Fernandes menghentikan mobilnya tepat di halaman rumah Gavin. Ia menatap wajah sahabatnya yang saat ini tengah terlelap di kursi penumpang yang ada di sampingnya.
Dia pasti sangat lelah. Mending gak usah aku bangunkan. Kasihan dia.
Dalam perjalanan pulang, Gavin terus menceritakan waktu yang ia habisnya bersama dengan Yasmin saat berada di Villa.
Dari ekspresi wajah Gavin, terlihat jelas kesedihan yang teramat dalam.
Rasa kehilangan itu terlihat jelas di wajah Gavin saat ini.
Fernandes juga melihat penyesalan pada diri sahabatnya itu. Sahabatnya itu masih saja menyalahkan dirinya sendiri atas tragedi yang merenggut nyawa sang istri tercinta.
Gavin bahkan merasa sangat takut. Takut akan kenyataan yang harus dijalaninya tanpa sosok Yasmin dalam hidupnya lagi.
Apa yang harus dikatakannya, saat sang putra menanyakan akan keberadaan mamanya.
Fernandes menghela nafas panjang. Melihat sahabatnya yang tertidur lelap, membuatnya tak tega untuk membangunkannya.
Ia membiarkan sahabatnya itu beristirahat untuk sekedar melupakan sejenak masalah yang tengah menimpanya.
Fernandes membuka pintu mobil, ia lalu melangkah keluar dari mobil. Menatap ke pos penjagaan yang terlihat dua pria bertubuh kekar yang tengah berdiri di depan pos.
Fernandes melangkah mendekati kedua security itu.
“Siang Tuan Fernandes,” sapa kedua security itu.
“Siang. Bagaimana keadaan rumah saat Gavin tak ada di rumah? Apa semua baik-baik saja?”
“Semua aman, Tuan. Nyonya Sarah bahkan sering mengajak Den Zayn jalan-jalan ke taman.”
Fernandes mengangguk. Ia lalu melihat jam di pergelangan tangannya, menengok ke belakang untuk melihat mobil Gavin.
“Saya ada urusan penting, jadi saya harus kembali sekarang. Nanti kalau Gavin bangun, katakan padanya kalau saya sudah pulang.”
Kedua security itu mengangguk mengerti, “baik, Tuan,” sahutnya bersamaan.
“Baiklah, kalau begitu saya pulang dulu. Nanti malam saya akan kembali kesini lagi.”
Fernandes lalu melangkah menuju mobilnya yang sengaja ia tinggal di rumah Gavin, karena saat pergi ke puncak, Gavin meminta untuk memakai mobilnya.
Fernandes masuk ke dalam mobil, setelah itu melajukan mobilnya keluar dari pintu gerbang rumah Gavin.
Pintu gerbang kembali tertutup secara otomatis.
Tak berselang lama setelah kepergian Fernandes, Gavin membuka kedua matanya.
Ia begitu terkejut saat menyadari dirinya masih berada di dalam mobil. Seorang diri lagi.
“Astaga! Aku ketiduran. Dimana Fernandes? Apa dia membiarkan aku disini sendirian? Bahkan dia tak membangunkan aku.”
Gavin membuka pintu. Ia mengambil tongkat penyangga, setelah itu melangkah keluar dari mobil. Ia lalu memanggil salah satu penjaga keamanan di rumahnya.
“Iya, Tuan,” sahut penjaga keamanan itu yang bernama Totok.
“Apa kamu melihat Fernandes?”
“Tuan Fernandes sudah pulang beberapa waktu yang lalu, Tuan. Katanya sedang ada urusan penting, Tuan,” ucap Totok sambil sedikit membungkukkan tubuhnya.
“Sekarang kamu keluarkan barang-barang saya yang ada di bagasi mobil dan bawa masuk ke dalam.”
“Baik, Tuan.”
Gavin dengan mulai menggerakkan tongkat penyangga yang diapit oleh tangan kanannya, melangkah menuju pintu rumahnya.
“Ma,” sapa Gavin saat berpapasan dengan mamanya didepan pintu rumahnya.
“Kok kamu sendirian? Dimana Fernandes?” tanya Sarah sambil menatap ke arah belakang Gavin.
“Dia sudah pulang, Ma. Katanya ada urusan penting. Dia bahkan gak membangunkan Gavin, dan malah ninggalin Gavin di mobil.”
Sarah lalu memeluk putra semata wayangnya itu. “Apa semua berjalan lancar? Kamu baik-baik saja ‘kan?” tanyanya cemas.
Selama tiga hari kepergian Gavin ke Villa itu lagi, membuat Sarah cemas. Ia takut, kejadian itu akan kembali menimpa putranya.
Sudah cukup ia kehilangan menantunya. Jangan sampai ia harus kehilangan putra satu-satunya.
Pamitnya hanya sehari, tapi Gavin berubah pikiran dan mengajak Fernandes untuk tinggal selama tiga hari di Villa itu.
Gavin hanya ingin mengingat semua momen-momen indahnya saat bersama dengan Yasmin di Villa itu.
Tapi, selama di Villa itu, justru hanya kesedihan dan rasa bersalah yang Gavin rasakan.
Tiap malam, dirinya bahkan sama sekali tak bisa tidur. Kamar yang ditempatinya, adalah kamar yang menjadi saksi bisu penyatuan cintanya pada sang istri tercinta.
Bahkan suara gelak tawa, erangan kenikmatan, masih terdengar dengan jelas oleh Gavin.
Sakit... sesal... rindu... bahkan bercampur aduk menjadi satu. Melelehkan larva dingin yang tiada henti terus mengalir.
“Sayang...” Sarah masih bisa melihat kesedihan di kedua mata putranya itu.
Gavin menepiskan senyumannya. Ia lalu menggenggam tangan mamanya, mengecup punggung tangannya secara lembut.
“Gavin baik-baik saja, Ma. Mama gak usah cemas.”
Gavin lalu menatap sekeliling ruang tamunya yang berukuran cukup luas itu. Bahkan di dinding ruang tamu itu, masih terpasang foto dirinya, Sarah, Zayn, dan Yasmin.
Gavin mencoba untuk tetap tegar. Dirinya tak bisa terus larut dalam kesedihan. Ia harus terus berjalan maju dan menata hidupnya.
Demi mamanya. Demi sang putra yang masih sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang darinya.
“Ma, dimana Zayn? Gavin sangat merindukannya.”
“Dia baru saja tidur. Seharian bermain sama Mina tadi di taman depan.”
“Gavin akan melihatnya sebentar. Setelah itu Gavin mau istirahat.”
Sarah mengangguk, “Mama hanya berharap kamu akan segera melupakan semuanya. Jangan menyalahkan diri kamu sendiri. Semua yang terjadi adalah takdir.”
Gavin mengangguk. Ia lalu melangkah menuju kamar yang ada di dekat ruang tengah.
Selama Gavin pergi, Sarah maupun Mina selalu menidurkan Zayn di kamar itu.
Gavin membuka pintu kamar itu secara perlahan. Ia melangkah masuk ke dalam kamar. Menatap ke arah ranjang, tempat dimana sang putra tengah tertidur lelap.
Melangkah menuju ranjang, mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang.
Wajah mungil yang sama sekali tak berdosa, tengah tertidur lelap sambil membekap boneka beruang kesayangannya.
Gavin dengan perlahan mengambil boneka beruang itu, lalu meletakkannya di samping sang putra. Mengecup keningnya dengan lembut.
“Sayang, maafin Papa. Maafin Papa yang sudah menjauhkan kamu dari mama kamu. Maafin Papa yang telah merenggut kasih sayang mama kamu untuk selama-lamanya,” lirihnya sambil membelai lembut puncak kepala Zayn.
“Yasmin. Aku harap kamu sudah tenang disana. Aku janji, aku akan membesarkan Zayn dengan sangat baik. Tak akan aku biarkan Zayn sampai kekurangan kasih sayang dan perhatian. Aku janji Yasmin. Aku janji.”
Gavin lalu kembali mengecup kening Zayn. Setelah itu, ia beranjak berdiri dan melangkah menuju pintu.
Kembali menengok ke arah ranjang sebelum melangkah keluar. Menghela nafas panjang, membalikkan tubuhnya dan melangkah keluar dari kamar itu.
Gavin sudah bersiap untuk berangkat ke kantor. Sekarang kondisinya sudah berangsur-angsur pulih. Bahkan untuk berjalan, ia sudah tak membutuhkan tongkat penyangga lagi.
Ini pertama kalinya, Gavin mengurus keperluan kerjanya tanpa bantuan Yasmin.
Biasanya semuanya sudah tersedia di atas ranjang. Dari kemeja, jas, celana kerja, dasi, bahkan kaos kakinya. Tapi sekarang, ia harus terbiasa melakukan semua itu sendiri.
Gavin berdiri di depan cermin besar yang ada di dalam kamarnya. Ia baru saja selesai memakai dasinya. Dirinya sengaja memakai dasi, kemeja, dan jas yang sangat Yasmin sukai.
“Yas, sekarang aku memakai pakaian kerja yang biasa kamu siapkan. Kamu pernah bilang, aku akan semakin terlihat tampan saat memakai pakaian ini. Sekarang, apa aku masih terlihat tampan?” berbicara pada pantulan dirinya di cermin.
Gavin menghela nafas panjang, “mulai sekarang aku harus membiasakan diri tanpa bantuan kamu lagi. Tapi, aku tak akan pernah melupakan kamu, Sayang. Tak akan pernah.”
Gavin lalu melangkah menuju pintu yang terhubung dengan ruang kerjanya. Mengambil tas kerjanya, setelah itu melangkah keluar menuju pintu lainnya.
Gavin melihat sang mama yang tengah menyuapi putra semata wayangnya.
“Pagi Ma. Pagi, Sayang,” sapa Gavin lalu mencium pipi Zayn.
“Mam... mam. Pa... pa.”
Gavin mengusap puncak kepala Zayn, “iya, Sayang. Papa juga akan makan.”
Gavin lalu menarik kursi yang ada di samping Zayn. Membalikkan piring yang ada di depannya, lalu mengisinya dengan nasi, sayur, dan lauk pauk.
“Vin, kamu yakin sudah bisa kembali bekerja?” tanya Sarah yang tentu saja masih mengkhawatirkan keadaannya putranya.
“Gavin sudah gak apa-apa kok, Ma. Gak enak juga kalau Gavin kelamaan liburnya. Fernandes pasti juga membutuhkan bantuan Gavin.” Kembali menyuap satu suap makanan ke dalam mulutnya.
“Apa kamu sudah mengunjungi kedua orang tua Yasmin?”
Gavin menganggukkan kepalanya, “sebelum kembali, Gavin mengajak Fernandes untuk mengunjungi rumah Yasmin. Kedua orang tua Yasmin sama kayak Gavin, Ma. Mereka juga sangat terpukul. Tapi, mereka mencoba untuk ikhlas dan tak menyalahkan Gavin.”
Sarah menghela nafas panjang. Ia lalu menatap wajah tampan cucunya yang sama persis dengan wajah Gavin saat masih kecil.
“Syukurlah. Kalau kamu punya waktu luang, kamu ajak Zayn untuk menemui nenek dan kakeknya. Hanya Zayn yang mereka miliki setelah kepergian Yasmin.”
“Iya, Ma. Gavin juga mempunyai rencana seperti itu. Tapi untuk waktu dekat ini kayaknya gak bisa. Pasti kerjaan kantor sudah sangat menumpuk.”
“Sebisa kamu aja.”
Gavin sudah menyelesaikan sarapannya. Ia lalu memindahkan Zayn ke pangkuannya.
“Sayang, Papa berangkat kerja dulu ya. Zayn di rumah sama nenek. Zayn gak boleh nakal.”
Zayn menganggukkan kepalanya.
Gavin memeluk tubuh mungil itu, “Papa akan usahakan untuk pulang cepat. Papa akan menemani Zayn bermain nanti,” ucapnya lalu melepaskan pelukannya.
“Kamu gak usah mencemaskan Zayn. Mama dan Mina yang akan mengurus Zayn. Fokuslah sama pekerjaan kamu.”
Gavin menganggukkan kepalanya. Ia lalu kembali mendudukkan Zayn di kursinya semula.
Dirinya lalu bangkit dari duduknya, melangkah mendekati sang mama. Menarik tangannya untuk dikecup.
“Gavin berangkat dulu ya, Ma. Titip Zayn,” pamitnya.
“Hati-hati di jalan. Gak usah terburu-buru membawa mobilnya.”
“Iya, Ma. Gavin berangkat dulu,” pamit Gavin lagi lalu melangkah pergi.
Fernandes terkejut saat berpapasan dengan Gavin di basemen kantor. “Aku pikir kamu mau nambah masa cuti kamu,” sindirnya.
“Maunya sih gitu. Tapi, melihat kerja keras kamu selama ini, aku jadi gak tega. Nanti aku dikira bos yang tak bertanggung jawab lagi.”
Fernandes tertawa, “sadar diri juga kamu ternyata.”
Pintu lift terbuka. Mereka lalu masuk ke dalam lift.
“Soal tender yang waktu itu kamu ingin dapatkan, aku sudah berhasil mendapatkannya.”
Kedua mata Gavin membulat dengan sempurna. “Serius? Bagaimana cara kamu menyakinkan Pak Tara untuk menandatangani kontrak kerja sama itu?” tanyanya terkejut.
“Fernandes gitu loh! Siapa yang gak tertarik ama proposal yang aku ajuin? Bahkan Pak Tara langsung menanda tangani itu kontrak kerja sama setelah membaca proposal yang aku ajukan tanpa harus mikir panjang,” ucap Fernandes berbangga diri.
Gavin mengacungkan ibu jarinya, “kamu memang bisa diandalkan,” pujinya.
Fernandes menatap kaki Gavin, “kaki kamu sudah sembuh? Tumben gak pakai penyangga lagi.”
“Hem... sudah mendingan.”
“Vin, aku tau kamu masih merasa kehilangan akan kepergian Yasmin. Tapi, aku harap kamu bisa melanjutkan hidup kamu. Perusahaan ini masih sangat membutuhkan kamu, begitu juga dengan Zayn.”
Gavin menghela nafas, lalu menganggukkan kepalanya. “Kamu tenang aja, meski berat, aku sudah mengikhlaskan kepergian Yasmin.”
Fernandes menepuk bahu Gavin, “ini baru sahabat aku. Meskipun aku gak tau apa yang kamu rasakan saat ini. Tapi aku yakin, seorang Gavin Ivander Kaliandra gak akan pernah terpuruk karena keadaan.”
Gavin menepis tangan Fernandes yang ada di bahunya. Ia lalu beranjak dari duduknya. “Apa berkas-berkas untuk meeting siang ini sudah siap?” melangkah menuju meja kerjanya.
“Hem... tenang aja, kamu tinggal terima beres soalnya.”
Gavin menarik kursi kerjanya, lalu mendudukkan tubuhnya di kursi itu. Menatap pigura yang ada di atas meja kerjanya.
Dimana dalam pigura itu terpasang foto dirinya bersama dengan Yasmin dan Zayn.
Gavin lalu menghela nafas panjang, ‘demi Zayn. Demi mama, aku harus bisa melewati semua ini. Sayang, bantu aku untuk melewati semua ini,’ gumamnya dalam hati.