Butuh waktu dua minggu untuk Gavin memulihkan kondisi tubuhnya.
Tapi, untuk berjalan, Gavin masih membutuhkan bantuan tongkat penyangga, karena kaki kirinya yang patah tulang karena kecelakaan itu.
Setelah keluar dari rumah sakit, Gavin yang awalnya meminta mamanya untuk menemaninya ke puncak, akhirnya mengurungkan niatnya.
Gavin akhirnya mengajak Fernandes untuk mengantarkan ke puncak. Lebih tepatnya ke tempat dirinya dan istrinya mengalami kecelakaan tunggal yang akhirnya menewaskan sang istri tercinta.
Fernandes menepuk bahu Gavin yang saat ini tengah berdiri di pinggiran sungai. Sungai yang berada di bawah tebing tempat mobil Gavin terjatuh.
“Ikhlaskan Yasmin. Biarkan dia beristirahat dengan tenang.”
“Fer, apa kamu yakin Yasmin sudah meninggal? Bahkan jasadnya belum ditemukan.”
Gavin masih berharap istrinya masih hidup dan bisa kembali lagi bersamanya.
“Aku tau apa yang kamu rasakan. Semua warga bahkan sudah membantu untuk menyusuri sungai ini. Tapi mereka tetap gak bisa menemukan jasad Yasmin.”
Gavin menghela nafas, “apa kamu sudah mendatangi keluarga Yasmin?” kedua matanya masih menatap ke arah sungai.
“Hem... mereka sudah menerima apa yang menimpa Yasmin. Mereka mengikhlaskan kepergian Yasmin.”
“Apa mereka menyalahkan ku?”
Fernandes menggelengkan kepalanya, “mereka sama sekali gak menyalahkan kamu. Mereka menerima jika semua yang menimpa putri mereka adalah takdir putrinya."
"Mereka bahkan mendoakan agar kamu bisa segera sembuh dan bisa merawat cucu mereka.”
“Fer, apa dosaku dimasa lalu begitu besar, hingga aku harus menerima semua ini? kamu tau, Yasmin sangat berarti buat aku. Bahkan aku rela melakukan apapun untuknya. Tapi... tapi kenapa takdir begitu kejam padaku?”
“Kita juga gak akan tau tentang takdir kita. Kita hanya bisa menerimanya dengan ikhlas. Sekarang kamu harus yakin, jika Yasmin sudah tenang di atas sana,” ucap Fernandes dengan menepuk bahu Gavin.
Fernandes lalu mengambil sekeranjang bunga yang tadi ia bawa, lalu memberikannya kepada Gavin.
”Taburkan bunga ini untuk penghormatan terakhir kamu untuk Yasmin.”
Gavin menerima keranjang bunga itu. Ia lalu mengambil kelopak-kelopak bunga itu dan menebarkannya di sungai.
Sayang, maafkan aku. Maafkan aku telah membuatmu mengalami semua ini. Andai aku bisa memilih, aku akan memilih untuk menggantikan mu. Biarkan aku yang mati. Zayn sangat membutuhkan kamu. Tapi, sekarang apa yang harus aku lakukan?
Apa yang harus aku katakan kelak, saat dia menanyakan tentang kamu? aku gak akan tega untuk melukai hatinya. Apa kamu tau, sekarang Zayn sudah bisa berbicara. Setiap hari dia memanggilku papa. Aku sangat senang saat mendengarnya.
Sayang, kamu pasti juga sangat senang saat Zayn memanggilmu mama untuk pertama kalinya. Tapi... tapi... tapi aku malah merenggut kebahagiaan kamu itu. Maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf.
“Selamat jalan, Sayang. Aku gak akan pernah melupakanmu. Kamu akan selalu hidup di dalam hatiku. Aku mencintaimu. Aku pasti juga akan sangat merindukanmu.”
Gavin berusaha keras untuk tidak menangis. Ia harus tegar. Masih ada Zayn yang masih membutuhkan dirinya.
Masih butuh kasih sayang dan perhatiannya. Ia tak akan membiarkan buah cintanya dengan Yasmin sampai kekurangan kasih sayang darinya, karena hanya dirinya yang putranya miliki saat ini.
Setelah selesai mendoakan mendiang sang istri, Gavin mengajak Fernandes untuk ke Villa tempat dirinya dan Yasmin menginap untuk merayakan anniversary pernikahan mereka yang ketiga tahun.
Kedatangan Gavin, disambut haru oleh Mang Tijan dan Mbok Arsih. Mereka turut berbela sungkawa atas meninggalnya istri anak majikan mereka.
“Mang, seandainya waktu itu saya menuruti permintaan Mang Tijan, mungkin Yasmin masih bersama dengan saya,” ucap Gavin dengan senyum getir.
“Semua itu sudah kehendak yang di Atas, Den. Mungkin semua itu jalan yang harus Aden dan Non Yasmin lalui.”
Bukan Mang Tijan yang menjawab, tapi justru istrinya, Mbok Arsih yang menjawab.
Gavin mengangguk, “iya, Mbok. Saya juga sudah mengikhlaskan Yasmin. Saya yakin, saat ini Yasmin sudah tenang disana.”
“Apa Aden akan menginap disini malam ini?” tanya Mang Tijan.
Gavin menatap Fernandes yang duduk di sebelahnya, “gimana? Sebaiknya kita menginap disini malam ini. Besok pagi kita kembali ke Jakarta.”
“Ok. Lagian hari sudah mulai gelap. Tubuhku juga sangat lelah. Aku ingin istirahat malam ini.”
“Mang, tolong antar kan teman saya ke kamarnya,” pinta Gavin.
Mang Tijan menganggukkan kepalanya, “baik, Den. Mari, Tuan,” ucapnya sambil mempersilahkan Fernandes.
“Aku istirahat dulu. Kalau nanti kamu butuh apa-apa, jangan segan-segan bangunin aku,” ucap Fernandes sambil menepuk bahu Gavin.
“Hem... tenang saja, aku gak akan pernah segan sama kamu,” ucap Gavin dengan senyuman di wajahnya.
Fernandes beranjak dari duduknya, “dimana Mang kamar saya?” tanyanya lalu melangkahkan kakinya mengikuti langkah kaki Mang Tijan.
“Mbok, tolong siapkan air hangat ya. Saya ingin membersihkan diri,” pinta Gavin ramah.
Wanita paruh baya itu menganggukkan kepalanya.
“Baik, Den. Kalau begitu saya permisi dulu,” pamitnya dan langsung mendapat anggukkan kepala dari Gavin.
Sambil menunggu air hangatnya siap, Gavin memilih untuk jalan-jalan di taman yang ada di samping Villa itu.
Tempat dimana Gavin menghabiskan waktu seharian bersama dengan Yasmin.
Gavin menatap ayunan yang berada di tengah-tengah kebun bunga. Sehari sebelum mereka memutuskan untuk kembali ke Jakarta, Gavin dan Yasmin duduk di ayunan itu.
Gavin tidur di pangkuan Yasmin, menghadap ke arah perut Yasmin, “Sayang, kamu mau punya anak berapa?” tanyanya sambil mencium perut Yasmin.
Yasmin mengayunkan ayunan dengan pelan, sambil mengusap rambut Gavin.
“Em... berapa ya. Kalau kamu sendiri, kamu mau punya berapa anak?” tanyanya balik.
“Aku mau punya sebelas anak.”
Kedua mata Yasmin membulat dengan sempurna.
“Apa kamu serius? Sebelas anak? Kamu mau punya sebelas anak?” tanyanya memastikan.
“Hem... aku ingin sebelas anak, setelah itu kita buat kesebelasan sepak bola,” ucap Gavin dengan nyengir kuda.
Yasmin mencubit perut Gavin, hingga membuat Gavin meringis kesakitan.
“Kok aku dicubit sih, Sayang? Memangnya aku salah apa?” dengan bibir manyun sambil mengusap perutnya yang sedikit terasa panas.
“Kalau kamu mau sebelas anak, kenapa gak kamu aja yang mengandung dan melahirkan mereka. Memangnya enak apa melahirkan! Sakit tau!” kesalnya.
Gavin lalu mengubah posisinya menjadi duduk, “kan aku cowok. Masa aku yang mengandung dan melahirkan? Kan gak bisa, Sayang,” godanya sambil mencubit pipi sang istri gemas.
Gavin lalu merangkul bahu Yasmin, “aku hanya bercanda, Sayang. Jangan ngambek gitu dong. Bagiku, dua atau tiga anak sudah cukup membuat rumah kita ramai,” ucapnya lalu mengecup pelipis sang istri.
Yasmin menyandarkan kepalanya di bahu Gavin, “aku ingin punya dua putra dan satu putri,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya.
“Hem... ide yang bagus. Tapi, apapun yang akan Tuhan berikan nantinya, kita harus menerimanya.”
Yasmin menganggukkan kepalanya, “aku bersyukur mempunyai suami seperti kamu. Sudah baik, perhatian, dan selalu ngertiin aku.”
Gavin mencium puncak kepala Yasmin, “justru aku yang seharusnya bersyukur, punya istri cantik, pintar masak, dan keibuan kayak kamu.”
Gavin yang tengah asyik dengan lamunannya, tak merasakan kalau ada cairan bening yang mulai mengalir dari kedua sudut matanya.
Ia bahkan tak mendengar saat Mbok Arsih memanggilnya untuk mengatakan padanya kalau air hangatnya sudah siap.
Mbok Arsih tak ingin terus memanggil majikannya yang bahkan tak menoleh ke arahnya, akhirnya memutuskan untuk melangkah mendekati sang majikan.
“Den Gavin, air hangatnya sudah siap. Aden bisa membersihkan diri sekarang.”
Gavin yang mendengar suara Mbok Arsih dari jarak dekat, akhirnya mulai tersadar dari lamunannya. Ia pun menoleh ke arah Mbok Arsih.
“Oh... iya, Mbok. Terima kasih,” ucapnya dengan menepiskan senyumannya.
Mbok Arsih yang melihat ada air mata di kedua pipi serta kedua sudut mata Gavin, memilih untuk diam dan tak bertanya apa-apa. Ia sudah bisa menebak kenapa majikannya itu menangis.
Apalagi Mbok Arsih tahu, jika selama tinggal di Villa itu, majikannya beserta istrinya sering menghabiskan waktu berdua di taman itu.
“Kalau begitu saya permisi dulu, Den. Saya akan menyiapkan makan malam dulu,” pamitnya dan langsung mendapat anggukkan kepala dari Gavin.
Setelah kepergian Mbok Arsih, Gavin menghela nafas panjang. Ia lalu menghapus air matanya.
“Sayang, kenapa aku merasa kamu masih ada disini bersamaku? begitu banyak kenangan bersamamu di Villa ini. Lalu, bagaimana aku bisa melepas mu begitu saja?”
Gavin kembali menghapus air mata yang telah lancang kembali mengalir dari kedua sudut matanya.
“Bantu aku untuk melewati semua ini. Semua ini begitu sulit dan sangat berat untuk aku lalui sendirian. Sayang, aku merindukanmu.”
Saat ini Gavin dan Fernandes kini tengah menikmati makan malam. Mbok Arsih sengaja memasak masakan khas puncak.
“Vin, aku gak nyangka, masakan Mbok Arsih seenak ini.”
Fernandes bahkan tak segan-segan menghabiskan dua piring makanan.
“Bilang aja kalau kamu kelaparan. Sejak siang kan kita memang belum makan apa-apa.”
Fernandes mencebik, “itu karena siapa coba? Aku sudah mengajakmu untuk makan, tapi kamu bilang lagi gak selera makan. Masa aku makan sendirian dan membiarkanmu kelaparan, gitu? Dasar!”
Gavin geleng-geleng kepala. Tapi, ia bersyukur mempunyai sahabat yang begitu pengertian seperti Fernandes.
“Untuk permintaan maaf aku, kamu bisa menghabiskan semua makanan ini. Kamu bisa makan sampai puas.”
Fernandes mengambil segelas air putih lalu meneguknya sampai tandas. Ia lalu mengusap perutnya yang sudah kenyang.
“Gak perlu, aku sudah kenyang.”
Fernandes lalu menatap piring Gavin. Makanan di piring itu masih sisa banyak.
“Aku tau kamu sedang berduka. Tapi, seenggaknya kamu harus tetap mengisi perut kamu. Kalau kamu sampai sakit, siapa yang akan repot coba? Aku ‘kan?” lanjutnya.
“Bukankah itu gunanya kamu ada disini? Untuk menjaga dan merawat ku,” ucap Gavin sambil nyengir kuda.
“Dasar! Makan gih, apa kamu gak kasihan sama Mbok Arsih yang sudah capek-capek masak? Kalau perutku gak kenyang, aku akan menghabiskan semua makanan ini. Tapi sayang, perutku udah gak muat,” ucap Fernandes sambil menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi.
Fernandes yang sangat kekenyangan seakan tak kuat untuk menopang tubuhnya. Perutnya seakan ingin meledak saat itu juga.
“Makanya, kalau makan itu kira-kira. Kayak ini terakhir kamu makan aja,” gurau Gavin lalu memasukkan satu suap makanan ke dalam mulutnya.
“Ya... siapa tau. Kita gak akan tau apa yang akan terjadi esok. Apalagi mubazir ‘kan makanan sebanyak ini di angurin,” ucap Fernandes kembali mencomot tempe goreng yang terasa begitu pas di lidah.
Gavin yang mendengar ucapan Fernandes kembali teringat akan kejadian yang menimpanya dan Yasmin.
Apa yang dikatakan Fernandes benar. Kita memang tidak akan tau apa yang akan terjadi esok.
Andai Gavin bisa tau apa yang akan terjadi esok, mungkin ia bisa mencegah kecelakaan naas yang telah merenggut nyawa istrinya—wanita yang sangat dicintainya.
Fernandes mengernyitkan dahinya saat melihat Gavin yang hanya diam setelah mendengar perkataannya.
Apa ada yang salah dengan kata-kata yang aku ucapkan? Batinnya.
“Vin. Ada apa?” tanyanya sambil menepuk bahu Gavin.
“Hem...”
“Apa ada yang salah dengan ucapan ku?”
Gavin menggelengkan kepalanya, “gak ada kok. Apa yang kamu katakan memang benar. Kita memang gak akan tau apa yang akan terjadi esok hari.”
Gavin lalu beranjak dari duduknya, “mau jalan-jalan keluar gak? Suntuk aku didalam,” ajaknya kemudian.
“Ok. Sudah lama juga aku gak datang ke Villa ini. Terakhir kali aku kesini saat merayakan kelulusan kita waktu itu.”
“Hem... aku masih ingat itu. Apalagi malam itu kamu kepergok sama aku dan Yasmin sedang...”
Fernandes menutup mulut Gavin dengan telapak tangannya.
“Kenapa kamu malah mengungkit masalah itu,” kesalnya.
"Padahal aku sudah melupakannya."
Gavin menyingkirkan telapak tangan Fernandes dari mulutnya.
“Aku hampir lupa sih. Tapi kamu kembali mengingatkan aku soal kejadian itu. Sekarang bagaimana kabarnya? Kenapa kamu gak menikahinya? Padahal kalian sudah...”
“Bukan aku yang gak mau bertanggung jawab. Tapi, dia memilih pria yang pilihan keluarganya. Kamu tentu tahu apa alasannya.”
“Harta.”
“Hem... pria itu anak tunggal dari keluarga kaya raya. Aku mah apa, cuma anak tukang kebun yang kebetulan bisa meneruskan kuliah sampai lulus S2. Tapi, aku gak akan pernah menyesal,” ucap Fernandes dengan tersenyum bangga.
“Kenapa? apa karena kamu telah...”
“Hem... asal kamu tau. Itu pertama kalinya dia melakukannya. Aku mendapatkan kesuciannya, tapi pria malang itu mendapatkan bekas ku.”
“Dasar!”
Gavin bersyukur dengan adanya Fernandes bersamanya saat ini.
Dengan begitu ia bisa sedikit melepas beban dalam hidupnya dan bayang-bayang kenangan saat bersama dengan Yasmin di Villa itu.
Terima kasih, Fer. Terima kasih. Kamu memang sahabat terbaik aku. Kamu selalu ada disaat aku butuh tempat bersandar. Andai tak ada kamu, aku gak tau apa yang akan terjadi denganku.