10. Drunk

1889 Words
Salah satu wishlist Sierra Aneska Yuan sebelum dirinya menikah adalah comeback dengan n****+ terbarunya. Karena setelah menikah, Sierra sudah berencana untuk vakum dari dunia kepenulisan selama beberapa waktu mengingat dirinya pasti akan sibuk dengan pekerjaan utamanya serta kehidupan rumah tangganya. Dan keinginan Sierra itu pun berhasil terwujud sebelum kurang lebih tiga bulan dari hari pernikahannya. Sekarang Sierra sedang mengadakan launching n****+ terbarunya dan Lanitra tentu saja menjadi salah satu tamu spesial dalam acara tersebut, duduk di barisan paling depan bersama dengan Alvaro dan Hansel yang merupakan tunangan Sierra. Omong-omong, Sierra dan Hansel sudah berbaikan dari keributan mereka yang berhasil membuat Sierra menangis beberapa hari lalu. They already sort things out dan saling memaafkan, lalu Sierra juga menambahkan kalau setelahnya mereka melakukan make up s*x yang membuat hubungan mereka menempel lagi. Melihat Sierra di depan yang sedang menjelaskan tentang n****+ terbarunya membuat suasana hati Lanitra sedikit membaik, setidaknya lebih baik dibandingkan saat dirinya sendirian di apartemen. Ketika melihat Hansel di sebelahnya yang sedaritadi sibuk mengabadikan momen Sierra lewat kameranya, hati Lanitra jadi menghangat. He looks so proud of her and it's such a good thing to see. "Hari ini aku senang banget karena bisa comeback dengan n****+ terbaru aku. Ini semacam rekor tersendiri loh bagi aku karena dalam setahun bisa comeback dua kali. Tapi di sisi lain aku juga sedih karena ini adalah n****+ terakhir aku sebelum aku vakum sampai batas waktu yang belum ditentukan." Penjelasan dari Sierra membuat seluruh pembacanya yang hadir di acara launching novelnya mengeluh kecewa. "Iya, iya, aku tahu kalian kecewa." Sierra tersenyum sedih. "Aku juga sejujurnya sedih. Tapi mau bagaimana lagi, selama beberapa waktu ini aku akan disibukkan sama hal-hal lain dan nggak akan ada waktu untuk nulis. Aku harap kalian semua bisa menerima keputusan aku ini dan akan terus nunggu sampai aku kembali lagi sama kisah yang baru nanti. Will you guys still be there untill we meet again?" Semua yang ada di ruangan mengiyakan, termasuk Lanitra. Hansel bahkan jadi yang paling keras menjawab. Sierra pun tersenyum lebar. "Thank you so much. Oh iya, aku juga punya kabar baik." Ia menunjukkan jari manis tangan kirinya yang dilingkari sebuah cincin berlian keluaran Frank & Co. "Aku mau nikah, guys! With the man whom I really love. Itu, laki-laki yang duduk di depan dan lagi sibuk fotoin aku pakai kameranya, aku mau nikah sama dia. Namanya Hansel, mungkin kalian semua udah tahu karena sering lihat di i********: aku. Mukanya emang agak galak, tapi dia baik kok. Dia takut sama hantu dan nggak suka nonton film horror, tapi dia selalu mau setiap aku ajakin nonton film horror untuk riset n****+ aku. He is the best, isn't he?" Hansel pun menjadi pusat perhatian selama sesaat, membuat laki-laki itu sedikit malu akibat perhatian karena Sierra membanggakannya. Meski merasa malu, raut bahagia tetap tercetak jelas di wajah Hansel, begitupun dengan Sierra. Walau jarak mereka sekarang sedikit jauh, tapi siapa saja yang melihat senyuman yang saling mereka lempar akan tahu kalau keduanya betul-betul saling mencintai. Ah, Lanitra jadi sedikit iri. Rasanya pasti menyenangkan mengenalkan orang yang dicintainya dan mengekspresikan perasaan dengan gamblang begini. Bukan untuk pamer kepada orang lain, tapi karena memang ingin mengekspresikan rasa bahagianya saja. Lanitra juga ingin begitu. Tapi, bagaimana ia bisa melakukannya jika orang yang dicintainya saja menghilang entah kemana? Mengingat Langit yang masing menghilang sukses membuat suasana hati Lanitra menurun. Dan suasana hatinya semakin menurun lagi ketika acara launching n****+ ini sudah masuk ke sesi book signing. Melihat di depan sana Sierra sibuk memberikan tanda tangan para penggemarnya yang datang dan berinteraksi dengan mereka, Lanitra tentunya langsung teringat dengan acara book signing-nya sendiri waktu itu, dimana Langit datang dan mengaku sebagai salah satu penggemar novelnya. Sebuah momen yang benar-benar tidak akan bisa Lanitra lupakan karena termasuk ke dalam salah satu momen paling berkesan dalam hidupnya. Namun, mengingat kembali momen itu sekarang justru membuat hati Lanitra galau dan menghilangkan semua semangatnya hari ini. Salahkan Langit yang masih menghilang. "Nanti kalau kamu mau nikah bakal vakum juga nggak?" Lanitra menolehkan kepalanya pada Alvaro ketika laki-laki itu mengutarakan pertanyaan tersebut. Butuh beberapa detik bagi Lanitra untuk mencerna pertanyaan itu, lalu ia menggelengkan kepala. "Nggak tau, Mas. Kepikiran nikah aja belum." "Kirain udah kepikiran karena calonnya udah ketemu. Yang di kafe kemaren kan?" Alvaro hanya bercanda, Lanitra tahu. Hanya saja, ia sedang tidak dalam suasana hati yang ingin menerima sebuah candaan sehingga tidak ada tawa sama sekali yang keluar dari bibirnya. Lanitra justru menjawab serius, "Hubungan kami aja belum sampai apa-apa, gimana mau jadi calon?" "But I think, he likes you too." "Mas Al sotoy." "Dih, Lani, aku ini cowok. Jadi aku bisa tahu lah." "Tapi kan belum tentu," gumam Lanitra. Mendengar gumaman tidak bersemangat Lanitra itu, Alvaro jadi menyadari bahwa suasana hati Lanitra telah berubah. Perempuan di sampingnya ini tidak lagi terlihat seceria sebelumnya, meskipun ia tetap berusaha untuk memasang wajah yang tampak baik-baik saja. Satu nama langsung saja muncul di pikiran Alvaro, karena memang nama itulah yang berpotensi untuk memengaruhi suasana hati Lanitra hingga sebegininya. Orang-orang bilang kan, jatuh cinta memiliki kuasa untuk membuat orang yang merasakannya jadi bahagia dan sedih, tergantung dengan seperti apa cinta itu akan berakhir. Dan sekarang, Lanitra sedang jatuh cinta. "Lani." "Hm?" Lanitra menyahut panggilan Alvaro tanpa menoleh pada laki-laki itu. "Are you okay?" Lanitra baru mendongakkan kepala untuk menatap Alvaro. Ia menyunggingkan senyum. "Of course. Kenapa harus enggak coba?" "Kamu nggak kayak biasanya." "Perasaan Mas aja kali." "Beneran?" "Iya." "Lanitra, Mas kan udah bilang berkali-kali, kalau ada apa-apa kamu bisa cerita-" "Aku nggak apa-apa, Mas. Jangan khawatir," ujar Lanitra memotong ucapan Alvaro. Ia kembali menghadap ke depan ketika mengulang dengan penuh penekanan, "Aku nggak apa-apa." Jika sudah menjawab begitu, artinya Lanitra tidak ingin membicarakan perihal pembahasan ini lagi. Namun, tetap saja Alvaro penasaran. Ia pun semakin yakin bahwa Lanitra sedang tidak baik-baik saja, berkebalikan dengan apa yang dikatakannya tadi. Alvaro menghela napas. Rasa curiganya terhadap laki-laki itu semakin bertambah. Ia tidak akan terima jika laki-laki itu menyakiti Lanitra. Sebab bagi Alvaro, kebahagiaan seorang Lanitra Ellena sangatlah penting dan ia tidak suka jika ada yang merusaknya, siapapun itu. Untuk saat ini mungkin Alvaro tidak tahu apa-apa, tapi jika nanti ia sampai tahu, ia tidak akan diam saja. "Nggak apa-apa kalau nggak mau bilang sekarang," ujar Alvaro sembari mengusap kepala Lanitra lembut. "But if one day you couldn't bear it anymore, just tell me. I'm all ears for you, Lanitra." Lanitra hanya mengangguk. Di dalam hati ia sangat berterima kasih kepada Alvaro. Laki-laki itu benar-benar selalu ada untuknya, benar-benar terbaik. Namun, ia tetap bisa menceritakan apa-apa terhadap Alvaro, sama seperti dirinya tidak mau bercerita pada Sierra. Itu semua karena Lanitra tidak ingin keduanya menilai Langit buruk. Walaupun Langit menghilang begitu saja tanpa kabar sama sekali setelah apa yang terjadi, ia masih ingin menunggu kemunculan laki-laki itu dan menuntut penjelasan sebelum menilai apakah Langit benar-benar seseorang yang buruk untuknya atau tidak. Dan Lanitra berharap, Langit bukanlah seseorang yang buruk. Karena ia tidak siap jika harus patah hati disaat dirinya baru saja ingin jatuh cinta lagi. *** Lanitra merasa sebagai orang yang sangat buruk karena telah berbohong kepada Sierra dan teman-temannya yang lain malam ini, karena memilih pulang duluan di tengah acara makan malam untuk merayakan launching novelnya Sierra. Ia beralasan sedang tidak enak perut dan ingin istirahat di rumah. Sierra dan yang lainnya jelas khawatir, bahkan Alvaro berinisiatif untuk mengantarkan Lanitra, yang tentu saja ditolak secara halus karena Lanitra sedang tidak ingin ditemani siapa-siapa. Karena Lanitra bersikeras, mereka pun membiarkan Lanitra pulang dengan menyetir sendiri. Padahal, Lanitra sedang tidak sakit perut. Tubuhnya sehat, tanpa rasa sakit sama sekali. Lanitra hanya sedih dan lelah berada di antara orang-orang yang sedang berbahagia, disaat hatinya sedang tidak benar-benar merasakan bahagia. Oke, memang Lanitra berbahagia untuk Sierra atas pencapaiannya. Dengan tulus Lanitra berbahagia untuk temannya itu, namun suasana hatinya sedang tidak bisa melakukan sebuah perayaan atas kebahagiaan itu. Di antara semua orang yang sedang berkumpul dan mengobrol dengan senang, Lanitra harus berpura-pura ikut senang bersama mereka agar tidak merusak mood yang ada. Dan berpura-pura seperti itu sungguh melelahkan sehingga Lanitra pun memilih untuk pulang. Sesampainya di apartemen, Lanitra tidak langsung masuk ke kamar dan beristirahat. Ia justru pergi ke dapur, mengambil gelas dan sebotol champagne dari lemari yang sebenarnya milik Sierra. Lalu ia duduk di ruang tamu apartemennya, menuang champagne tersebut ke dalam gelasnya, dan mulai minum. Padahal Lanitra bukanlah seorang pecinta minuman alkohol. Kemampuan minumnya pun bahkan bisa dibilang payah, karena ia bisa sangat mabuk hanya karena minum sedikit dan mengalami hangover parah keesokan harinya. Tetapi, khusus malam ini, Lanitra ingin mabuk. Agar dirinya bisa tidur tanpa beban pikiran dan hati yang berat. Untuk malam ini saja, Lanitra ingin melampiaskan kegalauannya lewat alkohol. Persetan dengan hangover besok. *** Suara bel unit apartemennya yang ditekan berkali-kali membuat Lanitra yang sudah terkapar di atas sofa jadi sadar kembali. Ia mengerang karena suara bel tersebut tidak berhenti sejak beberapa menit yang lalu, sementara kepalanya sudah berdenyut-denyut sakit akibat menenggak tiga gelas champagne tadi. Lanitra ingin mengabaikan suara bel itu, siapapun yang datang lebih baik pergi saja dan datang di lain waktu. Tetapi jika membiarkannya, suara bel itu justru membuat kepalanya semakin pusing. Dengan sisa kesadarannya yang ada, Lanitra pun bangkit dari posisi berbaringnya. Dunia seolah sedang berputar ketika ia sudah berdiri dan berjalan dengan langkah limbung menuju pintu. Beberapa kali Lanitra nyaris terjatuh sebelum dirinya mampu menumpukan pintu tersebut. Bel kembali berbunyi, Lanitra ingin marah rasanya, tetapi ia tidak punya energi untuk itu. Dunianya terlalu berputar dan membuatnya pusing, bahkan ia berhalusinasi melihat Langit Dawana berdiri di hadapannya ketika ia telah berhasil membuka pintu. Lanitra yang masih menumpukan tubuhnya pada pintu pun berdecak dan menampar pipinya sendiri, berharap sosok Langit dalam halusinasinya menghilang jika dia melakukan itu. "Lani..." Tetapi bukannya sadar, Lanitra justru semakin berhalusinasi dengan mendengar suara Langit. Memangnya dia sudah segila itu ya sampai-sampai bisa mendengar suara yang benar-benar mirip dengan suara laki-laki itu? "Dasar otak bodoh." Lanitra mengutuki dirinya sendiri sambil mengetuk-ngetuk pelan kepalanya dengan tangan terkepal. "Mana mungkin ada Langit disini, kan dia hilang." "Lani, ini beneran aku." "Bohong." "Lani..." "Shut up!" Tanpa sadar Lanitra membentak, pada sosok Langit dalam bayangannya dan suara laki-laki itu yang menggema di kepala. "Aku nggak mau gila, nggak mau halusinasi, nggak mau lihat Langit kalau nggak nyata. Nggak mau...capek..." Lanitra rasanya mau menangis karena halusinasinya terasa semakin nyata ketika Langit membawanya ke dalam pelukan, membuat wajah Lanitra terbenam dalam d**a laki-laki itu dan ia bisa menghirup wangi cedar dan rosewood. Ia pun bisa merasakan deru napas Langit yang menggelitik tengkuknya serta kata-kata yang dibisikkan laki-laki itu di telinganya. "I'm sorry...I'm sorry...I'm sorry..." Langit meminta maaf berkali-kali. "I'm so sorry, Lanitra." Lanitra masih tidak bisa memercayai telinganya sendiri. "Emangnya mabuk bisa bikin orang sehalusinasi ini ya? Nanti aku mau tanya Sierra," ceracau Lanitra. "Aku memang mau ketemu Langit, tapi percuma kalau Langit cuma ada di halusinasi aku, karena dia bisa pergi lagi..." Pelukannya dilepas, Lanitra nyaris merasa kehilangan lagi dan menyayangkan kalau yang terjadi beberapa detik sebelumnya benar-benar hanya halusinasi. Namun, wajahnya justru ditangkup oleh sepasang tangan yang terasa hangat di kulitnya yang dingin. Sedetik kemudian, Lanitra sudah memandang wajah Langit yang selalu bisa membuatnya terpesona. "Ini betulan, Langit. Kamu nggak halusinasi." Langit berkata. Ia mengusap lembut kedua pipi Lanitra hingga berhasil membuat perempuan itu merinding. "See? I can touch you." Lalu ia meraih tangan Lanitra dan menggenggamnya. "And you can touch me too. Aku nyata, Lani. Kamu nggak cuma halusinasi." Lanitra menduduk melihat kedua tangan mereka yang kini bertautan. Rasanya hangat. Lalu, ia kembali mendongak menatap Langit. "Beneran nyata?" Langit mengangguk. "Kamu lagi mabuk, makanya kamu-" Kata-kata Langit tidak terselesaikan karena Lanitra sudah terlebih dahulu berjinjit dan menempelkan bibirnya pada bibir laki-laki itu. "Aku butuh bukti lain," jelas Lanitra setelah menarik diri. "Dan ternyata rasanya sama. Sweet and warm. Kamu betulan Langit Dawana ternyata, aku nggak halusinasi." Sesaat setelah mengatakan itu, Lanitra merasa kalau tubuhnya berubah jadi ringan, seringan sehelai bulu yang terbang dan akan jatuh ke atas tanah. Lalu, perlahan dunianya menggelap, dan Lanita tidak bisa melihat apa-apa lagi. Yang terakhir kali didengarnya sebelum sepenuhnya menutup mata adalah suara Langit Dawana yang memanggil namanya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD