15. The Headache

2208 Words
Semua rangkaian acara pernikahan Sierra dan Hansel akan diadakan di Bali, tepatnya di daerah Uluwatu. Lokasi Bali sendiri dipilih karena memang sejak dulu, Sierra ingin pernikahannya dilangsungkan di tepi pantai. Hansel setuju-setuju saja dengan keinginan Sierra. Selma perempuan itu bahagia, apapun akan diturutinya. Maka jadilah mereka akan menyelenggarakan pesta pernikahan di Bali, meski kebanyakan dari teman-teman yang mereka undang tinggal di Jakarta sehingga merek pun harus menyiapkan akomodasi untuk para undangan. But it's okay tho, Sierra dan Hansel kan kaya raya, jadi itu bukan masalah bagi mereka.    Seminggu sebelum acara, Sierra dan Hansel beserta keluarga mereka sudah harus terbang ke Bali untuk mempersiapkan beberapa hal. Dan Sierra meminta Lanitra berangkat ke Bali bersamaan dengannya karena perempuan itu ingin ditemani Lanitra yang merupakan sahabat dekatnya sendiri. Tentu saja Lanitra tidak menolak. Adalah suatu kebahagiaan sendiri baginya jika bisa menemani Sierra di saat-saat penting dalam hidupnya seperti ini.    Maka jadilah besok Lanitra akan berangkat bersama Sierra dan keluarganya ke Bali. Sementara nanti Langit akan menyusul datang sehari sebelum hari acara, seperti para tamu yang lainnya, termasuk Alvaro dan rekan kerja mereka lainnya yang berasal dari kantor penerbit.   Berhubung besok pagi sudah harus berangkat, sore ini Lanitra menemani Langit untuk mencari outfit yang akan dipakai Langit datang ke acara pernikahan Sierra nanti. Karena Langit merasa tidak punya sesuatu yang cocok untuk dipakai kesana di dalam lemarinya. Dress code untuk acara itu sendiri adalah semi formal dengan warna putih dan pink sand.   Jadilah sekarang Lanitra dan Langit sedang berada di mall yang terletak tidak jauh dari apartemen Lanitra. Keduanya berkeliling antara satu store ke store lainnya untuk mencari outfit yang sesuai bagi Langit nanti. Yah, tepatnya sih, Lanitra yang berkeliling kesana kemari, sedangkan Langit hanya membuntutinya dari belakang. Hingga pada akhirnya, setelah hampir dua jam berkeliling, mereka pun berhasil mendapat setelan yang pas dari store Ralph Lauren.    Lanitra merasa puas dengan attire yang sudah mereka beli. Langit pun bisa bernapas lega karena akhirnya mereka tidak perlu berkeliling lagi. Jujur saja, kaki Langit sudah mulai pegal-pegal. Dan sebenarnya, Langit tidak begitu suka berbelanja. Makanya kegiatan belanja kadang terasa begitu berat baginya.   Usai kegiatan belanja itu, mereka pun memutuskan untuk beristirahat sekaligus makan di restoran ramen favorit keduanya.   Lanitra tidak bisa menahan senyum geli begitu melihat Langit yang benar-benar cepat menghabiskan makanannya. Punya Lanitra bahkan belum termakan setengahnya, namun Langit sudah selesai bahkan semua kuah dalam mangkuk ramennya pun kering.   "Laper banget, Pak Bos?"   Langit meringis. Ia menepuk-nepuk perutnya, seolah-olah karena apa yang baru saja dimakannya perut itu jadi membuncit. Padahal tidak sama sekali. Perut itu tetap rata dan dihiasi bentuk kotak-kotak samar. "Sekarang udah kenyang."   "Yakin? Nggak mau nambah lagi?"   "Kalau aku nambah makan entar aku jadi gendut, kamu nggak mau lagi sama aku."   Lanitra tertawa kecil. "Mau kamu gendut gimana juga aku bakal tetap sayang sama kamu. Yang penting kan jiwanya tetap Langit Dawana."   Langit balas tertawa kecil. Sesaat ia membiarkan Lanitra melanjutkan makannya sebelum ia kembali mengajukan pertanyaan, "Kamu beneran besok nggak mau aku anterin ke bandara?"   "Ngerepotin kamu nanti, soalnya flight aku pagi banget," jawab Lanitra diiringi gelengan kepala. "Kalau kamu mau anter, nanti kamu harus bangun super pagi lagi dong, belum mau jalan ke apartemen aku."   "Yaudah aku tinggal nginep di apartemen kamu aja."   Jawaban cepat dari Langit kembali menghadirkan tawa kecil Lanitra. Ia menunjuk Langit dengan sumpit di tangannya dan menggoda. "Kamu takut kangen sama aku ya?"   "Iya."   "Padahal cuma berapa hari. Tapi nggak apa-apa deh, aku suka dikangenin."   "Jadi, boleh kan aku malam ini nginep tempat kamu?"   "Mana mungkin aku bisa nolak?"   Langit tersenyum. Senang dengan jawaban tersebut.   ***   Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam ketika keduanya sampai di apartemen Lanitra. Setelah mandi dan berganti pakaian, Lanitra langsung melakukan packing untuk barang-barang yang akan dibawanya besok. Berhubung Langit tidak bisa membantu apa-apa karena Lanitra ingin melakukan packing sendiri, jadilah laki-laki itu hanya bisa menonton Lanitra sambil setengah rebahan di tempat tidur kamar kekasihnya itu.    Lanitra baru selesai dengan kegiatan packing-nya sesaat sebelum pukul sepuluh. Setelah menaruh kopernya di samping pintu kamar, ia pun bergabung dengan Langit untuk merebahkan diri di tempat tidur. Lelah juga ternyata melakukan packing untuk dirinya menetap di Bali selama sepuluh hari.    "I'm gonna miss you." Langit langsung memeluk Lanitra erat, membuat perempuan itu tidak bisa untuk menahan tawanya sendiri. Her boyfriend is so cute.   "I'm gonna miss you too." Lanitra balas memeluk Langit sama eratnya. "Untung aja pisahnya cuma sebentar, nggak lebih dari seminggu."   "Tetap aja, bakal kangen."   "Clingy deh, Langit. Makin hari makin kelihatan ya aslinya?"   "Iyaa, emang clingy banget. Nggak mau lepas rasanya." Langit semakin mengeratkan pelukannya.    Lanitra pun tertawa lepas karena sikap Langit begitu yang menurutnya sangat menggemaskan.   "Oh ya, aku punya sesuatu buat kamu biar bisa jadi obat kalau kamu kangen."   "Apa?"   Langit melepaskan pelukan mereka lalu mengubah posisinya dari setengah rebahan menjadi duduk tegak. Lanitra pun mengikuti Langit. Menunggu dengan penasaran ketika tangan laki-laki itu mengambil sesuatu dari balik bantal yang disandarinya. Dan ternyata, yang diambil oleh Langit adalah sebuah kotak beludru merah dengan tulisan Frank & Co di atasnya. Langit menyodorkan kotak tersebut pada Lanitra.   "Ini apa?" Tanya Lanitra setelah menerima kotak itu di tangannya.    "Buka aja."   Sesuai perintah Langit, Lanitra membuka kotak itu. Matanya pun spontan berbinar begitu melihat sebuah kalung dengan pendant berbentuk huruf 'L' dan berhiaskan tiga berlian kecil di bagian tengah hurufnya.    "Langit..." Lanitra menatap Langit dengan mata berbinar.   "Suka?"   Kepala Lanitra terangguk. "Kamu ngasih ini dalam rangka apa coba?"   "Kan tadi udah aku bilang, dalam rangka biar bisa jadi obat kangen buat kamu nanti."   "Cheesy banget."   "But you love it."   "I do." Lanitra membenarkan perkataan Langit karena memang benar dirinya senang. Bukan hanya karena kalung tersebut bagus, tapi karena kejutan yang diberikan oleh Langit itu. Yang meskipun terkesan cheesy, tapi sangat berkesan untuknya. "Thank you so much, Langit."   "You're welcome, Lanitra."   "Bantuin aku pake kalungnya dong."    Langit menurut, ia mengambil kalung tersebut dari dalam kotaknya, sementara Lanitra sudah memutar tubuh dan membelakangi Langit. Tidak butuh waktu lama bagi Langit untuk memasangkan kalung tersebut. Dan setelahnya, Langit merapikan rambut Lanitra.    Lanitra memegang pendant di kalung yang kini sudah melingkari lehernya. Pendant tersebut pun berada tepat di atas dadanya. Sangat cantik.   "Sekali kagi, makasih ya, Langit. Aku suka banget."   "Sama-sama." Langit mengangguk. "Huruf L itu bukan cuma mewakili inisial nama kamu aja, tapi juga mewakili inisial nama aku. Jadi kapan pun kamu kangen aku, just touch the pendant and remember that I will always be there in your heart."   "Okay. Aku ngerti dan aku akan ingat."   "Good. Can I get a kiss now?"   Lanitra tersenyum geli, tapi setelahnya ia melingkarkan kedua tangannya pada leher Langit dan mencium laki-laki itu. Dan seperti biasa, ciuman yang berawal manis dan ringan itu nantinya akan selalu berakhir dengan panas dan dalam.    Hanya saja, ada yang berbeda malam itu. Ketika Langit sedang menciumi leher Lanitra, tiba-tiba saja ia mengerang kesakitan dan tangannya mencengkeram lengan Lanitra erat. Sesaat setelahnya, Langit menarik diri dan beralih memegangi kepalanya yang tiba-tiba diserang pusing.   "Langit? Are you okay?" Lanitra bertanya khawatir.    Langit tidak menjawab.    "Kamu kenapa?"   Masih tidak ada jawaban yang diberikan Langit. Yang dilakukannya hanya memegangi kepala menahan sakit sementara satu tangannya berganti menggenggam erat ujung seprei tempat tidur.    "Langit, jangan bikin aku khawatir." Lanitra sudah merangkul Langit dan mengusap-usap bahunya yang berubah tegang. "Langit...kamu kenapa? Aku harus gimana?"   Perlahan, tubuh Langit tidak lagi menegang. Rasa sakit yang semula dirasakannya pun perlahan menghilang. Namun, wajah laki-laki itu berubah pucat, napasnya terengah, dan keringat membasahi keningnya meskipun air conditioner di kamar Lanitra menyala dengan suhu rendah.    Keadaan Langit yang berubah seperti ini benar-benar membuat Lanitra khawatir. Apa yang terjadi? Lanitra bingung dan...takut.   "Kamu kenapa?"   "Pusing."    "Kita ke dokter ya?"   Langit menggelengkan kepala.    "Gini aja udah cukup," ujarnya sebelum menyandarkan kepala dengan lemas pada bahu Lanitra.   ***   Setelah kejadian semalam, Lanitra benar-benar khawatir pada Langit. Ia bersikeras ingin mengajak Langit ke dokter, namun Langit lebih keras lagi menolak dan meyakinkan Lanitra bahwa dirinya tidak apa-apa. Walaupun memang keadaan Langit membaik dan laki-laki itu bisa tidur nyenyak setelahnya, kebalikannya Lanitra justru tidak bisa tidur nyenyak dan terus terbangun karena khawatir Langit akan kembali mendapat serangan sakit kepala.    Pagi ini pun, rasa khawatir itu masih tertinggal. Ia bahkan merasa berat hati untuk pergi, namun Langit meyakinkan Lanitra kalau dirinya tidak apa-apa. Dan memang Langit terlihat bugas seperti biasa hari ini. Hanya saja Lanitra tetap tidak bisa tenang, sakit yang dirasanya itu bisa saja datang lagi.    Sayangnya, ia tidak bisa mengubah pikiran Langit yang bersikeras agar Lanitra tetap pergi dan tidak perlu khawatir dengannya.    "Lanitra, aku nggak apa-apa." Untuk yang kesekian kalinya pagi ini, Langit meyakinkan Lanitra.    Sekarang mereka sudah sampai di bandara. Mobil Langit sedang berhenti di drop point yang ada disana.   Lanitra menatap Langit ragu. Ia benar-benar tidak yakin. Semalam Langit sangat terlihat kesakitan dan itu tiba-tiba. Jika seseorang diserang sakit kepala yang bisa dibilang parah begitu secara tiba-tiba, maka tandanya ada yang tidak beres kan? Dan Lanitra tidak bisa untuk berhenti khawatir mengenai hal-hal buruk menyangkut Langit dan sakit kepala itu.   "Aku nggak jadi pergi deh, aku—"   "Sayang." Langit memotong ucapan Lanitra. Ia meraih tangan perempuan itu dan menggenggamnya erat, lalu menatap Lanitra serius. "Aku nggak apa-apa. Buktinya sekarang aku bisa antar kamu."   "Tapi, Langit. Semalam kamu tiba-tiba sakit kepala gitu. There must be something wrong."   "Aku nggak apa-apa, oke?"   "Kamu harus ke dokter."   Langit menggeleng. "Aku beneran nggak apa-apa. Percaya deh. I know what's going on with my body. Kamu nggak perlu khawatir. Lagian, itu cuma sakit kepala biasa," jelasnya untuk meyakinkan Lanitra. "Jangan khawatir, oke? Kalaupun ada apa-apa, aku bisa jaga diri dan langsung ngabarin kamu."   "Tapi—"   "It's okay, Lanitra. Trust me."   Lanitra menghela napas. Langit benar-benar bersikeras bahwa dirinya baik-baik saja.    "Kamu tenang aja ya? Aku janji aku bakal baik-baik aja dan minggu depan nyusul kamu kesana, oke?"   Tahu kalau dirinya tidak akan bisa mendebat Langit lagi, Lanitra pun mengangguk dengan berat hati. Ia memeluk Langit lalu mencium pipi laki-laki itu. "Take care."   "You too."   Setelahnya, Lanitra turun dari mobil. Langit membantu Lanitra mengeluarkan kopernya. Namun, Lanitra menolak ketika Langit ingin mengantarnya ke Sierra. Perempuan itu justru menyuruh Langit untuk langsung pulang dan beristirahat. Kali ini Langit tidak diperbolehkan untuk membantah.    Usai berpamitan, Lanitra pun melangkah pergi. Langit menunggu hingga Lanitra benar-benar hilang dari pandangannya sebelum masuk lagi ke dalam mobil. Sesaat setelah pintu mobil tertutup, Langit mencengkeram roda kemudi dengan erat. Sakit kepala itu datang lagi.   "s**t," geram Langit. Tubuhnya langsung menegang karena menahan sakit di kepalanya yang benar-benar luar biasa. Ia memejamkan mata, napasnya mulai terengah.   Please. Di dalam hati Langit memohon. Jangan kambuh dalam waktu dekat ini.   ***   Beberapa hari sudah berlalu dan tanpa terasa tinggal dua hari lagi sebelum hari pernikahan Sierra dan Hansel. Sejauh ini, Lanitra cukup menikmati waktunya di Bali. Meskipun pada beberapa hari pertama dirinya sempat dibuat khawatir dan terus kepikiran tentang kondisi Langit dan sakit kepalanya.    Setiap hari Lanitra mengontrol kondisi Langit, entah itu lewat telepon atau sekedar bertukar pesan. Ia ingin memastikan kalau Langit benar-benar baik-baik saja. Dan untungnya, kekasihnya itu tidak mendapat sakit kepala seperti sebelumnya lagi sehingga Lanitra sudah bisa bernapas lega dan mulai menikmati waktunya di Bali.   Malam ini, Lanitra dan Sierra sudah berencana untuk mengadakan ladies night. Setelah beberapa hari ini disibukkan dengan persiapan pernikahan, dua hari ini Sierra akan memiliki sedikit waktu lengang yang bisa digunakannya untuk bersantai. Dan waktu bersantainya itu akan ia manfaatkan dengan menghabiskan waktu bersama Lanitra sebelum dirinya mengubah status hubungannya.   Ladies night mereka sendiri simpel sebenarnya. Sierra hanya akan menginap di kamar Lanitra malam ini dan mereka akan begadang sambil minum wine—yang kali ini hanya bisa diminum Lanitra karena Sierra sedang hamil—dan bercerita tentang banyak hal. Karena setelah Sierra menikah nanti, pasti akan sulit bagi mereka untuk melakukan ladies night atau sleep over bersama.   "Ah, this is so good." Sierra berdecak kagum setelah menyesap lychee tea di dalam gelasnya.   Lanitra pun melakukan hal yang sama dan setuju dengan Sierra walau minuman mereka berbeda. Wine yang diminumnya enak. Entah apa brand-nya, Lanitra tidak tahu dan ia pun tidak terlalu mengerti dengan jenis-jenis wine.   Keduanya kini sedang berendam di jacuzzi yang ada di kamar Lanitra di resort yang ditinggali mereka selama di Bali. Pemandangan yang dilihat mereka dari jacuzzi ini sendiri adalah langit malam yang bertabur bintang. Melihatnya benar-benar bisa membuat tenang.   "Nyangka nggak sih, Lani, dua hari lagi aku mau nikah?"   "Nggak nyangka."   "Iya kan? Aku juga nggak nyangka." Sierra tertawa. "Aku pikir aku bakal nikah umur tiga puluhan, tapi ternyata Hansel bisa membuat aku yakin untuk menikah di umur aku yang masih dua puluh lima. So unbelievable."   "Hidup memang begitu, Si. Banyak kejutannya. Dan satu lagi kejutan di hidup kamu, sebentar lagi bakal jadi ibu. Padahal dulu aku sempat mikir kamu nggak akan mau punya anak, habisnya kamu kan suka sebal sama anak kecil."   "Hehehe. Aku emang pernah mikir gitu sih. Tapi pas tau aku hamil, rasanya kayak langsung jatuh cinta sama sesuatu yang belum pernah dilihat. Ajaib banget, kan?"   "Katanya memang begitu sih. Mother's love."   Sierra tersenyum dan mengusap perutnya yang masih rata. "Rasanya nggak sabar deh mau ketemu baby aku," ujarnya. "Kamu nggak ada niatan mau hamil bareng sama aku?"   Untung saja Lanitra sedang tidak menyesap wine-nya lagi, karena kalau iya, dirinya pasti sudah tersedak. Dan tersedak wine tentu akan terasa menyakitkan.   "Nggak ada ya," dengus Lanitra. "Jangan gila."   "Ah iya, gimana bisa hamil juga sih. Bikin aja belum pernah."   Lanitra memercikkan air dari jacuzzi ke wajah Sierra. Bukannya marah, temannya itu hanya terkekeh. Puas berhasil menggoda Lanitra.   "Tapi nanti pas Langit udah datang, jangan lupa bikin loh," lanjut Sierra. "Lihat sendiri kan aku udah kasih kamu kamar yang super romantis. Sengaja biar kamu sama Langit intens."   Lanitra kembali memercikkan air ke wajah Sierra. Dan lagi-lagi, temannya itu tertawa puas.   "Gitu aja langsung ngambek." Sierra meledek. "Oh ya, besok flight Langit jam berapa sih? Bareng sama Mas Alvaro dan yang lain kan?"   "Siang. Landing sekitar jam satu mungkin."   "Besok kamu jemput aja, entar aku pinjemin mobil. Nggak apa-apa kalau mau jalan-jalan sama Langit dulu, hitung-hitung pemanasan sebelum tempur pas malem di kamar ini."   Lanitra mendengus keras-keras. Mau bagaimana pun juga, Sierra dan mulut tanpa filter serta otak mesumnya tidak pernah berubah.    Lalu, Lanitra meraih ponselnya yang ia letakkan di pinggir jacuzzi, memeriksa apakah ada sebuah pesan baru yang masuk, namun ternyata nihil. Ia menggigit bibir gusar, mencoba menepis perasaan tidak enak yang mulai menggerogoti hatinya. Karena sejak enam jam yang lalu, Langit tidak ada kabar.   Dan jika kabar dari Langit tidak kunjung didapatkannya, maka sudah bisa dipastikan, Lanitra tidak akan bisa menikmati ladies night-nya bersama Sierra malam ini.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD