"Aku hamil."
Air minum yang baru saja diteguk oleh Lanitra nyaris tersembur keluar lagi ketika ia mendengar penuturan yang baru saja diberikan oleh Sierra. Sebagai gantinya, Lanitra justru tersedak dan terbatuk-batuk dengan wajah memerah.
What did she just hear?
Berbanding terbalik dengan Lanitra yang bereaksi berlebihan, Sierra sang pemberi kabar justru nampak santai. Perempuan itu meminum kopinya perlahan, lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tas yang dibawanya. Sesuatu yang pada akhirnya diletakkan oleh Sierra ke atas meja kayu Cielo Cafe itu adalah sebuah...test pack. Dan yang lebih gilanya lagi, test pack itu memiliki dua garis merah. Artinya, siapapun yang telah menggunakan test pack itu positif hamil.
Kalau saja tidak ingat sedang berada di Cielo Cafe dan di sekitar mereka banyak orang, Lanitra pasti sudah berteriak histeris. Setelah batuknya reda, diambilnya test pack tersebut, kemudian ia memberikan Sierra tatapan horror. Sierra justru nyengir dan nampak senang dengan kabar yang diberikannya.
"Congratulations, you're going to be an aunt! Yeayyy!" Sierra pun mengatakan itu dan bertepuk tangan.
Lanitra meletakkan lagi test pack tersebut.
"Kok bisa sih?"
"Bisa hamil?"
Lanitra mengangguk.
"Karena aku sama Hansel made love nggak pakai kondom," jawab Sierra santai.
"Tapi kalian baru mau nikah dua minggu lagi!"
"Terus kenapa?"
"Ya...harusnya jangan hamil dulu."
"Sama aja. Kan cuma beda dua minggu lebih cepat hehehe."
Lanitra memutar bola mata. Kabar yang diberikan oleh Sierra ini, Lanitra bingung harus menanggapinya bagaimana. Hari ini mereka memang janjian bertemu di Cielo Cafe karena Sierra ingin memberikan hampers bridesmaid untuk Lanitra yang seharusnya didapat Lanitra minggu lalu pada acara bridal shower Sierra, namun karena Lanitra waktu itu sakit sehingga tidak datang, Sierra pun mengajak bertemu untuk memberikannya hari ini. Dan ternyata ada kejutan lain selain hampers bridesmaid tersebut, yaitu test pack bergaris merah dua.
Jujur saja, mengetahui kabar itu benar-benar membuat Lanitra terkejut dan sedikit menyayangkan. Ya memang sih Lanitra orangnya tidak terlalu lurus, walaupun dirinya belum pernah melakukan s*x, tapi dia juga sering make out dengan Langit dan pernah juga dengan mantannya. Lanitra pun tahu kalau Sierra lebih berpengalaman lagi dan selama ini Lanitra menanggapinya biasa saja karena menurutnya it's just the way they express their feelings to their lovers. Dosa atau tidak dosanya, itu urusan masing-masing.
Hanya saja, masih ada bagian dari pikiran Lanitra yang konservatif. Ia tidak setuju dengan hamil di luar ikatan pernikahan. Karena bagi Lanitra, anak itu seharusnya dikandung setelah orangtuanya sah di mata agama dan negara. Karena biasanya, anak yang dikandung di luar pernikahan akan diberi label yang buruk padahal mereka sama sekali tidak bersalah. Lanitra tentu tidak ingin anaknya atau anak siapapun itu diberi label seperti itu. Dan kalaupun nanti Lanitra akan melakukan hubungan badan sebelum menikah, ia akan sangat berhati-hati agar tidak terjadi kehamilan. Keep it safe before the marriage.
"Kok kayak nggak senang gitu sih?" Sierra yang menyadari respon tidak terlalu baik Lanitra pun jadi cemberut. "Ini bukan kebobolan kok, Lani. We planned for it and we are so so happy with the result."
Lanitra menghela napas. Ia memang memiliki prinsip seperti itu dan tentunya prinsip Sierra beda lagi. Lagipula ini hidup Sierra, jadi yang berhak menentukan pilihan terbaik hidupnya adalah Sierra sendiri. Lanitra bisa apa selain mendukung temannya itu?
"Sorry," ujar Lanitra. "Aku cuma kaget. Habisnya tiba-tiba ngasih tau kalau kamu hamil, dua minggu sebelum kamu nikah."
"Kalau aku hamilnya dua tahun sebelum nikah, kamu bakal pingsan."
"Emang."
Sierra tertawa.
"Keluarga kamu udah tau?"
Kepala Sierra menggeleng. "Selain aku dan Hansel, kamu jadi yang pertama tau," ujarnya. "Tapi nanti kita kasih tau kok, abis acara nikahan. Hehehe."
Lantitra mendengus. Somehow, dia sudah bisa menebak jawaban Sierra itu. Mau berkomentar pun Lanitra tidak bisa karena kembali lagi, semua itu pilihan Sierra. Lagipula, pernikahannya juga memang tinggal menghitung hari.
"Aku nggak bisa bilang apa-apa lagi selain congratulations. Semoga kamu sama dedek bayinya sehat-sehat terus."
Sierra memberikan sebuah cengiran lebar. She looks so happy. Lanitra pun jadi ikut senang dan baru bisa tersenyum.
"Kamu nanti jadi godmother-nya ya," ujar Sierra.
"Emangnya udah berapa minggu sih? Udah ngomongin godmother aja."
"Baru empat minggu, tapi nggak apa-apa dong nge-tag kamu duluan."
Belum sempat Lanitra merespon, tau-tau Langit datang menghampiri meja mereka dengan membawa dua gelas butterscotch gelato. Melihat gelato yang terhidang di atas meja, Sierra bertepuk tangan gembira.
"Thank you, Langit!"
Langit hanya tersenyum dan mengangguk, lalu ikut bergabung dengan mereka dan duduk di sebelah Lanitra.
"Ngobrolin apa sih? Kok kayaknya tadi Lanitra sampai kaget dan keselek gitu?"
"Mau tau?"
"Kalau aku nggak mau tau, nggak akan nanya lah, Sierra."
Sierra terkekeh sambil menyendok es krim ke dalam mulutnya. Kemudian ia mengerling pada Lanitra dan dengan santainya menjawab, "I just told your virgin girlfriend that I'm pregnant. And the-never-have-s*x Lanitra was shook. That's it."
"Sierra," tegur Lanitra sebal.
Sierra sama sekali tidak menghiraukan Lanitra. Ia justru mengambil sebuah undangan dari dalam tasnya dan menyodorkan benda itu pada Langit. "Nih, undangan buat kamu. Nikahan aku dua minggu lagi, di Bali. Itu udah sama akomodasi kok," ujar Sierra. Lalu ia mengedipkan sebelah mata. "Kamu sama Lanitra satu kamar, jadi mumpung di Bali suasananya romantis, tolong dimanfaatkan supaya status virgin Lanitra hilang."
Rasanya Lanitra ingin menjahit bibir Sierra. Hamil ataupun tidak hamil, bibir perempuan itu tetap saja tidak ada filter! Sierra Aneska Yuan gila!
***
Hubungan Lanitra dan Langit sudah terjalin selama hampir tiga bulan. Dan selama itu, Lanitra sudah beberapa kali datang ke rumah Langit. Entah itu hanya untuk mampir sebentar atau menginap, karena memang keduanya sering bergantian mendatangi kediaman masing-masing untuk menghabiskan waktu bersama.
Selama ini Lanitra tidak pernah merasa gugup datang ke rumah Langit. Bahkan di kunjungan pertamanya pun, ia tidak merasa gugup sama sekali. Lanitra justru sangat excited ingin tahu seperti apa kediaman Langit. Dan ternyata, rumah yang ditinggali seorang diri oleh laki-laki itu sesuai dengan bayangan Lanitra. Memiliki dua lantai, bergaya minimalis dengan banyak jendela tinggi yang hampir menyentuh langit-langit, dan tentunya terkesan mahal meskipun luasnya normal dan tidak terlalu besar.
Hanya saja, yang tidak normal adalah isi garasi mobil Langit. Selama ini yang Lanitra tahu mobil Langit hanyalah Pajero Sport warna putih, siapa sangka ternyata di dalam garasi itu tersimpan sebuah Lamborghini Aventador dan Porsche 911. Gila? Iya, gila. Dua mobil itu semakin membuat Lanitra yakin kalau keluarga Langit luar biasa, walaupun sampai sekarang laki-laki itu masih menutup rapat cerita tentang keluarganya.
Malam ini adalah pertama kalinya Lanitra merasa gugup ketika sampai di rumah Langit. Rasa gugupnya setara seperti hendak bertemu calon mertua, padahal di rumah Langit juga tidak ada siapa-siapa. Keluarga Langit jauh di benua lain, Langit hanya tinggal sendirian sehingga jika Lanitra datang yang ada di rumah itu hanya mereka berdua. Asisten rumah tangga pun kalau malam sudah tidak ada lagi karena memang sistemnya pulang pergi ketika siang hari.
Lanitra tahu apa penyebab dari rasa gugupnya. Apalagi kalau bukan omongan asal Sierra saat mereka di Cielo Cafe tadi. Sierra yang membahas tentang Lanitra yang belum pernah melakukan s*x di depan Langit, wajah laki-laki itu langsung bersemu, Lanitra pun juga begitu. Dan setelahnya, entah kenapa mereka jadi sedikit canggung walau kecanggungan itu sendiri tidak terlalu kentara. Kebetulan, hari ini memang keduanya sudah berjanji akan menghabiskan malam minggu berdua di rumah Langit. Rencana ini sudah ada sebelum Lanitra dan Sierra berjanji untuk bertemu. Dan...Lanitra akan menginap.
Begitu sampai di rumah Langit, Lanitra memutuskan untuk mandi duluan. Setelah dirinya mengenakan piyama di kamar mandi kamar Langit dan keluar dari sana, ganti Langit yang masuk ke dalam sana untuk mandi. Sementara Lanitra menunggu laki-laki itu selesai dan duduk manis di tepi tempat tidur.
Di balik dadanya, jantung Lantitra berdetak kencang. Padahal, sudah berkali-kali Lanitra mengunjungi kamar bernuansa cokelat dan hitam ini dan tidur disini juga, tapi tidak pernah dirinya merasa segugup pengantin baru seperti sekarang. Efek kata-kata Sierra memang cukup dahsyat. Sial.
Begitu mendengar suara pintu kamar mandi terbuka, Lanitra tersentak. Ia melirik ke arah pintu dan menyesali keputusannya karena melihat Langit yang keluar hanya memakai celana training hitam dan bertelanjang d**a, memperlihatkan potongan tubuhnya yang bisa dibilang kekar dengan otot-otot yang menonjol di beberapa bagian. Rambut Langit masih basah dan satu tangannya sibuk mengeringkan rambut dengan handuk sembari ia berjalan menuju lemari.
That guy is seriously breathtaking alias ganteng banget.
"Sayang, you're staring."
Lanitra buru-buru mengalihkan pandangan ketika Langit yang telah menarik sebuah kaos dari lemari, menyadari kalau sedari tadi Lanitra sibuk memerhatikannya dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Reaksi spontan Lanitra yang dengan jelas salah tingkah membuat Langit tertawa kecil. Laki-laki itu memakai kaosnya, lalu berjalan menghampiri Lanitra dan berdiri di hadapannya.
"Kenapa?"
"Apanya?"
"Kamu. Dari tadi ngelihatin aku gitu."
"Ganteng."
Langit tertawa. Karena gemas, ia pun menangkup wajah Lanitra dengan kedua telapak tangannya, membuat wajah kekasihnya mendongak agar mereka bertatapan.
"You're so cute," ujar Langit. "Cium boleh?"
Lanitra mengangguk.
Langit pun duduk di sebelahnya, lalu mencium Lanitra tepat di bibir. Di balik dadanya, jantung Lanitra berdetak cepat. Ia gugup, padahal ini bukan ciuman pertamanya dengan Langit dan mereka sudah sering berciuman, both the light kiss and the deep kiss.
Padahal niat mereka malam ini ingin nonton film, tapi belum juga menyalakan TV, niat itu sudah terlupakan seiring dengan ciuman keduanya yang semakin seiring dengan waktu yang berlalu. Hingga begitu saja, posisi mereka sudah berubah. Lanitra sudah berada di pangkuan Langit, memeluk leher laki-laki itu erat, sementara Langit sendiri memeluk pinggang ramping Lanitra.
Walau Lanitra masih bersikap seperti biasa terhadap ciuman mereka, tidak bisa dipungkiri kalau sedaritadi jantungnya kian berdegup kencang dan pikirannya kemana-mana. Terlebih lagi ketika mereka sudah menarik diri dengan napas terengah dan Langit justru beralih memberikan kecupan halus di leher jenjang Lanitra yang terekspos jelas, membuat Lanitra seketika merinding.
Kecupan halus yang diberikan oleh Langit bermula pada satu titik di ceruk leher Lanitra, lalu turun ke tulang selangka, d**a, hingga pada akhirnya dua kancing teratas piyama Lanitra terbuka dan bibir Langit berhenti pada cleavage-nya. Lanitra tidak bisa menahan desahnya ketika Langit memberikan sebuah kiss mark disana.
Ketika tangan Langit kembali bergerak untuk membuka satu lagi kancing pada piyamanya, Lanitra menghentikannya. Ia tidak bisa melanjutkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
"I'm not ready yet, Langit," ujar Lanitra setelah Langit menatapnya. "I'm sorry."
Lanitra pikir Langit akan kecewa atas penolakan tersebut, tetapi kekasihnya itu justru tersenyum lembut dan memberikan satu ciuman di keningnya. "It's okay." Langit mengecup bibir Lanitra sekilas. "Whenever you're ready, okay?"
Lanitra mengangguk. Ia benar-benar beruntung memiliki Langit sebagai kekasihnya.
***
"Langit, are you awake?"
Salah satu kebiasaan yang kerap terjadi saat Lanitra dan Langit tidur bersama adalah midnight talk. Dan biasanya midnight talk itu terjadi jika salah satu di antara mereka belum bisa tidur. Malam ini, Lanitra jadi yang tidak bisa tidur setelah mereka menghabiskan waktu untuk menonton film usai sesi make out yang hampir saja berakhir lebih dari sekedar make out.
"Yes." Langit menjawab Lanitra beberapa saat kemudian.
Dari suaranya Lanitra bisa menebak kalau Langit hampir tertidur. Ia memang tidak melihat wajah laki-laki itu karena membelakanginya, sementara Langit memeluknya.
"Aku mau nanya sesuatu boleh?"
"Boleh."
Lanitra diam sebentar, menimbang apakah dirinya benar-benar harus menanyakan hal yang membuatnya penasaran setelah kejadian beberapa jam yang lalu. Dan ia pun memutuskan untuk menanyakannya karena tidak ingin merasa penasaran lebih lama lagi.
"Have you ever done 'that'?"
Langit tentunya mengerti maksud dari pertanyaan Lanitra. Ia mengeratkan pelukannya dan terlebih dahulu mencium puncak kepala Lanitra, membiarkan wangi raspberry dari shampo yang dipakai perempuan itu memenuhi indra penciumannya, sebelum menjawab, "Aku dulu tinggal di Amerika, jadi kamu tau sendiri jawabannya."
Sesuai dugaan. Lanitra mengangguk paham. Tidak heran, pergaulan di Amerika jelas jauh lebih bebas dibandingkan Indonesia. Lanitra tidak akan heran kalau Langit bilang ia pertama kali melakukannya saat masih sekolah. Justru Lanitra akan merasa heran kalau Langit bilang belum pernah. Dari cara Langit menciumnya dan menyentuhnya saja sudah menandakan kalau Langit berpengalaman.
"Then, do you want to do it with me?"
"Of course, Lanitra. Aku laki-laki normal, jelas aku mau. Apalagi kamu orang yang aku sayang. Tapi aku nggak akan maksa kalau memang kamu belum siap atau nggak mau. Your consent matters most."
Lanitra jadi sedikit terharu. Pasti sulit bagi Langit untuk menahannya selama ini. Tapi Langit tidak memaksanya dan mau menunggu sampai Lanitra siap. Perhatian seperti itu sudah cukup untuk membuat Lanitra tersanjung. Ia pun membalikkan tubuh dan ganti memeluk Langit erat, menenggelamkan wajahnya pada d**a bidang laki-laki itu.
"I love you so much, you know?" Gumam Lanitra.
Langit tersenyum. "I love you too," ujarnya. "So much more. To the point that I can't imagine anymore how my life will be without you."
***
Pagi harinya, Lanitra bangun lebih dulu dari Langit. Ia pun berinisiatif untuk menyiapkan sarapan mereka berdua dan membiarkan Langit tidur sedikit lebih lama lagi. Tidak tega juga membangunkannya karena laki-laki itu masih tidur dengan nyenyak seperti bayi. Jadi Lanitra hanya mencium keningnya hati-hati sebelum mengendap-endap keluar dari kamar dan pergi menuju dapur.
Isi kulkas di rumah Langit selalu lebih lengkap daripada isi kulkas di rumah Lanitra. Jadi tidak sulit bagi Lanitra untuk mencari bahan apapun yang bisa digunakannya untuk memasak sesuatu yang dia bisa. Dan pagi ini Lanitra memutuskan untuk memasak macaroni schotel, menu masakan yang dikuasainya karena simpel dan mudah dibuat. Langit pun pernah mencoba macaroni schotel buatan Lanitra dan katanya enak, jadi Lanitra tidak ragu sama sekali untuk memasaknya pagi ini.
Tidak butuh lama bagi Lanitra untuk selesai membuat adonan macaroni schotel. Ia menaruh adonan itu ke dalam sebuah wadah pyrex, lalu memasukkannya ke dalam oven. Selagi menunggu macaroni schotel-nya matang, Lanitra duduk menunggu pada satu set kursi dan coffee table yang bersebelahan dengan jendela di dapur. Ia duduk disana sambil menikmati segelas s**u cokelat dingin.
Tanpa sengaja, mata Lanitra melihat beberapa buku yang ada pada celah meja yang memang fungsinya seperti sebuah rak. Lanitra menarik buku paling tebal yang ada disana.
"Wah, Inferno," gumam Lanitra excited begitu tahu kalau buku yang diambilnya adalah n****+ karya Dan Brown yang berjudul Inferno. Dan ternyata n****+ itu pun adalah versi bahasa Inggrisnya.
Ketika Lanitra membalik buku itu untuk membaca blurb yang ada dibagian belakang, sebuah nama yang diguratkan pada bagian samping buku justru menarik perhatiannya.
Ursula A.
Kening Lanitra spontan berkerut karena bingung, merasa asing dengan nama yang baru dibacanya. Lalu, ia membuka buku tersebut. Dan tanya di dalam kepalanya langsung bertambah begitu membaca sederet tulisan tangan pada lembar pertama.
Decided to read this book that I stole from you and I love it. Miss you, Ursula...
Itu tulisan tangan Langit.
"Kamu masak apa? Wangi banget." Lanitra menutup buku tersebut karena Langit yang sudah tiba-tiba hadir di dapur dengan rambut berantakan dan wajah yang masih terlihat sangat mengantuk.
Bukannya menjawab Langit, Lanitra justru balas mengajukan satu pertanyaan, "Ursula siapa?"