Yang membangunkan Lanitra dari tidurnya pagi ini adalah serangan sakit kepala super yang dirasakannya bahkan sebelum ia membuka mata. Lanitra mengerang tidak nyaman, memegangi kepalanya yang terasa seperti habis dihantam sebuah batu besar.
Kedua mata Lanitra baru terbuka ketika ia merasakan silau cahaya matahari menerangi wajahnya. Beberapa kali ia mengerjap untuk menyesuaikan penglihatan dan Lanitra langsung sadar kalau dirinya sedang berada di kamarnya sendiri. Dan itu cukup membuat Lanitra heran, karena seingatnya ia ketiduran di sofa di ruang tamu setelah mabuk minum beberapa gelas champagne.
Dengan kepala yang masih berputar-putar, Lanitra melihat ke sekeliling kamarnya yang bernuansa putih dan abu-abu itu. Ia mengernyit melihat gorden pada jendela besar di kamarnya sudah terbuka sehingga membuat cahaya matahari masuk. Padahal Lanitra jarang sekali membuka gorden itu, bahkan di siang hari sekalipun. Jadi, kapan ia membuka gorden itu?
Ketika dirinya berpindah posisi menghadap ke bagian samping tempat tidur, ia membenamkan wajah pada bantal tidak terpakai di sebelahnya. Samar-samar hidungnya mencium aroma cedar dan rosewood yang familiar menguar dari bantal tersebut.
Kayak wanginya Langit...
Usai pikiran itu tercetus di kepalanya, tiba-tiba saja potongan kejadian semalam teringat oleh Lanitra meskipun samar-samar. Ia pun langsung duduk dari posisi berbaringnya, menyebabkan sakit di kepalanya semakin bertambah karena gerakan tiba-tiba itu. Lanitra hendak keluar dari kamar, mencari Langit karena yakin kalau laki-laki itu pasti masih berada di apartemennya. Namun, belum sempat berjalan menuju pintu kamar, ia sudah terlebih dahulu mendapat serangan mual. Dan pada akhirnya tujuan Lanitra jadi berbelok ke toilet.
Lanitra memuntahkan seluruh isi perutnya, sesaat setelah ia sampai di westafel. Semuanya keluar begitu saja hingga terakhir yang keluar hanya berupa cairan pahit. Ini adalah bagian yang sangat Lanitra benci setelah mabuk. Hangover yang didapatnya selalu separah ini, padahal semalam ia sendiri tidak minum begitu banyak. Lanitra jadi menyesal telah mabuk-mabukan dan bersumpah tidak akan lagi melakukannya (selalu begitu yang dijanjikannya dalam hati setiap habis hangover).
Setelah menyiram bekas muntahnya di westafel, serta mencuci mulut dan wajahnya, Lanitra berjongkok sambil berpegangan pada westafel karena tubuhnya masih lemas dan kepalanya pun masih sangat pusing hingga rasanya ia tidak sanggup untuk sekedar berjalan keluar dari toilet.
Lalu, Lanitra mendengar pintu kamarnya terbuka dan ada suara langkah kaki mendekat. Jantung Lanitra jadi berpacu lebih cepat, ia memandang pada pintu toilet yang tadi tidak sempat dibukanya, menunggu siapapun itu muncul dari sana.
"Lanitra, are you okay?"
Lanitra ingin menangis melihat Langit yang ada di ambang pintu, menatapnya dengan penuh kekhawatiran.
Ternyata, semalam benar-benar bukan mimpi atau halusinasi semata.
***
Rasanya Lanitra masih ingin berpikir kalau apa yang dilihatnya saat ini hanyalah sebuah halusinasi yang disebabkan oleh sakit kepala hangover-nya karena jujur saja, melihat Langit Dawana sedang memasak di dapur apartemennya terasa sangat tidak nyata, terlebih lagi laki-laki itu baru saja menghilang selama sepuluh hari tanpa kabar.
Lanitra duduk di depan meja makan yang memang sudah menyambung dengan dapur yang ada di apartemennya ini. Jadi, ia bisa melihat Langit yang sedang berdiri membelakanginya, sibuk mengaduk sup ayam buatannya yang ada di dalam panci.
Langit yang mengenakan sweater hitam terlihat sangat kontras dengan dapur Lanitra yang didominasi oleh warna putih, abu-abu muda, dan aksen cokelat kayu. Kalau saja sedang tidak pusing dan kebingungan, mungkin Lanitra akan sangat menikmati pemandangan Langit di dalam dapurnya sekarang. Sayangnya, kepala Lanitra merasa berat dan perutnya pun terasa tidak enak akibat hangover. Ia juga masih tidak mengerti dengan situasi sekarang ini.
Lanitra memang samar-samar ingat kalau semalam ia didatangi oleh Langit. Ia pikir itu semua hanya halusinasi karena dirinya mabuk. Tapi ternyata laki-laki itu betulan ada, Lanitra membuktikannya sendiri ketika Langit menghampirinya yang habis muntah di toilet kamar.
Setelah menemukan Lanitra yang terduduk lemas sembari berpegangan pada westafel, Langit langsung membantu Lanitra untuk berdiri. Bahkan laki-laki itu hendak menggendongnya ke kamar, namun Lanitra menolak karena ia ingin sikat gigi karena napasnya bau alkohol.
Langit pun menemani Lanitra, membantunya menuangkan pasta gigi, lalu membantu memegangi rambut Lanitra ketika ia sedang menunduk untuk berkumur. Setelahnya, Langit mengikatkan rambut Lanitra dan mengajaknya untuk sarapan. Lanitra hanya mengangguk, menurut ketika dengan hati-hati Langit menuntunnya menuju dapur.
Sejak tadi hingga sekarang, Lanitra belum mengucapkan satu patah kata pun pada Langit kecuali saat ia bilang ingin sikat gigi. Lanitra tidak tahu harus bicara apa, dan dirinya juga takut akan menangis saat bicara. Karena jujur saja, sedari awal melihat Langit tadi, airmata Lanitra benar-benar ingin keluar. Untungnya ia masih bisa menahan itu.
"Maaf aku masak tanpa izin kamu dan ambil bahan-bahan yang ada di kulkas. Aku cuma mau masakin sesuatu untuk menghilangkan hangover kamu."
Lanitra hanya mengangguk ketika Langit mengatakan itu sembari meletakkan semangkuk sup ayam dan segelas jus pisang ke atas meja. Lalu, Langit menarik kursi yang ada di samping Lanitra dan duduk disana.
Tanpa mengatakan apa-apa, Lanitra mengambil sendok dan mulai makan sup itu perlahan, berharap dengan sup ini hangover-nya bisa cepat selesai. Sesuai ekspektasi, tentu saja masakan Langit enak.
"Maaf juga karena semalaman aku stay disini," ujar Langit lagi. "Semalam kamu mabuk parah sampai pingsan. Aku khawatir dan nggak mau biarin kamu sendirian. Tapi aku nunggu di ruang tamu kok, Lani, enggak di kamar kamu. Aku cuma masuk ke kamar kamu untuk mindahin kamu semalam, sama tadi waktu aku dengar kamu muntah-muntah."
"It's okay," jawab Lanitra tanpa melihat Langit sama sekali. Ia lebih memilih fokus pada potongan-potongan sayur dan ayam yang ada di mangkuk supnya.
"Lanitra."
"Hm?"
"Maaf."
Lanitra menghela napas dan meletakkan sendoknya. Kali ini ia baru mengangkat kepala dan menoleh pada Langit. "Aku khawatir banget sama kamu. Sepuluh hari kamu ngilang, Langit. Nggak ada kabar sama sekali, nggak ngasih tau kemana, nggak bisa dihubungi. Yang aku tau kamu cuma pergi ke luar Jakarta, itu pun taunya karena aku ke Cielo dan nanya ke Rhea. Kamu pun menghilangnya tiba-tiba...di hari kita janjian untuk ketemu. Gimana pikiran aku nggak langsung buruk?"
Dari raut wajahnya, terlihat sekali kalau Langit sangat merasa bersalah.
"Aku tau aku salah, salah banget. It was very unexpected and I really had to go back then."
"Kemana?"
"Singapore. Aku nggak bisa kasih tau kamu detailnya, but one of my family members needed me for some business matters."
Penjelasan dari Langit itu tidak cukup untuk membuat Lanitra puas karena masih terkesan abu-abu meskipun sesuai dengan yang dikatakan Rhea waktu itu. Urusan urgent, masalah keluarga. Ingin sekali Lanitra bertanya urusan apa hingga mengharuskan Langit menghilang tanpa kabar begitu? Namun, Lanitra tahu ia tidak bisa menanyakan itu karena Langit sendiri berusaha untuk menutupi privasi keluarganya sendiri.
"Tapi...kenapa kamu nggak bisa ngabarin aku sama sekali? At least, ngabarin kalau kamu nggak bisa datang, supaya aku nggak khawatir dan kalang kabut sendiri, Langit."
Langit meraih tangan Lanitra yang ada di atas meja dan menggenggamnya. "Maaf, Lanitra. Aku nggak maksud begitu. Habis ngabarin kafe, aku mau langsung ngabarin kamu, saat itu posisinya aku baru sampai di airport. Tapi terjadi sesuatu sama ponsel aku." Langit menarik ponsel dari dalam saku celananya dan meletakkannya ke atas meja. Layar benda persegi panjang itu sudah retak seribu dan mati total. "Ponsel aku jatuh waktu aku baru turun dari taksi dan mati total. So, that's why I didn't get the chance to contact you. Apalagi flight aku udah mepet banget dan disana aku nggak ada waktu untuk benerin ponsel. I was so busy. I'm sorry, Lani. Kamu pasti kecewa banget sama aku."
Lanitra mengangguk mengiyakan. Dirinya memang kecewa.
"Aku tau." Langit menghela napas. "Aku juga nggak bisa berhenti mikirin kamu selama disana, makanya aku langsung pergi ke apartemen kamu setelah aku pulang untuk jelasin semuanya. Dan aku makin khawatir waktu lihat kamu mabuk sampai pingsan."
"I was drunk because of you."
"I know. And that's why, I'm so sorry."
Penjelasan yang diberikan oleh Langit memang lah masuk akal. Tapi jujur saja, Lanitra merasa ada yang janggal dari penjelasan tersebut, semacam sedikit tidak bisa dipercaya meskipun Lanitra juga sebenarnya percaya-percaya saja pada Langit. Terlebih lagi melihat raut wajah laki-laki itu ketika menjelaskan semuanya, sarat akan rasa bersalah dan tulus ketika meminta maaf. Lanitra sendiri bisa membedakan seperti apa ketika seseorang yang berbohong dan tidak berbohong. Menurutnya sekarang, Langit sedang tidak berbohong meskipun rasa janggal itu tetap ada.
Ketika Lanitra pada akhirnya menganggukkan kepala dan balas menggenggam tangan Langit dengan erat, ia menepis rasa janggal tersebut dan berpikir mungkin itu hanya karena dirinya memiliki sebuah trust issues dan sedikit susah baginya untuk percaya sepenuhnya pada seseorang.
"Okay, you're forgiven, Langit."
Tapi untuk Langit, Lanitra memutuskan untuk memberikan kepercayaan sepenuhnya karena laki-laki itu pun sudah memiliki seluruh hatinya. Semoga saja keputusan Lanitra ini tidak salah.
***
Lanitra sudah merasa sedikit lebih baik ketika dirinya selesai sarapan. Walaupun pusing di kepalanya masih tersisisa sedikit, tapi perutnya sudah tidak semual sebelumnya. Ia pun memutuskan untuk mandi agar merasa lebih segar dan bisa berpenampilan lebih baik. Karena sebelumnya, penampilan Lanitra benar-benar kacau. Wajahnya sembab, rambutnya berantakan, dan ia masih mengenakan pakaian saat menghadiri launching n****+ Sierra kemarin. Dipikir-pikir malu juga berpenampilan sekacau itu di depan Langit.
Bicara tentang Langit, laki-laki itu tadi memutuskan untuk pulang sebentar. Karena memang Langit belum pulang sama sekali ke rumahnya semalam. Tapi katanya, ia akan kembali lagi ke apartemen Lanitra nanti untuk menghabiskan waktu bersama. He said he missed her. Dan yah, Lanitra juga rindu Langit. Dengan senang hati ia pun menerima Langit untuk datang lagi ke apartemennya nanti.
Suasana hati Lanitra sendiri sudah jauh lebih baik dibandingkan kemarin. Jelas saja, karena Langit sudah kembali. Jika kemarin ia menghabiskan waktu berendam di bathtub kamar mandi diiringi dengan lamunan sedih, hari ini Lanitra sudah bisa tersenyum saat mengguyur dirinya sendiri dengan air dingin dari shower.
Sesuai perkataan Langit, dirinya hanya pulang sebentar. Karena tidak lama setelah Lanitra selesai mandi dan berpakaian santai, Langit kembali. Laki-laki itu sudah berganti pakaian, mengenakan celana jeans hitam dan kaus abu-abu, wajahnya pun nampak lebih segar dari sebelumnya, dan rambut laki-laki itu pun masih sedikit basah, terlihat sekali kalau habis mandi. Oh jangan lupa, Langit juga wangi. Sangat wangi hingga rasanya Lanitra ingin menghirup napas dalam-dalam, because his scent is her favorite.
Langit datang dengan membawa paperbag berlogo brand gadget ternama. Isi paperbag tersebut adalah ponsel baru untuk mengganti ponselnya yang rusak kemarin. Langit bilang, sebelum kembali ke apartemen Lanitra, ia mampir ke store itu. Dan dari cerita Langit, Lanitra bisa membayangkan kalau Langit pasti membeli ponsel keluaran terbaru yang mahal itu seperti membeli makanan ringan di mini market. Ambil, bawa ke kasir, bayar, pulang. Semudah itu. Lanitra yang penghasilannya sudah bisa dibilang lumayan saja butuh banyak pertimbangan saat ingin membeli suatu barang yang mahal. Jika yang rusak adalah ponselnya, ketimbang beli baru, ia justru lebih memilih opsi untuk membetulkan ponsel itu dulu.
But well, seems like Langit Dawana is on another level.
"Sebenarnya kerjaan kamu itu apa aja sih, Langit?" Lanitra tidak tahan untuk bertanya saat Langit sedang sibuk mengotak-atik ponsel barunya. Mereka berdua sekarang sudah duduk bersebelahan di sofa ruang TV apartemen Lanitra.
"Jualan makanan dan minuman," jawab Langit sembari tersenyum kecil.
Penjelasan Langit tidak salah sih. Memang kerjanya menjual makanan dan minuman di Cielo Cafe, tapi jawaban itu membuat Lanitra memutar bola mata.
"Selain itu apa? Kayaknya kerjaan kamu bukan cuma punya Cielo Cafe aja deh, karena uang kamu banyak."
"Beneran, Lani."
"Masa sih?"
"Iya."
"But you must be from a well-known family."
"Nggak juga," balas Langit singkat. Ia kemudian mengarahkan poselnya ke arah Lanitra. Lalu, Lanitra dibuat terkejut begitu mendengar bunyi khas kamera ponsel.
"Ih, kenapa fotoin aku sih! Lagi jelek gini juga," keluh Lanitra yang tidak terima tiba-tiba difoto.
Langit hanya tertawa, menunjukkan foto Lanitra tadi yang sudah dijadikannya wallpaper ponsel. Pada foto itu, Lanitra yang hanya memakai celana pendek dan kaus kebesaran warna merah muda sedang menatap Langit dengan raut wajah penasaran. Bagi Lanitra, penampilannya yang begitu sangat jelek. Menurut Langit beda lagi.
"Jelek darimana? Kamu cantik banget. I like you most with this style, feels like home," ujar laki-laki itu manis. Ia pun menyentuh rambut Lanitra yang digelung berantakan. "Suka juga kalau rambut kamu diginiin."
"Kamu lagi jujur atau lagi gombal?"
"Aku nggak pernah gombal, semua yang aku omongin itu jujur dari hati."
Lanitra hanya mencibir, tapi wajahnya sudah bersemu hampir sama dengan warna baju yang dipakainya. Tersipu karena omongan Langit serta karena wajahnya yang sekarang menghias wallpaper laki-laki itu.
"Kalau kamu lagi malu gini, aku jadi gemas, Lani." Langit mengusap pipi Lanitra dengan senyum tertahan di bibirnya. "I really like you."
"Kenapa?"
"Because I feel happiest when I'm with you."
Ucapan Langit itu mungkin terkesan seperti sebuah gombalan semata. Namun, Lanitra bisa melihat keseriusan di mata Langit ketika mengatakannya. He really mean it.
Lanitra tidak tau harus merespon seperti apa. Katanya, mata selalu jujur dalam menggambarkan emosi dan perasaan. Di mata Langit yang sedang ditatapnya sekarang, ia bisa merasakan keseriusan dan hal itu membuat hati Lanitra senang karena pengakuan Langit itu bukan hanya gombalan semata. Tapi di sisi lain Lanitra juga bertanya-tanya, selain keseriusan, ada sendu di mata Langit yang entah artinya apa.
Cukup lama mereka berpandangan hingga tanpa sadar wajah mereka kian mendekat antara satu sama lain. Saat jarak bibir mereka tinggal sejengkal lagi, Langit bertanya, "Boleh?"
Lanitra jadi sedikit merasa malu karena selama ini dirinya selalu mencium Langit secara tiba-tiba, berbeda dengan laki-laki itu yang selalu minta consent darinya. Kalau sikap Langit begini, Lanitra semakin jatuh cinta.
He is so gentle, pikir Lanitra tepat setelah dirinya mengangguk dan membiarkan Langit menciumnya dengan lembut. Satu tangan Langit memegang tengkuk Lanitra, membuat Lanitra merinding karena sentuhan hangat itu. Sementara satu tangan Langit yang lain melingkari pinggang ramping Lanitra, menarik perempuan itu lebih dekat dengannya.
Semula, ciuman mereka berjalan lambat dan hati-hati, tapi seiring dengan waktu yang berlalu, ciuman itu semakin dalam. Tanpa sadar, posisi Lanitra sudah berbaring di atas sofa sambil melingkarkan kedua lengannya pada leher Langit yang ada di atasnya.
They kissed like there is no tomorrow. Semua rindu yang tertahan selama sepuluh hari ini pun tersalurkan lewat ciuman itu.
"Jangan menghilang tanpa kabar lagi," gumam Lanitra saat dirinya dan Langit sama-sama sedang menarik diri. Napas keduanya terengah.
"Nggak akan," jawab Langit, lalu ia membenamkan wajahnya pada ceruk leher Lanitra. Menghirup napas dalam-dalam disana, membuat Lanitra tergelitik dengan deru napas laki-laki itu yang menyapu kulitnya.
Lanitra memeluk Langit dan memainkan rambutnya yang sedari tadi sudah berantakan karena ulah Lanitra sendiri. Tapi kemudian Langit berpindah posisi sehingga dirinya berbaring di samping Lanitra di atas sofa, dan ganti memeluk perempuan itu dari belakang.
Tidak ada yang bicara lagi di antara mereka, menyebabkan ruangan hening, tetapi heningnya bukan tipikal hening yang tidak nyaman. Sebaliknya, hening yang tercipta justru menenangkan. Lanitra mengusap punggung tangan Langit yang melingkari pinggangnya. Ia tidak menyangka kalau berada di pelukan Langit ternyata bisa membuatnya senyaman ini, padahal mereka baru mengenal hanya dalam hitungan bulan. Tetapi kehangatan yang diberikan Langit terasa sangat familiar dan membuatnya nyaman serta aman, membuatnya tidak ingin lepas.
Mungkin Langit punya sihir hingga bisa membuat Lanitra merasa seperti ini. Tapi sihir apapun itu yang dimiliki Langit, Lanitra tidak merasa keberatan. Sebab bisa bersama Langit seperti ini membuatnya senang. Hatinya yang dulu sempat beku kini sudah mencair lagi.
"Bright sky," bisik Langit tiba-tiba, tepat di telinga Lanitra.
"Hmm?"
"Arti nama kamu," ujar Langit. "Lanitra means sky dari bahasa Malagasy, sementara Ellena means bright dari bahasa Yunani. So, bright sky, langit terang, is the meaning of your name. Aku tebak kamu pasti lahirnya pagi atau siang."
Lanitra berbalik menghadap Langit. "Kok kamu bisa tau sih?"
"Aku sengaja cari tau dan aku lumayan amazed karena ternyata arti nama kita sama. Kita berdua sama-sama langit, bedanya kamu langit terang, sedangkan aku langit fajar yang masih gelap."
"Dawana artinya fajar?"
"Iya. Dari kata bahasa Inggris dawn yang artinya fajar."
"Ah, I see." Lanitra mengangguk paham. Ia sedikit tersentuh karena Langit mencari tahu arti namanya, sementara Lanitra sendiri tidak kepikiran untuk mencari hal-hal sedetail itu. Lanitra pun hanya tahu arti nama depan Langit yang sama dengan arti namanya, itu pun karena namanya diambil dari bahasa Indonesia. "Aku lahirnya siang bolong, kata Mami pas banget waktu matahari lagi panas-panasnya. Kalau kamu berarti lahirnya pas subuh dong?"
"Mungkin," jawab Langit tidak yakin. "Nggak pernah nanya sama orangtua aku sih, tapi kayaknya iya."
"Kok bisa gitu ya? Lucu banget, tapi juga arti nama kita bisa dibilang melengkapi. Abis fajar, terus siang."
"Nggak cuma arti nama aja, Lani. Aku juga ngerasa kalau kehadiran kamu melengkapi aku. Karena itu aku suka sama kamu dan aku bahagia sama kamu."
Langit menarik Lanitra ke dalam pelukannya setelah mengatakan itu, membenamkan wajah Lanitra ke dadanya.
"Thank you, Lanitra."
Lanitra mendongak untuk kembali menatap Langit. "Buat apa?"
"For being the light to my dark."