Perjanjian

1448 Words
Anthony masih menggenggam telunjukku meski ia sudah tertidur lelap. Anak itu lelah menangis sampai tertidur dalam pelukanku. Pakaian sekolahnya pun belum diganti. Saat kubaringkan di tempat tidur ia sempat mengigau. Sepertinya Anak itu mendapat trauma karena kehilangan ibunya. “Apa dia sudah tidur?” tanya Alex setengah berbisik di belakangku. Aku berusaha melepaskan tangan Anthony. Beruntung anak kecil itu tidak terusik sama sekali. Alex berdiri saat aku berusaha untuk turun dari tempat tidur. “Kita bicara di luar saja,” bisikku. Alex mengangguk lalu kami keluar. Kututup pintu sepelan mungkin. Ada rasa rindu setelahnya, aku sendiri bingung mengapa anak kecil itu membuat perasaanku campur aduk. Ada perasaan ingin selalu di sisinya. Kami akhirnya duduk di sofa yang berseberangan. Tatapan kami saling terkunci, tidak satu pun yang mau bicara terlebih dahulu. Alex menatapku lekat-lekat membuat aku malu sendiri. “Saya mau kepastian,” ujarku. Alex tidak bergeming, ia bahkan tidak berkedip sedikit pun. “Pak Alex bisa dengar saya,’kan?” tanyaku membuat ia tersadar. Sejak tadi ternyata Alex melamun. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini. “Anthony menyukaimu,” ucapnya. Itu bukan jawaban yang aku inginkan. Alex mendekatiku, dalam sekejap ia berpindah ke sampingku. Aku coba menjauh, tapi Alex terus mendekat. “Pak Alex mau apa?” tanyaku mencoba menahan tubuhnya agar menjauh. “Saya mau lihat kamu dari dekat,” ucapnya membuat aku takut. Aku berusaha mengendalikan diri. Jangan sampai aku terjebak dalam lubang yang sama. Aku ingin membuktikan padanya kalau selama ia pergi aku baik-baik saja. “Saya mau hubungan ini ada hitam di atas putih. Saya akui menyukai anak bapak, tapi saya juga tidak mau dirugikan. Saya ingin ada perjanjian di antara kita,” ujarku. Alex tidak langsung menjawab, alisnya menekuk seperti tidak setuju. Aku menunggu jawabannya, tapi Alex malah beranjak. Ia membuka laci mencari sesuatu di dalamnya. Alex membawa pulpen dan selembar kertas lalu meletakkannya di atas meja. “Tulis apa yang kamu mau, maksimal tiga. Lebih dari itu saya tidak bisa turuti,” jawabnya. Aku ingin protes, tapi sifat Alex yang pemaksa membuatku urung melakukannya. Lebih baik aku gunakan tenaga untuk berpikir dengan baik. Jangan sampai ada hal yang merugikan diriku. Setelah menulis tiga persyaratan aku pun memberikan kertas itu pada Alex. Dia membacanya sesekali menatapku. Raut wajahnya pun berubah. “Saya tidak setuju dengan point nomor tiga,” protesnya. Aku tidak mau mengubah ketiga aturan itu sampai kapan pun. “Bapak sudah berjanji akan mengabulkan tiga permintaan saya,” ujarku. Alex bersikukuh menolak persyaratan yang ketiga. “Bagaimana saya bisa tidak menyentuh kamu? Kalau Anthony minta kita bergandengan tangan bagaimana, atau dia minta pelukan?” tanya Alex. Aku mulai berpikir ulang. Anthony akan curiga kalau melihat ayah dan ibunya saling berjauhan. “Kecuali dia yang meminta, atau dengan seizin saya,” ucapku tegas. Harusnya Alex tidak keberatan dengan syarat yang kuajukan. Semuanya mudah, tidak menyulitkan dirinya. Aku hanya minta uang dapur karena aku yang akan memasak untuknya. Syarat kedua aku ingin kedekatan ini hanya berlangsung sampai Alex menemukan ibu kandung Anthony dan yang terakhir tidak boleh menyentuh aku sembarangan. Semua sangat mudah. “Baiklah, saya setuju, tapi saya juga punya satu syarat untuk kamu.” Alex tersenyum lebar membuat aku curiga. Satu syarat darinya bisa sangat berbahaya. “Panggil saya papa atau sayang, baik di luar atau pun di rumah,” kata Alex membuat aku kaget. Bagaimana aku bisa memanggilnya seperti itu. Aku ingin protes, tapi Alex tidak mau mengubah keputusannya. Kalau aku protes Alex meminta barter dengan syarat ketiga. Aku jelas tidak mau. Tiga tahun berpisah ternyata pria itu tetap menyebalkan. “Terserah bapak saja,” jawabku ketus. “Papa bukan bapak.” Alex mengoreksinya. Perasaan aneh itu kembali muncul. Aku seperti tidak asing dengan sebutan itu. Namun, aku segera menepisnya. Mungkin itu hanya perasaanku saja. “Mama mau ke mana?” tanya Alex saat aku berdiri. Desiran halus merambati perasaanku. Alex memanggilku ‘mama’ yang terdengar sangat tulus. Aku hampir tersenyum dibuatnya, tapi sebisa mungkin aku menahannya. “Mau istirahat,” jawabku singkat. “Selamat istirahat mama, nanti papa nyusul,” kata Alex membuat aku mendelik. “ Istirahat di kamar masing-masing,” sambungnya. Aku mempercepat langkah,semakin lama berada di dekat Alex membuat aku gerah. Seorang Alex yang kadang bersikap cuek dan dingin bisa bicara seperti itu? Aku tidak tahu apa yang membuat ia berubah. Dia sudah gilaa. Kamar yang kutempati cukup luas. Koper yang kubawa masih terongok di pojokan. Aku belum menyentuhnya sedikit pun. Rasa lelah membuatku ingin memejamkan mata. Jadi seperti ini rasanya menjadi orang tua? Anak seperti Anthony tidak sulit untuk dicintai. Aku yakin bisa mendapatkan perhatiannya. Membayangkan wajah anak kecil itu seketika membuatku berdebar. Andai saja aku tahu di mana ibu kandungnya berada, aku akan mengatakan kalau anaknya sangat rindu. Baru saja mataku terpejam pintu kamarku terbuka. Hampir tak ada suaranya, andai saja ganggang pintu yang diputar berkali-kali tidak berisik mungkin aku tidak tahu kalau ada orang yang masuk. Tubuh mungil Anthony muncul, wajahnya tampak murung. Ia berlari lalu naik ke tempat tidur. Anak itu memelukku seperti sebelumnya. “Mama jangan pergi lagi. Al gak mau ditinggal mama.” Kuusap rambut hitam lebatnya. Namanya Anthony, tapi nama panggilannya Al. Aku baru saja mendapat informasi tambahan tentang anak ini. Pelukan Anthony semakin erat seakan takut aku akan menghilang. “Mama akan di sini bersama Al.” “Sama papa juga?” Anak itu mendongkak membuat aku terpaksa mengangguk. Seulas senyum menjawab pertanyaan anak itu. “Al janji akan jagain mama. Papa juga bilang mau jagain mama jadi mama jangan pergi lagi. Di sini aja sama Al dan papa,” ujarnya. Entah karena tubuh Anthony yang berat menindihku atau dadaku yang terasa sesak. Sulit sekali bernapas setelah ia mengatakan itu. “Al suka Ultraman ya?” tanyaku mengalihkan topik. Anak itu tampak sumbringah.Al menatapku lalu mengangguk. “Suka Barbie juga?” Rasa penasaranku terjawab saat Anthony menggeleng. “Al gak suka Barbie, tapi mama yang suka. Al punya robot Ultraman dan Ironman yang jagain Barbie dari penyihir jahat.Kata papa Barbie suka dicari penyihir jahat,jadi harus dijaga. Sama kayak Al dan papa jagain mama.” Kuusap wajah tampan mirip Alex versi junior. Tidak sulit memulai pembicaraan dengan Anthony, anak ini termasuk suka bicara sama seperti diriku. Andai saja akulah ibu kandungnya maka aku akan menjadi orang tua yang paling bahagia memiliki anak tampan dan pintar seperti Anthony. “Terima kasih sudah jagain mama, tapi sekarang waktunya tidur siang.” Anthony memperbaiki posisi tidurnya. Tidak butuh waktu lama untuknya terlelap. *** Satu kecupan mendarat di keningku. Mataku langsung terbuka. Anthony dan Alex sedang menatapku. Pakaian anak itu pun sudah berganti. Aku terlalu lama tidur hingga tak sadar Anthony beranjak dari sisiku. Sekarang bukan itu masalahnya, siapa yang menciumku tadi? Apa mungkin Anthony atau … Alex? Kuenyahkan segala pikiran buruk yang mulai muncul. Aku harus lebih waspada sekarang. “Al sudah mandi?” tanyaku seperti orang bodoh. Siapa pun bisa menebak dari penampilan rapi Anthony kalau anak itu sudah mandi. Rasanya canggung ketika ruangans ejak tadi hening, terlebih Alex tidak bicara sedikit pun. “Papa bilang mama makin cantik,” bisiknya dekat telingaku. Wajahku seketika panas, bagaimana mungkin Alex yang jarang merayu dan cuek mengatakan itu. “Yang Al katakan benar,” ucap Alex menjawab semua keraguanku. Aku yakin pria itu sudah merencanakan. Aku tidak boleh luluh. “Sok tahu. Al tidak bilang apa-apa,” sahutku. Setelah mereka keluar aku bergegas membersihkan diri lalu menyusulnya. Ruang makan yang sangat luas untuk tiga orang. Alex menarik kursi untukku. Ia memperlakukan diriku dengan baik di depan anaknya. Kami—aku dan Alex—tidak banyak bicara. Sering kali kuabaikan dirinya. Keberadaan Anthony membuatku nyaman, setidaknya untuk menghindari Alex. Selesai makan malam Anthony bergegas naik ke kemarnya. Aku berusaha cuek ketika Alex membantuku membereskan meja makan. “Kamu menghindari saya?” tanya Alex tepat di belakangku. Panas tubuhnya bisa kurasakan. “Memang kenapa? Dalam perjanjian tidak tercantum saya harus menuruti Pak Alex.” “Bukan Pak Alex, tapi papa,” koreksinya. “Saya gak mau panggil papa,” ujarku tegas. Alex berdecih,pria itu berkacak pinggang. “Dibilangin masih ngeyel,” gumamnya lalu menarik tanganku agar berhadapan dengannya. Alex mengurungku dengan kedua tangannya. Jantungku berdebar ketika mata kami beradu. Pikiranku seketika kosong, kaki terasa kaku untuk digerakkan. Alex terlalu bahaya untuk kutangani sendiri. “Saya lebih suka kamu menurut kalau tidak―” “Papa!” Teriakan Anthony membuat Alex melepas kungkungannya. Pria itu berdiri tegak sehingga aku bisa menghindar. Alex menghela napas lalu menatapku sebelum pergi. “Urusan kita belum selesai,” ucapnya. Alex sama bahayanya seperti dulu. Pria itu selalu bisa membuat orang di sekitarnya menurut. Aku harus berhati-hati lagi jangan sampai sesuatu terjadi. Sayangnya dia semakin tampan yang membuat diriku kadang terhipnotis. “Apa keputusanku ini benar? Kenapa aku merasa takut?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD