Gavin yang baru saja selesai mandi, keluar dari kamar mandi sambil menggosok rambutnya yang basah dengan menggunakan handuk kecil yang dikalungkan di lehernya. Badannya terasa lebih segar setelah mandi.
Gavin mengernyitkan dahinya saat melihat istrinya—Yasmin yang tengah memasukkan semua pakaian ke dalam koper. Saking penasarannya, ia lalu melangkah mendekati sang istri.
“Sayang, kenapa kamu memasukkan semua pakaian kita ke dalam koper? Bukankah kita masih akan tinggal disini dua hari lagi?” tanyanya bingung.
Yasmin yang sudah memasukkan semua pakaiannya dan juga pakaian Gavin ke dalam koper, langsung menutup koper itu dan menguncinya.
“Kita akan pulang sekarang. Aku kangen sama Zayn. Kita sudah tiga hari tinggal disini, kurasa itu sudah cukup untuk merayakan anniversary kita, Sayang.”
Yasmin lalu beranjak dari duduknya, mengambil pakaian suaminya yang sudah ia siapkan di atas ranjang.
“Lebih baik kamu pakai baju dulu, setelah itu keluar untuk sarapan,” ucapnya sambil memberikan pakaian itu kepada Gavin.
“Tapi, Sayang... aku masih ingin disini bersamamu. Zayn pasti baik-baik saja di rumah sama Mama. Ada Mina Juga.”
Gavin masih berusaha membujuk Yasmin.
“Please... kali ini aja. Aku benar-benar sangat merindukan Zayn,” pinta Yasmin dengan memelas.
“Tapi cuacanya mendung, Sayang. Gimana kalau besok saja pulangnya,” bujuk Gavin sambil menggenggam tangan Yasmin.
Yasmin tetap kukuh dengan pendiriannya. Ia tetap saja menggelengkan kepalanya. “Aku maunya sekarang. Titik!” kekeh nya.
Gavin menghela nafas. Jika Yasmin sudah bersikukuh seperti itu, mau dibujuk seperti apapun tak akan pernah mempan.
Ia hanya bisa mengangguk, mengiyakan permintaan sang istri tercinta.
Gavin sebenarnya juga sangat merindukan putranya—Zayn.
Tapi, hanya dalam momen seperti ini, ia bisa menghabiskan waktu bersama dengan istrinya tanpa ada gangguan dari siapapun.
“Kalau begitu aku pakai pakaian dulu,” ucapnya sebagai keputusannya.
Yasmin tersenyum, ia lalu mengecup pipi Gavin. “Terima kasih, Sayang. Aku sudah gak sabar ingin bertemu sama Zayn. Dia pasti sangat merindukan kita,” ucapnya dengan kedua mata yang berbinar.
Gavin mengusap puncak kepala Yasmin, “aku juga sangat merindukan Zayn,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya.
“Nanti kita beli oleh-oleh buat Mama, Mina, dan Zayn ya.”
Gavin menganggukkan kepalanya. Melihat isterinya bahagia seperti itu, membuatnya juga merasa bahagia yang berlipat ganda. Belum lagi senyuman manis yang merekah di kedua sudut bibir Yasmin.
Sambil menunggu sang suami berpakaian, Yasmin menyiapkan sarapan ala kadarnya.
Mereka memang tinggal di Villa keluarga Gavin untuk satu minggu.
Tapi, mereka hanya tinggal di Villa itu selama empat hari tiga malam, karena di hari ke empat, Yasmin memutuskan untuk kembali ke Jakarta karena sangat merindukan putra semata wayangnya yang masih berusia satu tahun.
Gavin yang sudah selesai bersiap-siap, melangkah keluar dari kamar sambil membawa keluar koper dan barang bawaannya lainnya.
“Sarapan dulu aja, setelah itu baru bawa semua barang-barang itu ke dalam mobil,” ucap Yasmin yang melihat Gavin hendak membawa keluar koper besar yang berisi pakaiannya dan pakaian sang suami.
Gavin menganggukkan kepalanya, ia lalu meninggalkan koper itu dan melangkah menuju meja makan.
“Maaf, kita sarapan seadanya saja,” ucap Yasmin sambil meletakkan sepiring nasi goreng telur ceplok di depan suaminya.
Gavin tersenyum, “apapun yang kamu masak, aku pasti akan memakannya sampai habis,” ucapnya lalu memasukan satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya.
Yasmin memang pandai memasak. Sejak masih kecil, ia memang sangat suka memasak. Bahkan ia sering membantu ibunya yang membuka warung kecil-kecilan di samping rumahnya.
Yasmin memang bukan berasal dari keluarga kaya seperti Gavin.
Ia hanya terlahir dari keluarga sederhana. Itu sebabnya Yasmin tumbuh menjadi wanita materialistis yang suka menggoda pria-pria kaya raya seperti Gavin.
Niat awal Yasmin menikah dengan Gavin, memang karena Gavin anak orang kaya—anak tunggal lagi yang jelas-jelas seluruh harta keluarganya akan jatuh ke tangan Gavin kelak.
Tapi, setelah menikah, Yasmin justru sangat mencintai Gavin dan mulai merubah cara hidupnya yang suka foya-foya.
Setelah selesai sarapan, Gavin dan Yasmin berpamitan kepada penjaga Villa itu.
“Mang, saya dan istri saya pulang ke Jakarta dulu ya. Terima kasih sudah menemani dan membantu kami selama kami tinggal disini,” ucap Gavin kepada penjaga Villanya itu.
“Sama-sama, Den. Tapi, Den. Apa tak sebaiknya pulang besok saja? sekarang cuacanya sedang tidak baik,” ucap pria paruh baya penjaga Villa itu.
Yasmin menggelengkan kepalanya, “tidak, Mang. Saya sudah sangat merindukan putra saya,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya.
Pria paruh baya itu hanya mampu menganggukkan kepalanya. Ia lalu membantu anak majikannya itu untuk memasukkan barang-barang ke dalam bagasi mobil.
“Saya pamit dulu ya, Mang,” pamit Gavin lagi.
“Hati-hati ya, Den, Non. Semoga Aden dan Non, selamat sampai tujuan.”
Gavin menganggukkan kepalanya, “terima kasih untuk doanya, Mang.”
Gavin dan Yasmin lalu masuk ke dalam mobil.
Cuaca semakin buruk, langit semakin gelap, suara petir saling menyahut satu sama lain.
“Sayang, gimana kalau kita....”
“Gak! Aku mau pulang sekarang juga!”
“Tapi, cuaca semakin buruk, Sayang.”
“Aku kangen sama Zayn. Apa kamu gak kangen sama anak kamu!”
Gavin hanya menghela nafas, “sial! Kenapa pakai acara macet segala sih? Apa terjadi kecelakaan di depan?”
Suasana semakin mencekam, angin berhembus dengan sangat kencang. Gavin akhirnya memilih jalan pintas.
Tapi, ia harus melewati tebing yang terjal dan sangat curam. Tapi, ia melihat banyak mobil yang memilih untuk lewat jalan pintas.
Gavin akhirnya mengikuti mobil-mobil yang ada di depannya. Tapi, tiba-tiba hujan turun dengan sangat deras, hingga membuat jalanan seakan tertutup kabut.
“Sayang, aku takut,” ucap Yasmin sambil merangkul lengan Gavin.
“Kamu tenang saja, semua akan baik-baik saja.”
Suara gemuruh petir semakin santer terdengar. Saat Gavin melihat belokan di jalan di depannya, ia seakan ragu.
Apalagi hujan turun dengan sangat deras. Tapi, ia juga tak bisa berhenti di tengah jalan seperti itu.
Ya Tuhan, tolong lindungi hamba dan istri hamba. Keluarga hamba saat ini sedang menunggu hamba dan istri hamba di rumah.
Gavin tetap melajukan mobilnya. Tapi, saat ingin membelokkan mobilnya, tiba-tiba ban mobil depannya tergelincir... dan...
“Yasmin!” teriak Gavin dengan keringat dingin yang mengalir di keningnya.
Gavin seketika langsung membuka kedua matanya.
“Sayang, kamu sudah sadar?”
Sarah mengusap kening putranya yang penuh dengan keringat.
“Mama takut kamu akan kembali koma lagi, Sayang,” lanjutnya.
Gavin bangun dari tidurnya, mengubah posisinya menjadi duduk bersandar pada sandaran ranjang. Tentu saja dibantu oleh mamanya—Sarah.
“Ma, ada apa dengan Gavin?”
Gavin seakan lupa dengan apa yang baru saja ia alami. Ia bahkan lupa jika saat ini dirinya berada di ruang inap rumah sakit.
“Setelah kamu tersadar dari koma, tiba-tiba kamu kembali jatuh pingsan. Mama benar-benar takut kehilangan kamu, Sayang.” Sarah bahkan masih menggenggam erat tangan putranya.
“Yasmin... Yasmin... dimana Yasmin, Ma? Apa yang Mama katakan tadi gak benar ‘kan, Ma?” bayang-bayang kecelakaan maut itu kembali berputar di otak Gavin.
“Sayang, semua itu benar. Itulah kenyataan yang harus kamu hadapi.”
“Tadi Gavin bermimpi soal kecelakaan itu, Ma. Andai Gavin menolak keinginan Yasmin untuk pulang ke Jakarta, kecelakaan itu gak akan terjadi, Ma. Andai Gavin gak mengambil jalan pintas, kecelakaan itu gak akan terjadi, Ma.”
Gavin menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Andai Gavin bisa mencegah semuanya, mungkin saat ini Yasmin masih bersama dengan Gavin, Ma,” lanjutnya dengan kedua mata yang sudah di penuhi cairan bening.
“Sayang, semua yang terjadi adalah suratan takdir. Kamu juga gak akan bisa melawan takdir. Sekarang yang harus kamu lakukan hanya mengikhlaskan kepergian Yasmin. Lanjutkan hidupmu untuk membesarkan anak kamu—Zayn. Dia masih sangat membutuhkan sosok ayahnya.”
Sarah juga tak tega melihat kesedihan anak semata wayangnya. Ia tau seberapa besar cinta Gavin untuk Yasmin.
Bahkan Gavin rela menikah muda karena Yasmin memintanya untuk langsung melamarnya setelah Gavin lulus kuliah S2.
Sedangkan Yasmin hanya mampu kuliah sampai lulus S1, itupun lewat jalur beasiswa. Ia memang anak yang pintar dan cantik.
“Ma, apa masih ada kemungkinan Yasmin masih hidup? Bukankah jasadnya belum ditemukan?”
Gavin sangat berharap akan ada keajaiban yang akan mengembalikan Yasmin bersamanya lagi.
Sarah menggenggam erat tangan putranya.
“Sayang, kamu harus ikhlaskan kepergian Yasmin. Mustahil Yasmin bisa selamat dengan kondisi arus sungai yang begitu derasnya. Kamu masih bisa selamat karena tubuh kamu tersangkut di bebatuan besar dan warga sekitar langsung melihatmu.”
Sarah bergantian mengusap lengan putranya. “Sedangkan istrimu, warga sama sekali tak melihat akan adanya tubuh Yasmin. Polisi bahkan mengerahkan tim SAR untuk mencari ke seluruh sungai, tapi hasilnya tetap nihil.”
“Tapi, Ma...”
“Sayang. Mama tau, kamu sangat berat untuk melepaskan Yasmin. Tapi, sekarang yang harus kamu pikirkan adalah anak kamu. Zayn masih sangat kecil. Dia belum mengerti apa-apa. Kamu harus mengikhlaskan Yasmin, dan jaga Zayn dengan baik.”
Gavin menghela nafas, ia lalu mengangguk pelan. “Apa Mama mau menemani Gavin untuk melihat tempat kejadian, setelah Gavin keluar dari rumah sakit? Gavin ingin mengucapkan selamat jalan untuk Yasmin,” pintanya.
Sarah menganggukkan kepalanya, “Mama akan menemani kamu, Sayang. Kamu bisa datang ke tempat itu saat kamu ingat dengan Yasmin,” ucapnya dengan menepiskan senyumannya.
“Terima kasih, Ma.”
Gavin lalu melihat sekeliling ruangan. Ia mencari sosok mungil yang tadi dipeluknya dengan sangat erat.
“Ma, dimana Zayn?” tanyanya kemudian.
“Mama menyuruh Mina untuk mengajak Zayn pulang. Apalagi kamu langsung pingsan setelah mendengar kabar tentang Yasmin.”
Gavin menundukkan wajahnya, “semua yang terjadi adalah salah Gavin, Ma. Gavin sudah membuat Zayn kehilangan mamanya—kasih sayang mamanya.”
“Jangan menyalahkan diri kamu sendiri. Sudah Mama bilang, semua itu adalah takdir. Tugas kamu sekarang adalah buat Zayn bisa merasakan kasih sayang mamanya, dan kamu yang harus memberikannya. Sekarang kamu akan merangkap dua peran sekaligus. Sebagai papa dan juga mamanya Zayn.”
“Apa Gavin bisa melakukan itu, Ma? Apa Gavin sanggup menggantikan tugas Yasmin. Selama ini Yasmin yang begitu dekat dengan Zayn. Gavin hanya bersama dengan Zayn, saat Gavin libur kerja. Kalau pulang kerja pun, Zayn pasti sudah tertidur.”
Sarah tersenyum, ia lalu menepuk bahu putranya. “Mama yakin kamu bisa. Kamu gak akan tau sebelum kamu mencobanya, Sayang. Mama akan selalu ada buat bantu kamu.”
Gavin menganggukkan kepalanya. Ia begitu bersyukur mempunyai seorang ibu yang selalu menyayanginya dan selalu ada disaat ia tengah terpuruk seperti saat ini.
Tapi, Gavin merasa dirinya belum bisa membalas kebaikan wanita yang telah melahirkannya itu.
Gavin lalu memeluk mamanya dengan sangat erat. “Terima kasih, Ma. Terima kasih karena Mama selalu ada buat Gavin dan keluarga Gavin.”
Sarah mengusap punggung putranya, “kamu adalah anak Mama satu-satunya, keluarga Mama satu-satunya. Mama hanya ingin yang terbaik untuk anak Mama.”
Sarah melepas pelukan putranya, "Mama meminta Fernandes untuk mengurus urusan kantor saat kamu koma. Jadi kamu gak usah mencemaskan soal urusan kantor lagi. Fernandes juga meminta maaf, karena belum bisa mengunjungimu setelah kamu siuman dari koma, karena sekarang dia sedang melakukan perjalanan bisnis ke Bandung," lanjutnya.
Gavin menganggukkan kepalanya, "Gavin selalu percaya sama Fernandes, Ma. Selain sahabat Gavin, dia juga sudah banyak membantu Gavin selama ini," ucapnya dengan menepiskan senyumannya.