Setelah menghilang selama sepuluh hari ke Singapore, beberapa hari setelahnya Langit disibukkan dengan pekerjaannya di kafe yang sudah cukup lama ditinggal. Karena beberapa hari itu Langit sedang sibuk, Lanitra pun hanya bisa mendatangi Cielo Cafe jika ingin bertemu dengan Langit. Atau Langit yang menghampiri Lanitra ke apartemen setelah selesai dengan urusan pekerjaannya. Mereka belum benar-benar memiliki waktu untuk kencan keluar berdua.
Melihat interaksi antara Langit dan Lanitra setiap kali sedang berdua di Cielo Cafe, semua karyawan kafe itu pun jadi tahu tentang hubungan keduanya. Ya, meskipun tidak pernah ada pernyataan khusus dari Langit untuk mengajak Lanitra pacaran, tapi laki-laki itu sudah menyatakan perasaan dan kedekatan hubungan mereka pun sudah bisa dikategorikan sebagai pacaran. Apalagi jika melihat secara langsung interaksi keduanya, semua yang menjadi saksi pasti bisa langsung menebak, termasuk para karyawan Cielo Cafe.
Mereka pun merespon dengan baik hubungan Lanitra dengan bos mereka. Ikut senang karena si bos yang sudah lama single akhirnya punya tambatan hati. Mereka pun sangat antusias setiap kali Lanitra datang selama beberapa hari ini, terlebih lagi sejak waktu itu Lanitra mentraktir mereka sushi ketika sedang datang untuk bertemu Langit.
"Nggak salah ya Mas Langit lama ngejomblo, ternyata nyarinya yang paket lengkap kayak Kak Lanitra, udah cantik terus baik hati lagi." Lanitra hanya bisa tersipu dipuji begitu oleh Rhea dan juga beberapa karyawan kafe lain.
Omong-omong tentang para pembaca Lanitra yang kemarin heboh datang ke Cielo Cafe, beberapa di antara mereka sudah melihat Lanitra ketika ia mencari Langit waktu itu dan kehadiran Lanitra tentunya sudah menjadi konfirmasi tidak langsung. Lanitra sendiri sudah tidak terlalu memedulikannya karena kemarin ia sibuk memikirkan Langit. Dan ketika Langit sudah pulang, ia hanya bisa pasrah dengan kabar tentang Cielo Cafe yang beredar di kalangan pembacanya.
Saat Lanitra mengunjungi Cielo Cafe baru-baru ini, ada beberapa pelanggan yang juga merupakan penggemarnya menyapa, dan Lanitra hanya bisa tersenyum pada mereka. Lanitra sudah takut sih Langit tiba-tiba jadi viral di kalangan pembacanya karena sering terlihat bersama Lanitra di kafe, tapi untungnya belum ada kabar apa-apa. Baguslah, karena Lanitra juga tidak ingin ada yang mempublikasi Langit diam-diam.
Jika perlu, biar nanti Lanitra sendiri yang mempublikasi tentang Langit, entah itu sebagai inspirasi di balik novelnya atau sebagai kekasihnya.
***
Akhirnya Lanitra dan Langit punya waktu untuk mengganti kencan mereka yang gagal tempo hari. Dan kali ini, Langit tidak menghilang seperti sebelumnya. Laki-laki itu datang tepat waktu, sesuai dengan jam yang ditentukannya untuk datang menjemput Lanitra.
Kali ini, Lanitra ingin memilih sendiri tempat kencan mereka. Langit pun setuju-setuju saja. Dan keputusan Lanitra untuk mengajaknya ke Dufan pun merupakan sesuatu yang dengan sangat senang hati diterima oleh Langit.
Sekarang mereka sudah berada di perjalanan menuju Dufan. Dari apartemen Lanitra yang berada di daerah Kemang, perjalanan menuju Dufan yang ada di Ancol memakan waktu lumayan lama, sekitar lebih kurang empat puluh menit. Tapi ya, bagi keduanya, mau jarak sejauh apapun, ditempuh berdua juga akan terasa dekat dan cepat.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba saja Lanitra menerima sebuah panggilan video call. Dari ibunya. Lanitra sedikit gugup karena panggilan tiba-tiba yang datang saat dirinya sedang bersama Langit. Tetapi, yang lebih gugup jelas adalah laki-laki di sebelah Lanitra yang sedang mengendalikan kemudi.
"Halo, Mami." Lanitra menyapa ibunya sesaat setelah panggilan mereka terhubung.
Wajah ibu Lanitra memenuhi layar ponsel. Langit melirik sedikit guna melihat wanita paruh baya itu. Meski hanya melihat sekilas, Langit langsung mengerti darimana Lanitra mendapatkan wajah cantiknya. She really looks like her mother.
"Kamu tuh ya, udah berapa hari nggak telepon Mami."
Lanitra meringis. "Sorry, Mami. Aku lagi agak sibuk soalnya."
"Sibuk ngapain sih? Biasanya juga abis terbit n****+ baru kan kamu istirahat dulu. Mana kamu belum pulang-pulang lagi. Nggak kangen apa sama Mami?"
"Kangeennnnnn bangeetttt."
"Yaudah, pulang makanya."
"Iya, nanti pulang."
"Jangan nanti-nanti aja loh, Mami tunggu. Sekalian Mami mau ngenalin kamu sama anak teman Mami, namanya Wirasena, yang fotografer terkenal itu loh. Kamu kan udah lama jomblo, jadi-"
"Mami." Lanitra memotong omongan cepat ibunya yang ternyata merambat ke topik itu. Ia melirik Langit yang justru sedang menahan senyum. "Aku nggak mau kenalan sama anak teman Mami."
"Loh, kenapa? Kan cuma kenalan, kalau cocok ya baru lanjut, kalau enggak cocok yaudah, nggak dipaksa kok."
Lanitra menggelengkan kepala. "Nggak mau." Ia mengarahkan ponselnya agar Langit di sebelahnya masuk ke dalam frame. "Soalnya udah punya dia."
"HEH? SIAPA ITU? KOK NGGAK CERITA SAMA MAMI."
Lanitra tertawa kecil mendengar seruan ibunya, sementara Langit yang sedang sibuk menyetir hanya bisa melirik sekilas dan tersenyum canggung.
"Ini namanya Langit," jelas Lanitra.
"Pacar baru kamu?"
Lanitra tidak menjawab dan hanya mengulum senyum.
"Nanti aku ceritain deh sama Mami, sekarang kita lagi di jalan mau ke Dufan."
Di layar ponsel, Lanitra bisa melihat wajah ibunya yang mencebik. "Mami maunya dikenalin, bukan diceritain!"
Lanitra pun meringis. Sepertinya video call ini akan berakhir panjang.
***
Sesuai dugaan Lanitra, video call antara dirinya dan sang ibu berlangsung lumayan lama dikarena ibunya itu ingin dikenalkan pada Langit. Dan jadilah keduanya mengobrol. Langit pun sempat mengalami sempat-sempat ditanyai beberapa hal, mulai dari pertanyaan basic seperti asal dan pekerjaan, hingga pertanyaan kepo mengenai asal mula hubungan mereka.
Lanitra sempat takut kalau Langit akan merasa terganggu dengan kekepoan ibunya, tapi ternyata Langit terlihat santai dan senang-senang saja mengobrol dengan ibunya Lanitra. Lanitra pun jadi merasa lega karena obrolan virtual antara ibunya and her so called boyfriend berjalan baik-baik saja. Dan sepertinya juga, Langit mendapat lampu hijau karena tidak ada tanda ketidaksukaan sama sekali yang diberikan oleh ibunya. Lanitra jelas senang. Video call itu baru berakhir sesaat sebelum mereka sampai di Dufan.
Suasana Dufan tidak terlalu ramai ketika Lanitra dan Langit masuk. Mungkin dikarenakan taman bermain itu baru saja buka dan kebetulan juga hari ini adalah hari kerja, jadi suasananya tidak seramai pada akhir pekan. Mereka pun jadi tidak perlu mengantri lama untuk naik ke sebuah wahana. Ya, tapi memang mereka tidak harus mengantri sih, karena mereka berdua membeli tiket VIP yang memang jalur masuk ke setiap wahananya berbeda dengan jalur masuk yang biasa.
Sudah lama sekali sejak terakhir kali Lanitra datang ke Dufan. Ia bahkan sampai lupa kapan persisnya ia mengunjungi taman bermain ini dan dengan siapa ia pergi. Seingatnya sih dengan Sierra dan Alvaro, eh atau dengan keluarganya saat mereka berdua berlibur ke Jakarta? Entahlah, Lanitra benar-benar lupa karena itu benar-benar sudah lama. Tapi tidak masalah, yang penting sekarang dirinya senang bisa mengunjungi Dufan lagi, dan kali ini dengan agenda kencan bersama Langit. Ini pertama kalinya Lanitra kencan di sebuah taman bermain!
Langit pun juga merasa senang karena ini pertama kalinya bagi laki-laki itu mengunjungi Dufan, oh bahkan pertama kalinya mengunjungi sebuah taman bermain seumur hidupnya. Lanitra benar-benar terkejut saat Langit mengatakan itu.
"Masa sih nggak pernah? Selama kamu tinggal di California nggak pernah?" Tanya Lanitra yang terkejut tadi.
Langit memberikan sebuah gelengan kepala. "Keluarga aku nggak suka pergi ke tempat rekreasi."
"Sayang banget. Padahal disana ada Disneyland, Universal Studio, Six Flags, dan lain-lain yang jelas jauh lebih bagus daripada Dufan."
Langit hanya meringis dan mengangkat bahu. Mau bagaimana lagi kalau memang dirinya tidak pernah?
Lanitra pun sempat terpikir, seperti apa sebenarnya keluarga Langit sampai tidak pernah pergi ke tempat rekreasi? Padahal sepertinya mereka lebih dari mampu untuk pergi kesana setiap minggu. Tapi pikiran itu terlupakan begitu saja dan belum sempat ditanyakan karena Lanitra sudah keburu terdistraksi dengan suasana di Dufan yang membuatnya bersemangat.
"Jadi, kamu mau naik wahana apa dulu nih?" Tanya Lanitra setelah mereka berkeliling sebentar dan Lanitra menjelaskan wahana-wahana yang ada di Dufan.
"Wahana favorit kamu apa?"
Lanitra menunjuk sebuah wahana paling tinggi yang letaknya tidak jauh dari mereka saat ini. "Histeria."
Langit meneguk ludah, ngeri melihat wahana yang bisa melesat ke atas lalu tiba-tiba terjun ke bawah itu. Tetapi di hadapan Lanitra, ia memasang sebuah senyum. "Oke."
"Mau naik itu?"
"Iya?"
"Yeay! Ayo!" Lanitra pun menggenggam tangan Langit dan menariknya untuk berjalan cepat menuju wahana bernama Histeria tersebut, yang sejujurnya belum dinaiki saja sudah berhasil membuat perutnya bergejolak.
Tetapi melihat senyuman lebar dan semangat Lanitra, Langit pun mengabaikan begitu saja gejolak di dalam perutnya. It's okay, pikir Langit. As long as she is happy, he will be happy too.
***
Memasuki jam makan siang, Lanitra dan Langit memutuskan untuk beristirahat. Sudah banyak wahana yang mereka naiki, mulai dari yang menantang seperti Histeria dan Halilintar, hingga yang santai seperti Istana Bonek. Yang terakhir kali mereka naiki sebelum istirahat adalah Ontang-Anting, dan Langit sukses dibuat mual dan pusing setelah turun dari wahana tersebut, sehingga Lanitra pun membawa laki-laki itu ke tempat duduk terdekat guna meredakan rasa pusing dan mualnya.
Melihat Langit yang berubah dan pucat setelah naik Ontang-Anting, Lanitra jadi khawatir dan merasa bersalah. Kalau tahu Langit akan seperti ini, mana mau Lanitra mengajaknya naik wahana itu. Untungnya tidak butuh lama bagi Langit untuk pulih dari rasa pusing dan mualnya.
Setelah keadaan Langit membaik, Lanitra mengajaknya ke gerai bakso A Fung untuk makan siang. Bakso itu adalah bakso favorit Lanitra, makanya Lanitra ingin mengajak Langit kesana karena laki-laki itu belum pernah mencobanya. Dan ternyata, Langit pun juga suka dengan bakso yang bentuknya pipih itu, berbeda dengan kebanyakan bakso lain.
"Gimana? Hari ini kamu senang nggak?" Lanitra bertanya pada Langit usai keduanya menghabiskan bakso di dalam mangkuk masing-masing.
Langit mengangguk dan tersenyum lebar. "Never been this happy before."
Lanitra nyengir, senang dengan jawaban Langit.
"Entar kapan-kapan aku ajak kamu ke Seaworld juga ya. Itu tetanggamya Dufan."
"Iya."
"Terus, kalau nanti kita ada waktu libur panjang, kita liburan juga ke Singapore biar bisa ke Universal Studio, atau ke Disneyland Hong Kong! Pasti tambah seru deh."
"Iya, Lanitra." Langit tertawa kecil, lalu mengusap lembut puncak kepala. "Nanti kita kesana."
"Tapi kalau bisa sih sekalian ke Disneyland California, biar kamu sekalian mudik."
Langit tidak menjawab, ia hanya mengangguk dan tersenyum, kemudian mengalihkan pembicaraan. "Habis ini kita mau kemana lagi?"
"Jalan-jalan dulu aja, yuk? Terus mau foto di depan wahana kuda-kudaan. Soalnya itu tuh kayak spot foto wajib kalau ke Dufan."
"Oke."
Jadilah setelah makan siang, Lanitra dan Langit pun memutuskan untuk jalan-jalan sebentar, sekaligus merencanakan mau naik wahana apa lagi nantinya. Lanitra mengajak Langit untuk naik tornado nanti, ketika mereka melintasi wahana itu. Dan Langit hanya bisa menelan ludah melihat wahana yang sedang berputar-putar dan menyebabkan orang-orang yang menaikinya menjerit. Akan tetapi, meskipun merasa ngeri, seperti sebelum-sebelumnya Langit tetap mengiyakan permintaan Lanitra.
Di sepanjang jalan, tangan mereka terus saling menggenggam. Sedari awal memasuki Dufan juga begitu. Pokoknya persis seperti pasangan yang kencan di taman bermain seperti di film-film yang sering Lanitra tonton. Dan rasanya menyenangkan bisa seperti itu dengan Langit. Momen kencan pertama mereka ini tidak akan pernah dilupakan oleh Lanitra.
"Ini loh spot foto di depan wahana kuda-kudaan yang aku bilang tadi," ujar Lanitra setelah mereka berdua berhenti di depan wahana kuda-kudaan.
"Mau foto disini?"
Lanitra mengangguk.
"Sini aku fotoin kamu."
"Ih, Langit. Fotonya berdua sama kamu lah."
"Selfie?"
"Kita minta tolong fotoin orang aja biar view-nya bagus." Lanitra mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi kamera. "Kamu tunggu disini ya, aku minta tolong orang dulu."
Langit justru mengambil ponsel Lanitra. "Aku aja," katanya, kemudian pergi untuk mencari orang yang bisa dimintai tolong.
Lanitra jadi tersenyum sendiri karena Langit berinisiatif untuk menggantikannya mencari orang yang bisa dimintai tolong untuk mengambil foto. Mungkin bagi orang lain, perlakuan seperti itu tidak spesial sama sekali. Tapi bagi Lanitra, perhatian kecil yang diberikan Langit padanya selalu bisa menyentuh hatinya.
Di sepanjang kencan mereka ini, entah sudah berapa banyak perhatian kecil yang dibelikan Langit padanya. Seperti Langit yang selalu iya-iya saja setiap diajak Lanitra naik wahana ekstrem, padahal Lanitra tahu kalau laki-laki itu sedikit takut—terlihat dari betapa eratnya ia menggenggam tangan Lanitra saat mereka main wahana itu. Langit yang dengan sigap langsung menyodorkan gelas minuman saat Lanitra kepedasan ketika memakan baksonya tadi. Langit yang sebisa mungkin selalu berjalan di posisi yang bisa menghalau Lanitra dari sinar matahari. Langit yang menjaga Lanitra agar tidak basah saat mereka main wahana air. Dan masih banyak lagi perhatian-perhatian lainnya yang diberikan Langit pada Lanitra. Kalau seperti ini terus, Lanitra akan semakin jatuh cinta.
"Ayo foto." Langit langsung merangkul Lanitra setelah ia kembali dengan membawa seorang perempuan muda bersama dengan temannya yang mau mengambil foto mereka.
Keduanya pun tersenyum bahagia di depan kamera yang diarahkan perempuan itu pada mereka. Langit merangkul pundak Lanitra, sementara Lanitra merangkul pinggang Langit. Setelah beberapa kali bidikan, sesi foto itu pun selesai. Mereka segera menghampiri orang yang telah membantu mereka untuk mengambil ponsel dan mengucapkan terima kasih.
Perempuan yang telah membantu mereka dan temannya tersenyum malu-malu setelah mendapatkan ucapan terima kasih pada Lanitra. Lalu tidak disangka-sangka mereka berujar, "Kak Lanitra, kita boleh foto bareng Kakak nggak?"
"Oh..." Sesaat Lanitra terdiam. Tidak menyangka kalau dua perempuan itu adalah pembacanya. Karena tidak mungkin menolak, Lanitra pun mengangguk dan tersenyum. "Boleh dong." Ia beralih pada Langit. "Fotoin kita ya."
Langit mengangguk.
Perempuan itu menyerahkan ponselnya pada Langit, lalu ia dan temannya berdiri mengapit Lanitra dan tersenyum di depan kamera. Lanitra juga tersenyum sambil merangkul mereka berdua.
"Nggak nyangka banget bakal ketemu Kak Lanitra disini," kata perempuan itu setelah mereka selesai berfoto. "Kalau tau, aku udah bawa n****+ Cielo biar bisa minta tanda tangan ke Kakak."
Lanitra tersenyum. "Lain kali ya, kalau ketemu lagi."
"Iya, Kak. Bisa foto aja udah senang banget. Makasih banyak ya, Kak Lanitra."
"Hehehe makasih juga tadi udah fotoin aku."
"Sama-sama Kak. Kita juga nggak nyangka ternyata pacarnya Kakak ganteng ini tuh Kak Lanitra." Perempuan itu melirik Langit yang hanya tersenyum di samping Lanitra, lalu ia menoleh pada temannya dan berbisil. "Mirip Cielo nggak sih cuy?"
Lanitra dan Langit masih bisa mendengar bisikan itu. Lanitra meringis, sementara Langit berusaha untuk tidak tertawa.
"Kita jalan duluan ya?" Lanitra terlebih dahulu pamit pada mereka. "See you."
"See you, Kak. Have fun sama pacarnya!"
Lanitra hanya tersenyum manis, lalu menarik Langit pergi dari dua penggemarnya itu. Tawa Langit pun pecah setelah mereka sudah berjalan agak menjauh.
"Kok ketawa sih?" Dengus Lanitra.
"Habisnya mereka lucu, masa sekali lihat langsung nebak aku Cielo. Emang semirip itu?"
"Semirip itu."
Langit hanya tertawa, sementara Lanitra merasa sebal. Ia tidak sebal dengan penggemarnya, sungguh sama sekali tidak karena Lanitra menyayangi penggemarnya. Ia hanya sebal karena ternyata semudah itu mereka mengenali Langit sebagai Cielo. Dan hal seperti ini pasti tidak akan terjadi sekali saja. Jika ke depannya Lanitra akan bertemu penggemarnya saat sedang bersama Langit, tidak menutup kemungkinan mereka akan mengatakan atau berpikiran hal yang sama, lalu membuat berbagai macam spekulasi. Kemudian, mereka akan berusaha mencari tahu tentang Langit lagi.
Ada satu cara sih sebenarnya yang bisa membuat orang-orang tidak penasaran lagi dengan sosok nyata Cielo. Dan tentu saja caranya dengan Lanitra yang mempublikasikan sendiri sosok Cielo itu. Dengan begitu, semua rasa penasaran mereka akan terjawab sehingga mereka tidak perlu mencaritahu lagi.
Lanitra menghembuskan napas. Lalu ia melihat hasil fotonya dengan Langit tadi. Untungnya hasil semua foto itu bagus dan ia pun merasa puas melihat potretnya dan Langit disana yang terlihat sangat bahagia dan benar-benar jatuh cinta.
"Langit," panggil Lanitra setelah selesai melihat semua hasil fotonya.
"Kenapa, Sayang?"
"Aku boleh upload foto ini di i********:?" Lanitra menunjukkan foto mereka di ponselnya.
Langit tidak langsung menjawab. Ia terlebih dahulu memerhatikan foto tersebut kemudian memandang Lanitra, lalu bertanya, "Will you be happy if you do that?"
"Probably."
"Okay." Langit pun mengangguk. "Upload aja."
"Walaupun karena foto ini sementara akan banyak yang ngepoin kamu, tetap nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa, Lanitra."
"Are you sure?"
"Of course. As long as your're happy with it, then it's okay."
Senyum Lanitra pun terbit. Sekilas ia memeluk Langit. "Thank you," ujarnya.
Beberapa menit setelahnya dihabiskan Lanitra untuk mengunggah foto tersebut di akun i********:-nya. Foto itu diberinya caption : Cielo. (p.s. don't bother looking for his ig account cause he doesn't have one).
***
Beverly Hills, California.
Rumah tiga lantai, atau lebih tepatnya disebut mansion itu berdiri megah dan mewah seperti rumah-rumah lain yang ada di Beverly Park. Semua orang yang melihat rumah itu pasti akan langsung tahu bahwa sang pemilik rumah bukanlah orang biasa. Lagipula, siapa juga orang biasa yang mampu tinggal di Beverly Park yang satu rumahnya saja bisa mencapai ratusan juta dollar?
Dari luar, mansion bergaya Italian itu nampak hangat karena gaya arsitekturnya memberikan kesan seperti itu. Tapi jika sudah masuk ke dalam, rasa hangat yang terlihat dari luar justru tidak terasa sama sekali. Mansion itu terasa sepi dan dingin. Bukan hanya karena dua puluh kamar yang ada di mansion itu tidak terisi sepenuhnya, tapi juga karena hubungan orang-orang yang tinggal disana sudah tidak sehangat sebelumnya.
Di salah satu ruang kerja yang ada di mansion itu, seorang pria paruh baya duduk menghadap meja kerjanya. Rambut pria itu sudah mulai dihias surai-surai kelabu, sebagai tanda kalau usianya tidak lagi tua. Namun, terlepas dari fakta itu, garis wajah pria itu yang tegas tetap ada meskipun telah dimakan usia.
Pria itu sedang menatap serius pada iPad di genggamannya yang kini menampilkan sebuah foto dari akun media sosial seorang perempuan. Lanitra Ellena adalah nama perempuan itu. Dan jujur saja, pria itu tidak mengenalnya sama sekali, pun tidak tertarik untuk mengenalnya. Yang menjadi fokus perhatiannya sedari tadi adalah potret lelaki yang sedang tersenyum merangkul perempuan yang ada di foto tersebut.
Tidak lama kemudian, pintu ruang kerjanya terbuka, menghadirkan seorang perempuan berambut merah yang mengenakan setelan serba hitam.
Sesaat setelah perempuan itu sampai di depan meja kerjanya, pria itu membanting iPad tadi ke atas meja kerjanya yang berbahan dasar marble, menyebabkan perempuan itu sedikit berjengit akibat suara benturan yang terjadi dari kedua benda itu. Lalu, ia melirik foto yang masih menghias layar iPad itu. Seketika langsung sadar mengapa iPad tersebut dibanting dengan kasar.
"It's enough for him to play around," ujar pria berambut kelabu itu pada si perempuan berambut merah. Nada bicaranya dingin dan datat. "Bring him back. No matter what."
Perempuan berambut merah itu tidak mengatakan apa-apa dan hanya menganggukkan kepala. Menerima perintah yang telah diberikan padanya meskipun dalam hati ia mengerang. Sebab ia tahu, membawa laki-laki itu pulang tentu tidak akan bisa dilakukannya dengan mudah.