di pintu, mengamati Maureen dengan tatapan yang sulit ditebak. "Sayang, kamu mau ke rumah sakit, kan? Kebetulan, aku juga mau ke sana, hari ini aku shift pagi. Gimana kalau kita pergi bareng? Lagian mobilmu masih harus diperbaiki, kan?" Maureen langsung ingin menolak. Berada satu mobil dengan Kendra, apalagi setelah mengetahui kebenaran yang menghancurkan hati, rasanya seperti siksaan batin. Tetapi, jika ia menolak dengan alasan yang tidak jelas, Kendra bisa curiga. Kendra bukan pria yang bodoh, dia bisa dengan cepat menangkap perubahan sekecil apapun dalam sikap seseorang. “Tadinya aku mau naik taksi aja,” kata Maureen dengan nada datar, berusaha menghindari. Mobilnya masih ada di bengkel dan Kendra seharusnya tidak tahu itu. Tetapi pria itu bahkan mengetahuinya. Sejauh apa Kendra berusaha mencaritahu tentangnya hanya demi Nita. Kendra tertawa kecil. “Ayolah, nggak usah repot-repot naik taksi, sekalian aja kita jalan bareng.” Maureen terdiam sejenak. Pikirannya berputar, mencari jalan keluar, tetapi tak ada alasan logis yang bisa ia gunakan tanpa menimbulkan kecurigaan. Akhirnya, ia mengangguk kecil. "Baiklah, kita pergi bareng." Mereka berdua turun ke lobi apartemen dan berjalan menuju mobil Kendra. Saat Kendra membuka pintu mobil untuknya, Maureen merasakan sejumput keanehan. Dulu, gerakan-gerakan Kendra yang manis seperti ini membuatnya merasa spesial. Sekarang, semua itu terasa kosong dan hampa, seolah hanya topeng yang Kendra gunakan untuk menutupi kebenaran. Saat mereka melaju di jalan, suasana hening untuk beberapa saat. Maureen menatap keluar jendela, mencoba mengalihkan perasaannya dari pria yang duduk di sebelahnya. Namun, keheningan itu akhirnya dipatahkan oleh Kendra. Kendra sendiri merasa sikap Maureen berubah, jika biasanya wanita itu banyak bicara dan bercerai, entah kenapa sekarang Maureen hanya diam saja bahkan sejak tadi hanya mengamati luar jendela. "Ada apa denganmu? Dua hari ini kamu kemana? Tidak biasanya kamu menghilang tanpa memberi kabar?" tanya Kendra secara beruntun. Biasanya jika Maureen harus pergi keluar kota atau dia sangat sibuk pun, pasti selalu memberitahu pada Kendra. "Aku sedang tidak enak badan dan menginap di rumah Papa," jawab Maureen jujur. "Hemm, ternyata benar firasatku. Kamu nggak ada di apartemen. Ternyata kamu lagi sakit, kenapa nggak ngangkat panggilanku? Kamu bisa kasih tahu aku, kan?" ujar Kendra panjang lebar. Maureen menghela napas. Jika di kehidupan yang dulu, dia pasti akan merasa sangat senang melihat perhatian Kendra yang seperti ini, sekarang rasa muak hadir dihatinya. "Aku nggak sempat pegang ponsel, bahkan sampai ponselku mati," ujar Maureen penuh kebohongan. Kendra mengerutkan keningnya, sebulan lebih menjadi pacar Maureen baru kali ini Kendra merasa jika Maureen sangat dingin padanya. Biasanya wanita itu selalu tersenyum berbinar jika bertemu. "Maaf, ya sayang. Aku hanya khawatir, nggak biasanya kamu seperti ini." "Hemm." Hening kembali, perjalanan ke rumah sakit memakan waktu 40 menit, tetapi Maureen merasa jika waktu terasa semakin lama. "Sayang, sebenarnya aku ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu." Kendra memulai obrolan lagi setelah diam cukup lama. Maureen hanya diam, dia tahu apa yang akan diucapkan oleh Kendra. “Kamu tahu, aku punya sepupu yang sekarang lagi sakit parah. Namanya Nita. Dia butuh donor ginjal,” kata Kendra dengan nada serius. Mendengar nama Nita, hati Maureen mencelos. Rasa sakit kembali menyeruak. Kendra, yang dengan sangat mudahnya mengakui Nita sebagai ‘sepupu’, seolah tak ada beban. Dulu, ketika Maureen pertama kali mendengar kisah ini, ia merasa sangat terharu. Ia bahkan pernah menawarkan diri menjadi dokter pribadi Nita karena ingin membantu Kendra dan keluarganya. Tetapi, sekarang semua terasa berbeda. Maureen menatap lurus ke depan, mencoba menahan perasaan yang berkecamuk. "Oh … begitu," jawabnya singkat. Kendra menoleh, tampak terkejut dengan respons Maureen yang dingin. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD