Bertemu Anthony

1391 Words
Aku meragu akan keputusan kemarin saat Alex memintaku mengasuh putranya. Lebih tepat menjadi istri sementara. Aku takut akhir dari semua ini hanya menyakiti diriku. Aku belum bicara pada mama masalah ini, tapi sepertinya Alex sudah memberitahu. Aku tidak tahu apa yang dikatakan Alex karena mama dan papa langsung mengizinkan. Satu koper sudah siap kubawa ke rumah Alex. Tidak banyak barang yang aku bawa karena aku sendiri tidak tahu dimana meletakkan semua barangku. Mereka raib begitu saja. Aku harus mendapatkan ingatanku kembali. Lamunanku buyar saat mama masuk. Ia tersenyum lembut seperti biasa. Aku menatapnya sekilas lalu kembali memandang pantulan diri pada cermin. Mama berdiri di belakang lalu memelukku. “Ma, apa keputusanku ini benar?” ujarku. Pelukan mama semakin erat, ia mencium keningku cukup lama. “Mama dan papa sudah mengizinkan. Kami tahu apa yang terbaik untuk kamu, Ana. Mungkin dengan cara seperti ini ingatan kamu akan pulih.” Aku melepas pelukan mama. Kini kami saling berhadapan. Orang disekitarku seakan menyembunyikan sesuatu. “Apa maksud mama?” tanyaku. Mama tersenyum mengusap pipiku sejenak. “Temui Anthony dulu. Dia anak yang baik. Saat kamu kritis dia selalu berada di sisi kamu,” kata mama dengan suara bergetar. “Maksud mama Alex sengaja memberitahu anaknya kalau aku adalah ibunya?” tanyaku penasaran. Hanya itu kesimpulan yang aku dapatkan. Anthony, anak Alex yang aku tidak tahu siapa ibunya. Mungkin saja Alex sengaja memperkenalkan aku sebagai istrinya untuk menenangkan anak kecil yang rindu sosok ibu. “Percayalah, Nak. Apa yang kami lakukan ini untuk kebaikan kamu. Temuilah Anthony, rasakan keberadaannya dalam hatimu.” Mama segera pergi setelah mengatakan itu. Ia menangis, aku tahu itu. Setiap kali membicarakan Anthony, mama selalu emosional. Suara mobil Alex terdengar dari bawah. Aku segera melihat dari jendela. Alex keluar dari mobil disambut oleh papa. Aku segera bergegas mengambil tas dan koper. Saat ingin keluar kutatap sejenak kamarku. Alex sudah menunggu di ruang keluarga. Ia sedang berbicara pada mama dan papa. Saat aku menghampiri mereka semua kompak menoleh. Haruskah aku mengatakan pada papa dan mama kalau anaknya hanya dijadikan istri sementara? Aku yakin Alex tidak mengatakan tentang sebuah perjanjian atau semacamnya karena aku yakin mama dan papa pasti akan menentangnya. Alex sangat pintar dalam berkata-kata meluluhkan hati rekan bisnisnya, tapi tidak pintar dalam merayu. “Saya pergi sekarang. Ana sepertinya sudah siap,” kata Alex pada orang tuaku. Mama menghampiri lalu memelukku erat. “Mama yakin perlahan ingatan kamu akan kembali,” bisiknya. Aku hanya bisa tersenyum membalasnya. Alex membawa koperku ke mobil. Setelah berpamitan kami pun pergi. Ada perasaan aneh ketika meninggalkan rumah itu. “Saya tahu kamu tidak ingin pergi,” kata Alex memecah kebisuan kami sejak tadi. Aku berusaha tenang, menatap hati yang terasa makin sakit. Jika aku bercerita pada seseorang mungkin saja mereka mengatakan aku wanita bodoh yang dengan mudah dipermainkan oleh pria seperti Alex. Kadang aku berpikir apa itu cinta? Mengapa bisa membuat orang bahagia dan kadang sakit? Aku terus mencari jawaban sampai aku tidak sadar sampai seberapa jauh aku mencintai orang lain dari pada diriku sendiri. “Saat seorang pria membawa saya keluar dari rumah orang tua, itu karena saya ingin bahagia, tapi sekarang kenapa seperti ini? Saya harus pergi tanpa keyakinan apakah saya akan bahagia suatu hari nanti,” jawabku. Alex menatapku lalu meraih tangan kananku. “Saya tidak akan mengulangi kesalahan dulu. Saya ingin jatuh cinta lagi sama kamu, Ana. Hapus keraguan itu, saya akan membahagiakan kamu.” “Tapi bagaimana dengan istri Pak Alex?” tanyaku. Haruskah aku menyakiti wanita lain untuk kebahagiaanku sendiri. Sering aku berpikir bagaimana kalau aku yang berada di posis wanita itu, apakah aku bahagia melihat suami dan anakku bersama wanita lain? “Dia pasti mengerti,” jawab Alex singkat. Kami kembali membisu, kadang Alex memberitahuku bagaimana sifat anaknya. Ia tidak memberi foto putranya padaku, lebih tepatnya ia tidak mau memberi meski aku memaksa. Ada binar bahagia saat Alex membicarakan Anthony. Dia mencintai anaknya, aku bisa merasakan kasih sayang seorang ayah. Dia sosok ayah yang hebat, tapi aku tidak tahu bisakah dia menjadi suami yang baik. Dia terlalu sempurna untuk semua itu. Kami akhirnya sampai. Satpam membuka gerbang sehingga mobil bisa masuk. Jantungku berdebar kencang seperti akan sidang skripsi, ingin rasanya berlari ke toilet untuk buang air kecil. Aku sangat gugup. Alex mengeluarkan koperku dari bagasi. Rumah yang indah, halaman yang luas. Hampir mirip dengan rumahku hanya saja tidak ada air mancur di tengah halaman. Kami pun masuk. Rumah besar itu terasa sepi. Anthony. Di mana anak kecil itu. Aku tidak mendengar suara anak kecil bermain. Alex menggenggam satu tanganku. Ia tersenyum seperti tahu apa yang aku pikirkan. “Dia belum pulang sekolah,” ujarnya. Aku tidak tahu kalau Anthony sudah masuk sekolah, tapi memang lebih baik dia sekolah mengingat di rumah akan terasa membosankan. “Jam berapa dia pulang?” tanyaku. Kami duduk bersisian di sofa penuh ukiran berwarna emas. Aku suka semua yang ada di rumah ini mulai dari sofa, vas bunga, dan hiasan dinding yang beragam. Namun, ada yang aneh. Kenapa Alex tidak memasang foto pernikahannya apa mungkin dia memasangnya di kamar? “Sebentar lagi, sekitar tiga puluh menit. Saya akan menjemputnya sekarang,” kata Alex. “Saya ikut,” ucapku membuat Alex urung berdiri. Ia menggeleng, tidak mengizinkan aku menjemput Anthony bersamanya. “Kamu di rumah saja. Jangan sampai kelelahan, kamu butuh istirahat.” Alex membawakan koperku ke atas. Dia memberitahuku kamar Anthony dan kamar yang akan aku tempati. Awlanya Alex ingin aku satu kamar dengannya, tapi aku menolak. Aku ingin membuat perjanjian dengannya. Aku ingin batasan yang jelas selama tinggal di sini. “Baiklah kamu bisa istirahat. Saya pergi dulu.” Setelah kepergian Alex kujatuhkan tubuh ke kasur. Kamar ini cukup nyaman dan mewah. Alex punya selera yang bagus dalam mendesign ruangan. Aku segera bangkit, rasa penasaran dengan kamar Anthony. Siapa tahu aku bisa melihat foto ibunya. Aku segera memeriksa kamarnya. Banyak mainan di kamar itu, ada robot, mobil-mobilan dan … Barbie? Aku tidak tahu kalau anak laki-laki suka Barbie. Kamarnya sangat rapi. Seperti kamar anak pada umumnya ada bola warna-warni, yang membuat aku terkesan adalah foto Anthony saat bayi dulu. Sudah agak pudar membuat aku susah mengenali seperti apa wajahnya. Meja belajarnya pun rapi. Saat kubuka buku tulis satu-satunya yang ada di meja itu terdapat gambar keluarga. Tidak terlalu bagus, tapi aku tahu apa maksudnya. Anthony menggambar keluarganya. Ada mama, papa dan anak kecil. Kubuka lagi halaman selanjutnya ada tulisan dan gambar hati yang kalau dibaca, I Love Mom. Banyak tulisan dan gambaran di setiap lembar buku itu dan sebagian besar merujuk pada ibunya. Aku sangat cengeng, hanya melihat gambar sederhana itu membuat aku menangis. Itu adalah hal biasa bagi anak kecil mencintai orang tuanya, terutama ibu yang menjaganya sejak dalam kandungan. Aku segera menutup buku itu lalu keluar dari kamar Anthony. Mobil Alex terdengar dari luar. Aku tidak tahu seberapa lama aku berada di kamar Anthony. Aku segera turun, tidak sabar ingin melihat anak kecil itu. Anthony Alexander Vergel, itu nama panjangnya. Alex memberitahuku tadi, saat perjalanan ke rumahnya. Anthony suka sepak bola dan Ultraman. Alex juga mengatakan dia suka mengoleksi robot-robot, tapi kenapa Alex tidak mengatakan kalau Anthony juga suka Barbie? Aku sudah menunggunya di anak tangga bawah. Alex masuk menggendong Anthony. Alex menenteng tas sekolah berwarna biru yang disetiap sisinya berisi botol minuman. Alex menurunkan Anthony dari gendongannya. Anak itu belum melihat keberadaan diriku. Saat ia berbalik, Anthony terlihat kaget. Matanya membulat sempurna. Dia sangat tampan, aku jatuh cinta padanya. Mata hitam itu berair, aku bisa tahu Anthony akan menangis. Ia tidak berlari memeluk kakiku, tapi ia justru duduk di lantai menutup wajahnya yang sedang menangis. Isakannya semakin kencang membuat hatiku pilu. Dia terluka. Aku merasakan bagaimana emosinya mengalir. Aku mendekatinya sementara Alex membiarkan kami berdua. Aku berjongkok lalu mengusap rambut lebat hitamnya. “Hei, jangan menangis. Anak laki-laki harus kuat,” ujarku. Anthony melepas tangan yang menutupi wajahnya. Air matanya masih mengalir, wajahnya memerah dan ingusnya pun tak mau ketinggalan. Alex memberikan saputangan. Aku menerimanya lalu menyeka air mata anak lelaki itu, tapi air matanya terus mengalir tak bisa berhenti. Sialnya, aku ikut menangis karena melihat air mata dan mendengar jeritan yang menusuk hati. Kupeluk erat tubuh kecil itu untuk meredakan tangis. Anthony membalas pelukanku tidak kalah erat. “Mama,” ucapnya membuat hatiku sesak. Kutatap Alex yang masih berdiri. Ia memalingkan wajahnya, menghapus air matanya yang ikut menetes. Kenapa kami menangis seperti ini? Apa yang terjadi?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD