"Lebih baik kita berpisah."
"Tidak, saya tidak ingin berpisah. Saya memang salah. Semuanya bisa dibicarakan baik-baik!"
"Apa lagi yang perlu dipertahankan? Bagaimana dengan masa depan dan perasaan anak itu?"
"Bagaimana dengan Al? Kamu tidak memikirkan perasaan anak kita?"
Percakapan itu terus berdengung di telingaku. Entah siapa pemilik suara itu, aku tidak mengenalnya. Mereka saling membentak, berteriak penuh emosi yang meluap. Perasaan sedih merambat seakan ucapan itu tertuju padaku. Untuk diriku yang berada di kegelapan.
Usapan di sekitar wajah membuat kesadaranku kembali. Alex, orang pertama yang kulihat tampak begitu cemas. Aku tidak tahu sudah berapa lama berbaring di atas tempat tidur, tubuhku terasa kaku.
"Saya ambilkan minum, ya."
Aku mencegah Alex berdiri. Entah mengapa aku tidak ingin ia pergi dari sisiku. Ada rasa takut yang menghantui. Alex kembali duduk, tangannya kini menggenggam jemariku.
"Di mana Al?" tanyaku setelah beberapa saat hening.
"Sebentar lagi pulang. Saya keluar saja biar kamu bisa istirahat" ucapnya.
Kupegang pergelangan tangannya erat-erat. Alex menatap tangannya yang kupegang tanpa coba melepaskan. Rasa takut itu semakin menjadi, mimpi aneh dan suara pertengkaran itu kian mengganggu.
"Maaf."
Kulepaskan pergelangan tangannya hingga Alex bisa bergerak bebas. Ia menyeka keringat di dahiku dengan tissue. Begitu lembut gerakannya membuat perasaanku lebih tenang.
"Kamu mimpi buruk?" tanya Alex. Aku mengangguk pelan. Mimpi yang terasa nyata. Aku sampai tidak bisa membedakan kenyataan dan mimpi.
"Tentang apa? Boleh saya tahu?"
Alex membantuku bersandar pada kepala ranjang. Aku tidak menceritakan apa pun padanya. Aku sendiri bingung bagaimana cara memberitahu Alex tentang mimpi itu.
Cincin yang melingkar di jari Alex menyadarkan diriku pada kenyataan. Aku berusaha tersenyum sembari mengusap cincin itu.
"Ini cincin pernikahan kamu?"
Alex tak menjawab, juga tidak mengangguk. Ia hanya diam seperti patung.
"Siapa ibunya, Al? Apa dia wanita yang kamu cintai?"
Alex menghela napas lalu menggenggam tanganku erat.
"Sebelum saya menjawabnya boleh saya tanya beberapa hal?" Aku mengangguk dan Alex mulai bicara.
"Apa kamu membenci saya?"
Aku menggeleng dan Alex kembali bertanya. "Apa yang kamu ingat terakhir kali?"
"Saat kita berpisah. Kamu dan Melody pergi. Hanya itu yang bisa kuingat."
Alex memegang kedua pundaku. Matanya tak sedikit pun beralih menatap yang lain.
"Melody sudah menikah dengan Rey. Sekarang mereka sudah memiliki tiga anak? Dan kita--"
"Mama!"
Teriakan Anthony membuat kami terdiam. Bocah itu tampak bahagia membawa makanan ringan satu tas penuh. Alex membantu Anthony naik ke tempat tidur.
"Al bawa oleh-oleh buat mama," ucapnya riang.
"Banyak sekali, ini buat mama semuanya?" Anthony mengangguk penuh semangat. Ia mulai menceritakan perjalanannya bersama kakek dan nenek. Aku terlalu fokus pada bocah tampan itu hingga tak menyadari Alex sudah pergi.
"Mama, Al lapar."
Rengekan anak itu membuat semangatku kembali lagi. Al menggandeng tanganku erat. Perasaan aneh mulai menyelimuti hatiku. Dalam mimpi itu nama Al juga disebut-sebut.
"Al," panggilku menghentikan langkah kakinya. Aku berjongkok menyamakan tinggi dengan anak itu.
"Apa mama benar-benar mama kamu?" Al memiringkan kepalanya dengan kening mengkerut. Aku tidak yakin bocah ini paham apa yang kumaksud.
"Hmm... Mamanya Al adalah mama," jawabnya seraya tersenyum. Aku lega mendengarnya. Aku tidak bisa mengingat apa pun, tapi ikatan batin ini terasa berbeda dengan Al. Aku masih menduga kalau istri Alex adalah diriku atau mungkin aku selingkuhannya?
Memikirkan menjadi orang kedua dalam hubungan orang lain membuat perasaanku tak menentu. Aku harus mencaritahu apa yang terjadi antara aku dan Alex.
Setiap saat Al tidak pernah lepas dariku. Anak laki-laki itu ingin aku selalu memperhatikannya. Dia akan marah ketika aku mengabaikan dirinya, sementara Alex tengah sibuk bicara di telepon. Sesekali kami beradu pandang, tapi Alex segera memalingkan wajah dan menjauh hingga aku tidak bisa mendengar percakapannya.
"Saya harus pergi," ujarnya sesaat setelah panggilan terputus.
Belum sempat aku bertanya Alex sudah pergi. Ia tampak buru-buru memasuki mobil. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tiba-tiba perasaanku tak enak. Aku ingin menyusulnya, tapi Anthony tidak ada yang menjaga.
Aku mencoba mengalihkan perhatian pada Anthony. Anak itu sangat aktif bergerak, kegelisahanku sedikit berkurang karena Anthony. Sampai malam hari Alex tak kunjung pulang. Anthony bahkan menanyakan keberadaan papanya saat makan malam. Aku hanya bisa mengatakan kalau papanya masih bekerja--di hari libur.
Beberapa kali kucoba memejamkan mata ketika berbaring di kasur, tapi bayangan Alex terus menghantui. Aku sangat khawatir sampai larut malam pria itu belum pulang. Langit tampak mendung, walau gelap aku bisa memprediksi dari bintang di langit yang tak terlihat. Cuaca bulan ini tak menentu, kadang hujan lebat kadang cerah.
Anthony sudah tidur setelah kubacakan dongeng beberapa saat lalu. Bukan dongeng tentang seorang putri bertemu pangeran melainkan pertarungan ksatria melawan monster jahat. Aku tidak yakin cerita karanganku menarik untuk didengar, tapi aku berhasil membuat anak itu tidur pulas.
Kini aku sendiri menunggu Alex pulang. Detik jarum jam menggema, rumah sebesar ini terlalu sunyi. Aku harus segera menemui Rey. Aku mengingat namanya, tapi tidak dengan wajahnya. Aku yakin Rey tahu banyak hal tentang Alex. Keyakinan bahwa aku adalah wanita kedua terus muncul dan itu mengusikku.
Suara mobil terdengar memasuki halaman. Aku bergegas mengintip dari balik jendela. Tidak salah lagi, itu mobil Alex. Dia sudah pulang.
Aku panik. Tanpa pikir panjang aku segera duduk di sofa sembari membaca buku, tapi itu akan membuat Alex curiga. Aku tidak mau ia tahu kalau aku menunggunya. Pintu depan terbuka. Tidak ada waktu lagi selain pura-pura tidur. Satu-satunya cara agar Alex tidak tahu aku mengkhawatirkan dirinya.
"Hhmm ...." Aku bergumam sembari merenggangkan tubuh seperti orang baru bangun.
"Jam berapa ini," ucapku dengan mata setengah terbuka. Alex tak bergeming dari tempatnya. Ia berdiri menatapku.
"Kamu sudah pulang?" tanyaku setelah bangun dari pembaringan. Aku tidak yakin penampilanku mendukung sandiwara yang kubuat.
"Iya. Jangan tidur di sofa," ucapnya lalu pergi ke dapur. Aku bergegas mengikuti. Setidaknya aku harus mendapat informasi kenapa dia pulang malam. Alex menuangkan air dingin ke dalam gelas. Tak sedikit pun dia menoleh ketika aku berdiri di dekatnya.
"Kamu sudah makan?" tanyaku. Alex hanya bergumam lalu meneguk habis airnya.
"Kamu kerja di hari libur?" tanyaku. Alex meletakkan gelasnya cukup keras. Suaranya membuat aku kaget. Ia tampak marah.
"Saya banyak urusan, tolong jangan tanya apapun untuk saat ini."
Alex pergi begitu saja meninggalkan aku sendiri di dapur. Sikapnya berubah. Pria itu bersikap dingin, lebih dingin dari udara luar. Aku yakin ada sesuatu yang ia sembunyikan. Aku berusaha mengejarnya, tapi Alex cepat-cepat menutup pintu kamar.
Alex berubah, sikpnya berbeda dari tadi pagi. Aku tidak ingin menduga-duga lagi. Aku yakin besok keadaannya akan lebih baik.
***
Setelah kejadian semalam Alex kembali seperti biasa seolah tidak pernah terjadi sesuatu. Aku berusaha menghindar agar Alex tahu kalau aku sedang marah, tapi keberadaan Anthony membuat rencanaku selalu gagal.
Alex berhasil memanfaatkan kepolosan anaknya untuk mendekatiku.
"Ma ...," panggil Anthony sebelum naik ke mobil.
"Ada apa sayang?"
"Mama marah sama papa?" Sekilas kulirik Alex yang sedang menatap kami.
"Tidak, papa sama mama baik-baik saja," jawabku. Anak ini tak langsung percaya. Ia menatap aku dan Alex bergantian.
"Tapi mama dan papa tidak ciuman, biasanya sebelum berangkat papa cium pipi mama dulu," katanya membuat aku tak bisa bersuara. Alex menutup pintu mobil lalu menghampiri kami. Ia berjongkok hingga sejajar dengan anaknya.
"Al, mama dan papa baik-baik saja."
"Kalau baik kenapa gak cium mama?"
Alex mengusap rambut hitam Anthony.
"Mengungkapkan kasih sayang tidak hanya dengan ciuman, bisa juga dengan pelukan," ujar Alex.
"Ya sudah papa peluk mama."
Alex berdiri hingga kami saling berhadapan. Jujur saja aku masih canggung saat bersamanya.
"Boleh peluk?" tanya Alex. Anthony mengayunkam tanganku sembari mengangguk. Aku tidak ingin anak itu curiga dengan hubungan kami.
"Boleh."
Alex memelukku erat seperti sepasang kekasih yang baru bertemu setelah berpisah cukup lama. Rasa kesal dan marahku seketika lenyap. Hanya ada rasa aman saat bersamanya.
"Nanti malam kita harus bicara," bisiknya sebelum melepas pelukan. Aku mengangguk. Setelah mereka pergi aku bergegas masuk ke rumah. Hari ini aku akan mencaritahu tentang kehidupan Alex selama tiga tahun di luar negeri. Rey mungkin tahu banyak tentang itu, tapi masalahnya aku tidak memiliki kontaknya. Banyak nomor penting yang hilang di ponselku, termasuk nomor ponsel Melody dan teman-temanku.
Suara bel mengurungkan niatku naik ke kamar. Aku yakin Alex tidak mungkin kembali lagi mengingat ia akan telat menghadiri rapat.
Seorang wanita cantik berdiri membawa sekotak kue kering di tangannya. Rambut panjangnya digerai, kukunya dicat merah yang senada dengan warna lipstiknya.
Tingginya hampir menyamai diriku, kulitnya putih mulus dan pinggang yang ramping. Kalau dilihat-lihat gadis ini mirip seorang artis yang aku lupa namanya.
"Mau mencari siapa?" tanyaku setelah hening cukup lama.
"Oh, perkenalkan aku Kristin, tetangga baru. Aku hanya ingin menyapa saja. Ini ada sedikit cemilan untuk Anda," ucapnya lembut. Mendengar tutur katanya yang sopan aku jadi menyesal sempat mengira gadis ini bukan gadis baik-baik dilihat dari penampilannya yang mengenakan pakaian ketat dan mini.
"Terima kasih. Saya Ana, senang mengenal kamu Kristin," sahutku sembari menerima cemilan yang gadis itu berikan.
"Aku harap kita bisa hidup berdampingan Ana. Aku akan sangat senang kalau sewaktu-waktu kita bisa minum teh bersama," balasnya. Aku mengangguk pelan lalu Kristin pergi. Gadis itu tampak baik, tapi kenapa perasaanku jadi kacau. Seperti hujan yang tiba-tiba turun saat matahari bersinar terang.
"Mungkin cuma perasaan aku saja."