"Ursula siapa?"
Langit tidak bisa menutupi keterkejutannya ketika Lanitra tiba-tiba mengajukan pertanyaan itu. Wajahnya yang semula masih dijejaki kantuk, seketika berubah segar. Ia menatap Lanitra, kemudian beralih pada buku yang ada di tangan perempuan itu. Melihat buku tersebut, Langit pun jadi mengerti darimana pertanyaan itu bisa tercetus. Ia menghela napas, kemudian berjalan mendekati Lanitra dan menarik kursi kosong yang ada di depan Lanitra dan duduk disana.
"That's my little sister," jawab Langit kemudian.
"Oh..." Lanitra tidak bisa berkata apa-apa, malu sendiri karena tadi berpikiran kalau Ursula yang namanya tertulis dalam n****+ itu adalah mantan kekasih Langit ataupun siapapun itu yang pernah mengisi hatinya. Karena dari cara menulis kata-kata pada n****+ itu menandakan bahwa si pemilik n****+ bukanlah seseorang yang biasa-biasa aja dalam hidupnya.
Langit sendiri pernah bercerita jika ia memiliki satu saudara perempuan. Ya, walaupun ceritanya hanya sekali lewat dan Langit tidak pernah menyebutkan nama mereka apalagi memberitahu siapa namanya. Sudah Lanitra bilang, laki-laki itu seolah masih menutup rapat semua informasi tentang keluarganya selama ini.
Berbanding terbalik dengan Lanitra yang justru sering bercerita tentang keluarganya, terlebih lagi ketika ia pulang ke Lampung beberapa waktu lalu, ibunya benar-benar excited dan menyuruh Lanita untuk membawa Langit jika pulang lagi nanti. Di saat Langit sudah mendapat lampu hijau dari ibunya, Lanitra justru tidak tahu apapun tentang keluarga Langit.
"Sebelum berangkat ke Indonesia, I stole that book from her room. That's her favorite," jelas Langit. "Ingat aku pernah bilang ke kamu tentang n****+ pertama yang aku baca dan pada akhirnya bikin aku jadi suka baca n****+? Itu novelnya."
"Dan kamu baca ini karena kangen sama adik kamu?"
Langit mengangguk. "That's the only thing I can do," gumamnya.
Lanitra tidak mengerti kenapa Langit bicara begitu. Kenapa bisa? Itu kan adiknya sendiri. Namun, suara denting oven yang menandakan masakannya sudah jadi menahan Lanitra untuk mengutarakan isi kepalanya itu. Ia pun berdiri untuk mengeluarkan wadah pyrex macaroni schotel yang tadi dimasaknya, lalu menyiapkannya ke dalam dua piring untuk disantapnya dan Langit sebagai sarapan mereka.
Setelah menghidangkan macaroni schotel itu untuk Langit dan mereka duduk berhadapan lagi, selama beberapa saat tidak ada yang bersuara di antara mereka. Keduanya hanya diam sambil sarapan sehingga yang terdengar hanya denting sendok yang beradu dengan piring. Lanitra pun sadar bahwa bicara tentang keluarga Langit membuat suasana berubah. Jika Langit tidak suka bicara tentang keluarganya, maka sudah bisa dipastikan ada sesuatu yang tidak beres tentang keluarganya itu. Dan Lanitra tidak mau membuat praduga sendiri tentang apapun itu masalah yang belum diceritakan Langit. Walaupun harapan Lanitra, Langit bisa lebih terbuka lagi kepadanya nanti.
"Mau nambah?" Lanitra bertanya ketika Langit selesai memasukkan suapan terakhir macaroni schotel di piringnya.
Langit menggelengkan kepala.
"Mau minum kopi?"
Lagi-lagi Langit menggelengkan kepalanya.
"Oke deh." Lanitra mengangguk, paham kalau sepertinya suasana hati Langit telah berubah. Ia jadi menyesal telah menanyakan tentang Ursula.
Lanitra pun lanjut makan, sedangkan Langit hanya diam. Lanitra membiarkannya saja, tidak ingin bertanya apa-apa meski ia penasaran. Dirinya tidak ingin membuat Langit merasa terganggu. Hanya saja, ketika makanan Lanitra hampir habis, Langit membuka suara dan apa yang dikatakan oleh Langit membuat gerakan tangannya yang ingin menyuapkan sendok ke dalam mulut pun terhenti.
"Keluarga aku complicated banget."
Lanitra menaruh kembali sendoknya dan memilih untuk memberikan perhatiannya pada Langit. Laki-laki itu sepertinya hendak bercerita.
Ada kesenduan yang Lanitra rasakan ketika Langit menatapnya. Laki-laki itu pun menghela napas dalam dan lanjut berkata, "Keluarga aku nggak kayak keluarga kamu, Lanitra. Disaat keluarga kamu penuh kehangatan, keluargaku justru sebaliknya. Beda banget."
"Kenapa?"
"That's just the way it is."
Lanitra tidak tahu harus bilang apa.
"Iya, aku kangen adik aku. Tapi aku nggak bisa apa-apa, bahkan ngehubungin dia pun nggak bisa. Kamu pasti penasaran kenapa kan?"
Lanitra mengangguk. Ia memang penasaran.
"Karena aku kabur dari rumah, Lanitra."
Jawaban Langit benar-benar mengejutkan. Lanitra pun bertanya untuk meyakinkan, "Ka-kabur?"
"Iya. Ada suatu masalah besar di antara keluargaku, dan karena itu aku memutuskan untuk pergi dari rumah. Leaving my family and decided to live here," jelas Langit dengan nada berat. Baru kali ini Lanitra mendapati Langit terlihat frustasi seperti ini. "Mungkin mereka tau kalau aku kabur kesini, karena nggak ada yang keluargaku nggak bisa tau. Tapi sejauh ini mereka nggak mencoba untuk menyuruh aku pulang dan itu hal yang bagus. Tapi kalaupun nanti salah satu keluargaku datang dan maksa aku pulang pun, aku nggak akan mau."
Masalah sebesar apa yang sebenarnya terjadi antara Langit dan keluarganya? Itu yang menjadi pertanyaan besar di kepala Lanitra. Tapi entah kenapa ia justru tidak mau menanyakan itu. Antara menghormati privasi Langit dan ingin laki-laki itu cerita dengan sendirinya, atau mungkin...takut dengan jawaban seperti apa yang akan diberikan.
"Lanitra." Langit meraih tangan Lanitra yang ada di atas meja dan menggenggamnya. "Maaf, selama ini aku nggak pernah cerita. I just don't like talking about my f****d-up family. Sekarang pun aku nggak bisa cerita semuanya, aku-"
Lanitra memotong ucapan Langit dengan bangkit dari duduknya, membuat genggaman Langit pada tangannya terlepas. Langit pikir, Lanitra akan pergi. Namun, yang dilakukan Lanitra justru menghampirinya dan membawanya ke dalam pelukan.
"It's okay, Langit," ujar Lanitra. Diusapnya puncak kepala Langit lembut. "Aku ngerti. Kamu bisa cerita kalau kamu udah beneran siap."
Langit balas memeluk Lanitra. Erat.
Ketika Langit bilang bahwa dirinya merasa paling bahagia ketika sedang bersama Lanitra, ia tidak berbohong. Karena bersama Lanitra, sedihnya bisa terlupakan meskipun hanya sesaat.
***
"Tempat tinggal kamu di California itu di Beverly Park??! Beverly Hills??!"
Anggukan Langit sebagai jawaban atas pertanyaan Lanitra membuat perempuan itu nyaris berteriak histeris. Otaknya benar-benar sulit menerima kenyataan tersebut ketika Langit bercerita bahwa rumahnya di California terletak di lokasi yang terkenal dengan tempat tinggal rumah-rumah para artis Hollywood. Dan rumah-rumah disana tentu saja harganya mencapai puluhan juta bahkan ratusan juta dollar.
Astaga. Sekaya apa sebenarnya keluarga Langit?
"Keluarga kamu tuh miliarder ya?" Lanitra berdecak takjub. Ia pun mengambil ponselnya, berniat untuk mencari di mesin pencarian Google tentang keluarga-keluarga terkaya di Indonesia.
Namun, Langit menghentikan tindakannya itu. "Keluargaku nggak ada di daftar keluarga terkaya di Indonesia."
"Kalau di Amerika?"
"Nggak termasuk. Di Amerika orangnya lebih kaya-kaya lagi."
"Nama belakang kamu apa?"
"I don't use that anymore."
Lanitra ingin meminta Langit lagi untuk memberitahukan jawaban itu, tapi melihat bagaimana Langit menjawabnya dengan ekspresi wajah datar, Lanitra pun mengurungkan niat tersebut. Dia bilang kan akan menunggu kapanpun Langit siap untuk bercerita tenang keluarga, dan sekarang Langit belum siap untuk menjawab yang satu itu.
Setelah sarapan mereka tadi, mereka berdua jadi membahas tentang keluarga Langit. Lanitra yang bertanya, sementara Langit menjawab. Ada beberapa pertanyaan yang Langit jawab dengan mudah seperti tempat tinggalnya yang mana jawabannya membuat Lanitra tercengang bukan main, dan ada pula pertanyaan yang tidak ingin Langit jawab. Pertanyaan-pertanyaan itu disadari Lanitra adalah pertanyaan yang berhubungan dengan identitas keluarganya.
Sumpah, Lanitra benar-benar penasaran. Ia yakin sekali kalau keluarga Langit benar-benar luar biasa, bahkan lebih luar biasa dari keluarga Sierra yang selama ini sudah sangat Lanitra anggap wow. Gila ya, jadi sekarang Lanitra sedang berpacaran dengan seorang anak miliarder?
"Kamu mau lihat Ursula?" Tanya Langit, mengalihkan pembicaraan mereka sebelumnya.
"Mau!" Lanitra tentu saja menjawab dengan antusias. Ia benar-benar penasaran dengan anggota keluarga Langit. Sudah dibilang kan, laki-laki itu benar-benar tertutup tentang keluarganya, berbeda dengan Lanitra yang justru sering bercerita tentang keluarga, entah itu tentang orangtuanya atau saudara-saudaranya.
Mereka sekarang memang sudah berada di kamar Langit lagi. Jadi Langit beranjak dari duduknya di tempat tidur dan berjalan menuju meja kerjanya yang ada di sudut kamar. Langit membuka salah satu laci meja tersebut dan menarik dua lembar foto dari sana sebelum kembali menghampiri Lanitra.
Dengan cepat Lanitra mengambil foto polaroid tersebut saat Langit menyodorkannya. Selama beberapa saat, ia fokus menatap dua foto itu bergantian. Yang satu adalah foto Langit yang sedang merangkul seorang perempuan berambut cokelat, yang satunya lagi adalah foto perempuan itu sendiri. Kedua foto itu memiliki latar belakang yang sama, sebuah rumah mewah bergaya Italian. Meski bentuk rumah itu tidak terlihat jelas di dalam foto, namun Lanitra yakin bahwa itu adalah tempat tinggal Langit di Beverly Park, Beverly Hills, California.
Lanitra mengamati foto Ursula. Di dalam foto, Ursula memakai sebuah floral dress berwarna kuning, membuat rambutnya yang berwarna merah terlihat sangat kontras dengan dress yang dipakainya. Tinggi Ursula hanya mencapai d**a Langit, sedikit lebih pendek dari Lanitra yang tingginya pas menyentuh dagu Langit. Dan perempuan itu cantik. Bahkan kecantikannya sudah sangat terpancar meski di dalam foto itu ia tidak tersenyum sama sekali. Lanitra pun bisa melihat sedikit kemiripan antara wajahnya dan wajah Langit. Tatapan mereka sama.
"She is so beautiful," ujar Lanitra jujur. "Dia punya i********: nggak?"
Langit tertawa, kemudian menggeleng. "Nggak ada satu pun di antara keluarga kami yang punya akun media sosial."
Lanitra cemberut mendengar jawaban itu. Sama sebalnya ketika ia tahu kalau Langit tidak punya akun i********:. Walaupun sebenarnya ada keuntungan tersendiri karena Langit tidak memiliki akun media sosial. Keuntungannya adalah, tidak ada satu pun yang bisa mengorek informasi tentang Langit semenjak Lanitra mempublikasi hubungan mereka.
"Payah banget."
"Itu aturan di keluarga kami, Lanitra."
"Kayak keluarga kerajaan gitu ya?" Lanitra menggelengkan kepala takjub. "Eh, atau jangan-jangan emang kamu keluarga kerajaan?!"
Langit kembali tertawa karena apa yang dicetuskan oleh Lanitra. "Bukan kok."
"Bagus deh. Kalau ternyata kamu anggota keluarga kerajaan, aku bisa jantungan."
"Mana mungkin juga aku anggota keluarga kerajaan. Emang kerajaan apa coba?"
"Ya siapa tau? Kamu aja kalau mudik ke Beverly Park."
Langit hanya tersenyum.
"Kapan terakhir kali kamu komunikasi sama Ursula?"
"Seminggu sebelum aku berangkat ke Indonesia."
Lanitra tertegun. Itu sudah lama sekali. Karena tidak ingin mood berubah akibat pertanyaan tersebut, Lanitra pun mengalihkan pembicaraan. "Hubungan pacar-pacar kamu dulu sama Ursula gimana?"
"Ursula orangnya galak."
"Jadi mereka semua digalakin?"
"Iya."
"Terus gimana kalau nanti aku ketemu Ursula? Entar dia galakin aku juga."
"I don't think so." Langit menggeleng. "I think she will like you."
"Kenapa?"
"Karena kamu Lanitra Ellena."
Lanitra menepuk bahu Langit dan mendengus, membuat Langit hanya bisa terkekeh.
Sekali lagi Lanitra memandangi foto di genggaman tangannya dan ia menghela napas. "Aku masih penasaran banget sama keluarga kamu, tapi kayak yang aku bilang tadi, aku nggak akan maksa kamu cerita dan nunggu kamu siap sendiri untuk cerita semuanya."
Langit pun menarik Lanitra ke dalam pelukannya dan membenamkan wajahnya pada helaian rambut Lanitra yang beraroma raspberry. "Thank you," gumam Langit.
"Anytime, Langit, anytime." Lanitra balas memeluknya. "Nanti kapan-kapan kita ketemu Ursula ya."
Tanpa sepengetahuan Lanitra, diam-diam Langit menghela napas berat. Ia tidak mengaminkan ucapan Lanitra tadi, karena dirinya tahu, jika sampai pertemuan itu terjadi, maka dirinya tidak akan bisa lagi bersama Lanitra untuk waktu yang lama.