Aku mulai hafal kebiasaan dan jadwal Anthony. Sekolahnya mulai jam 09.00 dan pulang pukul 13.00. Aku mulai membiasakan diri menyiapkan segala kebutuhan anak itu. Mulai dari pakaian hingga makan siang. Di sekolahnya sudah menyediakan catering, tapi Anthony tidak mau makan selain masakanku. Anak itu sangat manja dan juga cerewet, tapi justru itu yang membuat aku merindukannya.
Alex menghubungiku tepat setelah aku selesai masak untuk makan siang. Rumah sebesar ini hanya dihuni tiga orang selain satpam dan tukang kebun. Aku tidak tahu bagaimana Alex membersihkan rumah ini tanpa bantuan ART. Selama aku tinggal belum pernah kulihat orang membereskan rumah.
“Halo,” ujarku setelah meletakkan sepiring kwetiau goreng di meja makan.
“Saya lapar,” jawabnya di seberang sana.
“Kenapa gak makan saja?” sahutku sembari mengaduk-aduk mie dalam piring. Perutku sudah lapar hanya dengan mencium aromanya.
“Papa kangen masakan mama.” Baru saja aku ingin menyantap makan siangk, tapi saat mendengar ucapan Alex seketika kuurungkan.
“Saya cuma masak kwetiau goreng.”
“Gak apa-apa, papa suka apapun yang mama masak.”
“Ya sudah, saya akan kirimkan makan siang.”
“Papa mau mama yang mengantarnya.”
Aku tidak bisa menolak permintaan Alex. Setelah sambungan terputus aku bergegas mempersiapkan makan siang. Beruntung di dalam kulkas masih tersisa sepotong roti yang bisa mengganjal perut. Taxi yang kupesan sudah menunggu di depan rumah. Tidak butuh waktu lama untuk sampi di kantor Alex. Jujur saja aku tidak bisa mengingat tempat ini. Aku hanya memberikan alamat yang Alex kirimkan pada sopir. Aku bergegas masuk sebelum jam makan siang berakhir. Para pegawai sangat ramah menyapaku, mungkin mereka ingat kalau aku pernah bekerja di perusahaan ini walau sekarang aku melupakan kenangan yang ada di gedung ini.
Setelah bertanya pada petugas receptionis letak ruang kerja Alex aku pun bergegas pergi. Dadaku berdebar kencang saat melihat pintu ruang kerja Alex tertutup rapat. Ada perasaan takut dan senang bercampur aduk dalam benakku. Belum sempat aku memegang ganggang pintu tiba-tiba pintu terbuka. Alex menarik tanganku masuk lalu menutup pintunya kembali.
“Mama bawa apa?” tanya Alex lalu merebut kotak bekal di tanganku. Bisa kulihat ia menahan lapar sejak tadi.
“Tadi saya sempat mampir membeli rice box, semoga kamu suka,” ucapku sembari menyusul Alex yang sudah membuka makanan.
“Kwetiau ini mama yang buat?” tanya Alex ketika membuka kotak bekal berwarna merah muda. Aku mengangguk pelan. Alex menyantap kwetiau dengan lahap. Ia mengabaikan rice box yang kubeli. Bahkan ia memintaku ikut makan siang bersama. Rasa lapar yang kutahan kini kembali lagi saat melihat Alex makan. Ia memberikan rice box yang kubeli untuk makan siang, dengan senang hati aku menyantapnya.
“Papa suka masakan mama,” ujar Alex setelah menghabiskan makan siangnya.
“Pak Alex bisa berhenti memanggil saya dengan sebutan mama? Saya belum terbiasa dengan panggilan itu jadi tolong panggil Ana saja.”
Alex menatapku yang baru saja menyelesaikan suapan terakhir. Ia tampak berpikir lalu menghela napas dalam.
“Kamu tidak lupa dengan perjanjian kita,bukan?”
“Saya ingat, tapi jangan panggil saya mama kalau kita sedang berdua,” ucapku. Alex menatap lekat membuat aku malu. Bagaimana pun juga rasa cinta untuk pria itu masih ada.
“Maaf, saya terlalu memaksa. Saya akan menunggu sampai kamu siap,” jawabnya.
“Terima kasih Bapak sudah mengerti.”
“Jangan panggil Bapak, Alex saja. Kita bukan atasan dan karyawan lagi,” katanya tegas. Aku mengangguk setuju. Kami mengobrol sebentar sampai ponsel Alex bergetar.Alaram menjemput Anthony. Ia sepertinya tidak ingin terlambat menjemput bocah tampan itu.
“Biar saya saja yang jemput. Kirimkan saya alamat sekolahnya,” ucapku seraya membersihkan peralatan makan.
“Tidak. Kita ersama-sama akan menjemputnya,” sahut Alex membuat aku mendongkak.
“Tapi bagaimana dengan pekerjaan kamu?”
“Saya bisa mengaturnya, kamu tidak perlu khawatir.” Alex meraih tanganku. “Ayo,” ujarnya lagi. Aku tidak menolak ketika ia menggandeng tanganku. Beberapa karyawan menatap kami, tapi coba kuabaikan.
Bel pulang sekolah berbunyi tepat ketika kami tiba. Banyak pengasuh dan orang tua siswa yang menjemput. Anthony berlari ketika melihat kami berdiri dekat mobil. Tak butuh waktu lama untuk bocah itu menabrakkan tubuhnya di kakiku. Wajahnya mendongkak seakan meminta aku menggendongnya. Aku kaget ketika Anthony mencium kedua pipiku setelah kugendong.
“Al kangen mama,” ucapnya lalu mengalungkan tangan kedua tangandi leherku.
“Al gak kangen sama papa?” tanya Alex dengan wajah cemberut. Aku yakin ia sengaja melakukannya supaya anak manis itu memperhatikan ayahnya yang terabaikan.
“Enggak. Papa’kan Ironman jadi gak perlu dikangenin,” jawabnya membuat Alex tersenyum seraya mengusap kepala anaknya.
“Kangen itu tanda sayang. Papa juga mau Al kangen sama papa.”
Alex merengkuh tubuh Al dalam gendonganku. Kini bocah itu sudah berpindah dalam pelukan papanya. Melihat dua lelaki itu bercanda dan tertawa membuat perasaanku menghangat. Andai aku memiliki keluarga seperti ini mungkin aku akan menjadi wanita paling bahagia di dunia.
Alex meraih tanganku membuat lamunan seketika buyar. “Ayo pulang, Ma.” Tubuhku mendadak kaku. Ucapan Alex terasa menyentuh hati yang membuat aku merasa menjadi bagian dari hidupnya.
Berperan menjadi seorang ibu untuk Anthony tidak terlalu sulit, tapi aku tidak yakin bisa bertahan lama dengan Alex. Pria itu selalu mendekatiku. Rasa cinta yang dulu ada kini kembali walau sering kutepis. Sikap Alex sedikit berubah. Pria itu jauh lebih perhatian dari sebelumnya. Aku melihat sosok ayah yang bertanggung jawab dan mandiri melekat padanya.
Seperti di Minggu pagi ini Alex bertelanjang d**a menyiapkan sarapan di dapur. Aku terpaku di ambang pintu menatap bentuk tubuhnya yang kekar. Godaan di pagi hari membuat siapa saja wanita yang melihatnya akan terperangah. Aku belum pernah melihat tubuh Alex lagi setelah tiga tahun.
“Morning,” ucapnya membuat aku tersentak. Segera kuhampiri dirinya yang sedang menata sarapan di meja.
“Morning.” Tidak banyak sarapan yang dibuatnya. Multigreen bread yang diatasnya ada mash avocado dengan sedikit chia seed untuk mempercantik. Tak lupa omelet kesukaan Anthony.
“Kamu masak semuanya sendiri?” Alex menatapku seraya tersenyum. Ia mengangguk sambil menuangkan jus jambu ke dalam gelas.
“Tentu, semoga kamu suka.” Alex menarik kursi untukku. Alex lalu duduk di depanku sembari menikmati sarapannya. Aku berusaha mengalihkan perhatian dari perut kokohnya.Betapa seksinya Alex pagi ini. Dia pria dewasa yang berbahaya. Entah sudah berapa lama aku menatapnya tanpa berkedip. Alex melambaikan tangannya di depan wajahku. Aku tersadar. Alex tersenyum tipis lalu meminum jusnya.
“Kamu mau menyentuhnya?” tanya Alex membuat aku kaget. Bukan hanya wajah, tapi sekujur tubuhku mulai panas. Alex beranjak dari duduknya lalu berpindah di sampingku. Ia duduk di atas meja makan lalu meletakkan tanganku di perutnya. Dadaku berdegup kencang. Alex menunduk membuat jarak wajah kami sangat dekat. Jantungku berdegub lebih cepat.
“Kamu menyukainya?” bisiknya seperti menghipnotis. Aku segera menarik tangan lalu memalingkan wajah ke arah lain. Alex menegakkan tubuhnya.
“Kamu bisa sarapan dulu, saya akan membangunkan Anthony,” ujarnya membuat perasaanku berdesir. Aku menatapnya sebisa mungkin menjaga jarak.
“Biar saya saja. Dia biasanya rewel kalau bangun pagi di hari libur,” ucapku lalu bergegas ke kamar Anthony. Anak itu satu-satunya alasan untuk menghindar dari Alex.Anthony masih tertidur pulas dengan selimut yang sudah berantakan berkumpul di kakinya. Kuusap pelan pipi tembam yang menggemaskan itu, tapi Anthony tidak terusik sama sekali.
“Sayang, kita sarapan dulu, ya. Ayo bangun.” Anthony hanya menggeliat lalu kembali tidur pulas. Beberapa kali kucoba membangunkannya, tapi bocah itu tak kunjung membuka mata.
“Dia tidak akan bangun dengan cara seperti itu,” kata Alex bersandar dekat pintu. Aku menyingkir membiarkan Alex duduk di tempatku. Cara Alex membangunkan Anthony terbilang unik. Ia mencium wajah Anthony bertubi-tubi. Bocah itu menggeliat merasa terganggu. Tidak butuh waktu lama Anthony membuka mata dengan wajah tertekuk menatap Alex.
“Papa nyebelin.” Anthony memeluk leherku berusaha menjauh dari ayahnya. Beberapa kali Alex merayu, tapi anak itu tetap kesal. Setelah Anthony mandi dan sarapan, orang tua Alex pun datang menjemput . Mereka akan jalan-jalan tanpa aku dan Alex. Anthony tampak bahagia bisa pergi bersama kakek dan neneknya.
Rumah seketika sunyi tanpa bocah itu. Aku jadi merindukannya padahal belum lama ia pergi. Secangkir s**u almond tersaji di depanku. Alex menarik kursi lalu duduk sembari menyesap tehnya. Kaos hitam melekat pas di tubuh kekarnya tak mengurangi kesan bahaya yang melekat padanya.
“Terima kasih,” ucapku membuat Alex menoleh. “Untuk susunya,” lanjutku sembari mengangkat cangkir. Alex mengangguk lalu bersandar pada kursi. Sejenak suasana menjadi canggung. Aku tidak tahu harus bicara apa. Tentang Alex dan keluarganya, aku belum siap mendengar semua itu, terutama kisah cintanya dengan sang istri.
“Apa kamu tidak mengingat sesuatu?” tanya Alex membuka percakapan. Aku coba menggali ingatan di masa lalu, tapi tak satu pun ingatan yang terlihat nyata.
“Tentang apa?” tanyaku berusaha tetap tenang. Kepalaku mulai berdenyut membuat mataku sesekali terpejam.
“Semua yang kita lalui selama beberapa hari ini. Apa kamu tidak mengingat sesuatu?” Alex menatapku. Setelah menggeleng, Alex tampak kecewa. Ia memegang pundakku sedikit meremasnya kuat.
“Ana, kejadian yang kamu ingat itu sudah berlalu 4 tahun yang lalu. Apa kamu tidak ingat tahun berapa kita berpisah?”
Aku berusaha mengingat apa yang Alex katakan. Semakin aku berusaha semakin berdenyut kepalaku. Aku butuh istirahat untuk menenangkan pikiran.
“Berikan saya waktu untuk mengingatnya. Maaf, saya harus istirahat.” Aku bergegas pergi sebelum rasa sakit itu menghantam lebih kuat. Sekelebat bayangan mulai muncul di pikiranku. Baru saja aku menapaki anak tangga tiba-tiba tubuhku terasa ringan. Alex menangkap tubuhku dengan sigap, wajahnya terlihat panik. Beberapaa kali ia memanggil namaku, tapi suaraku tercekat. Kesadaranku perlahan menghilang, yang kudengar hanya suara Alex yang berteriak menepuk kedua pipiku.