Eru sedang berjalan sendirian menuju kelas selanjutnya ketika Shina berlari-lari kecil mengejarnya. Pembawaan temannya yang satu itu memang selalu berisik dan menarik perhatian orang-orang di sekitar tanpa ia sadari. Eru nyengir memerhatikan Shina yang nampaknya sudah berlari-lari sepanjang jalan. Lantas seketika sadar dengan keberadaan dua buah kotak hadiah berwarna hitam dan putih di kedua tangannya.
"Aduh, Eru, kenapa sih kau tidak mau bergabung makan siang dengan kami?" Keluh Shina sesampainya ia di sebelah Eru.
Ah, itu. Eru tidak memiliki jawaban yang cukup baik untuk pertanyaan yang satu itu. Siang ini teman-temannya memang mengajak ia bergabung untuk makan siang bersama di kafetaria. Hal itu memang sudah menjadi kebiasaan mereka sebenarnya. Tetapi karena kali ini ada Erwin yang kembali bergabung di antara mereka, maka Eru memilih untuk tidak takut. Meski ia sadar benar hal ini pasti akan menimbulkan pertanyaan besar di kepala semua teman-temannya. Eru hanya merasa, ia butuh waktu untuk kembali terbiasa dengan kehadiran Erwin tanpa mengingat hal-hal buruk tentang laki-laki itu.
"Maaf, aku agak sibuk," Eru mengalihkan pandangan menghindari kecurigaan Shina. Berharap tidak perlu ada pembahasan lagi mengenai makan siang ini.
"Huh, gara-gara kau tidak ikut aku jadi terpaksa membawa hadiahmu ini," Shina mengulurkan sebuah kotak berwarna putih padanya.
"Eh?" Kening Eru berkerut bingung. "Hadiah?"
"Ya, hadiah!" Sahut Shina tak sabar, nampaknya keberatan membawa kotak-kotak itu terlalu lama.
Eru menerimanya dengan perasaan campur aduk. Entah kenapa firasatnya berubah buruk.
"Yang putih itu untukmu, dan yang satu ini untuk Kazuki," Shina menjelaskan sembari berusaha menyingkirkan kotak-kotak itu darinya.
Lagi-lagi Eru menerima kotak itu dengan patuh. Memang lebih berat dari yang ia perkirakan, sih.
"Ini hadiah dari Erwin."
Eru tersentak.
"Apa? Kenapa terkejut begitu?"
Eru langsung nyengir, ingat betapa sensitif temannya yang satu ini.
Shina mengusap rambut cepaknya yang berantakan karena berlari sebelum kembali bicara. "Semalam itu kacau sekali, karena itu Erwin jadi lupa mengambil hadiah-hadiah yang sudah ia siapkan di mobil."
"Huh, kan kau yang membuat kacau. Kau mabuk parah sekali semalam."
Shina menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, meski merasa bersalah tetapi ia menolak untuk disalahkan. Mengingat semua orang memang mabuk. Dan bukan hanya dirinya saja yang membuat heboh. Untungnya, seperti biasa Akemi dan Eru selalu bisa diandalkan karena mereka tidak pernah banyak minum.
"Yah, yang terpenting aku sudah menyerahkan hadiah dari Erwin. Oh, ya. Kazuki juga tidak berangkat hari ini, ya?"
Eru mengangguk. Tapi tidak penting membahas Kazuki sekarang. Dia tidak bisa berangkat untuk mengikuti jam kuliah karena terlalu pusing untuk bangun dari tempat tidur. Dan sejauh yang Eru tahu ia akan baik-baik saja. Paling lama butuh waktu sehari untuk pulih.
"Hadiahmu mana?" Eru bertanya dengan cepat. Ia ingin segera memastikan tidak ada yang aneh dengan hadiah-hadiah ini.
"Ada di ranselku," Shina menunjuk ransel dipunggungnya dengan sebelah tangan. "Mau melihatnya? Aku juga penasaran apa isinya."
"Tidak perlu kurasa," sahut Eru ragu.
"Mmm, ngomong-ngomong, Eru."
Ketegangan serasa menyelimuti tubuh Eru begitu Shina yang biasanya berisik memelankan volume suaranya.
"Kurasa Erwin memang tidak sengaja melakukan ini karna dia sudah menyiapkan semua hadiah untuk kita sejak sebelum kita kembali bertemu."
Eru menahan napas tanpa sadar. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasa. Jika boleh jujur, ia mulai merasa ketakutan. Seolah masa lalu itu kembali muncul di depan matanya saat ini juga.
"Tapi, kotak hadiahmu satu-satunya yang berwarna putih. Milik kami semua berwarna hitam."
Eru menekan dorongan keras untuk segera membuang kotak hadiahnya. Setidaknya jangan lakukan itu di hadapan Shina.
"Menurutmu apa kau merasa Erwin masih menyukaimu?"
Eru memaksakan tawa yang terdengar aneh dan kering. "Kau ini bicara apa? Tentu saja tidak!" Eru berharap bisa meyakinkan dirinya sendiri juga.
Shina terdiam memerhatikan sambil berpikir. Sampai akhirnya ia mengedikkan bahu dengan santai. "Asal tidak akan terjadi keributan di antara Kazuki dan Erwin. Kurasa akan baik-baik saja."
Tubuh Eru membeku seketika. Ia belum pernah memikirkan kemungkinan ini sebelumnya. Mendadak Eru merasa menyesal karena tidak pernah menceritakan fakta yang ia tahu mengenai Erwin pada yang lain. Tetapi, siapa juga yang akan percaya padanya? Erwin yang sempurna dan menjadi favorit semua orang. Mana mungkin melakukan hal-hal aneh semacam itu? Iya, kan?
.
.
.
Eru turun dari bus yang ditumpanginya menuju apartemen Kazuki. Untuk beberapa alasan Eru memutuskan untuk menemuinya setelah seluruh jam kuliahnya selesai. Dan lagi-lagi ia menghindari ajakan makan malam dari teman-temannya. Setidaknya kali ini ia memiliki alasan yang cukup bagus, yaitu karena ia ingin memastikan keadaan Kazuki.
Bahkan setelah tinggal Eru sendiri yang tersisa di halte itu, Eru tidak langsung beranjak. Sepanjang hari ini ia sibuk memikirkan hadiah pemberian Erwin untuk dirinya. Shina yang bersemangat seperti biasa akhirnya menunjukkan hadiah yang ia dapatkan tanpa diminta. Bahkan setengah memaksa Eru yang tidak tertarik untuk mendengar pengetahuannya tentang kue-kue mungil yang dibawa langsung dari Jerman itu.
Eru juga sudah memeriksa hadiah untuk Kazuki. Isinya sama seperti yang didapatkan Shina juga teman-temannya yang lain. Tetapi, kenapa hadiahnya sendiri yang berbeda?
Eru menatap bola kaca dalam kotak hadiahnya sekali lagi. Ia sudah mengamati benda itu sepanjang perjalanan tadi. Memang tidak ada yang aneh. Hanya bola kaca biasa yang indah. Berisi sebuah cotage mungil dan hamparan salju. Juga sebuah tulisan singkat di bagian depannya yang bertuliskan J' taime.
"Aku mencintaimu," Eru mengartikan tulisan itu sekali lagi dengan suara lirih. Ini menakutkan untuk dirinya. Dan jauh sebelum membuka kotak hadiahnya pun ia memang sudah mengambil keputusan.
Eru memasangkan kembali penutup kotak putih itu lantas membuangnya ke dalam tempat sampah terdekat sambil lalu. Sikapnya tenang seolah membuang hadiah dari seorang teman adalah hal yang biasa saja.
Menyembunyikan fakta betapa jantungnya meronta-ronta dengan gila. Eru mempercepat langkah sehingga rambutnya yang tergerai seolah tersentak-sentak.
Hanya dengan terus memandang bola kaca itu saja membuat Eru kembali teringat pada semua hal ganjil yang dilakukan Erwin di masa lalu. Ah, ya, tepatnya sekitar setahun yang lalu. Memang belum terlalu lama. Beberapa hari setelah ia dan Erwin menjadi dekat lebih dari seorang teman biasa, ia tanpa sengaja menemukan begitu banyak foto-foto dirinya dalam ponsel laki-laki itu. Yah, pada awalnya Eru justru senang. Ia merasa Erwin memang sangat menyukai dirinya. Tetapi makin jauh ia memeriksa foto-foto itu, barulah Eru sadar bahwa kebanyakan adalah foto dirinya yang diambil diam-diam. Tentu saja itu mengerikan! Bagaimana bisa seseorang melakukan itu layaknya seorang stalker!
Mengabaikan napasnya yang mulai terengah. Eru tetap mempertahankan langkah cepatnya. Tentu saja, ia mengingat kembali hari itu. Dan dengan bodohnya ia memaafkan perbuatan Erwin bahkan tanpa meminta penjelasan apa pun darinya. Eru berpura-pura seolah ia tidak pernah tahu tentang foto-foto itu. Alasannya seperti alasan yang dimiliki kebanyakan orang. Melihat betapa tampannya dia dan betapa baik sikapnya. Siapa juga yang tidak akan luluh?
Bagi Eru yang terlalu mudah percaya pada orang lain. Ia berpikir bisa merubah sikap Erwin nantinya. Ia masih sangat yakin Erwin hanya sedikit berlebihan dalam mencintainya.
Kejadian selanjutnya juga berselang tak lama setelah kejadian pertama. Di apartemen Erwin yang luas dan mewah. Ada satu ruangan yang tak pernah dibuka. Erwin mengatakan pada semua teman-teman mereka bahwa ruangan itu hanya gudang biasa. Namun ada satu hari di mana ruangan itu tak terkunci. Dan Eru berani sumpah ia melihat foto dirinya tertempel di dinding. Tapi yang lebih mengerikan dari itu adalah siluet menyerupai manekin di sudut ruangan. Juga bau busuk dan amis yang menusuk hidung.
Sejak kejadian itu Eru berusaha keras untuk menjauh dari Erwin. Sepelan dan sehati-hati mungkin ia lakukan, karena setelah semua yang ia lihat Eru menjadi sangat ketakutan. Ia takut Erwin akan bersikap macam-macam pada dirinya.
Kejadian ketiga terjadi sebulan sebelum keberangkatan Erwin ke Jerman. Pada saat itu belum ada yang tahu Erwin akan pergi dari Tokyo. Hari-hari terasa sangat mencekam saat itu. Karena harus menutup mulut dan memastikan diri tidak akan kelepasan bicara. Sejak itu jugalah Eru berhenti minum-minum. Jika mabuk, biasanya ia akan bicara melantur tanpa ia sadari.
Kembali ke kejadian ketiga. Sebenarnya sebelum kejadian ini, Eru sempat berpikir mungkin pikirannya salah. Mungin dirinya hanya terlalu menduga berlebihan. Hari itu ia, Shina, Hori dan Erwin berkunjung ke sebuah bar. Mereka, kecuali Eru sendiri mabuk dan tidak benar-benar sadar apa yang mereka lakukan. Bahkan di saat seperti itu Erwin masih saja menunjukkan sikap yang baik. Bahkan cenderung lucu. Ketika itu, Hori dan Erwin pulang bersama sementara Eru bersikeras untuk mengurus Shina sendiri. Erwin tidak menyadari ia meninggalkan ranselnya di bawah meja. Eru tidak sengaja menendang benda itu dan segera memeriksanya tanpa pikir panjang.
Selain buku-buku dan peralatan untuk menulis. Eru menemukan beberapa lembar foto mengerikan berisi potongan-potongan tubuh manusia. Anehnya Eru merasa sosok dalam foto itu tidak asing. Eru dengan tangan gemetar mengembalikan foto-foto itu ke tempat semula sembari terus berpikir positif. Mungkin ini hanya cuplikan dari sebuah film. Mungkin ini bukan milik Erwin. Atau mungkin jika ini memang miliknya, pasti wajar bagi laki-laki untuk tidak takut pada foto-foto semacam itu. Eru sendiri tidak mengerti apa gunanya semua foto itu dan bagaimana Erwin mendapatkan semuanya. Eru tidak memiliki jawaban atas pertanyaannya sendiri dan menolak untuk memikirkannya.
Seolah belum cukup membuatnya ketakutan setengah mati. Eru juga menemukan benda-benda bekas pakai seperti sedotan, tisu, bahkan kertas-kertas coretan. Jika tidak mengingat Shina masih bergelayut nyaris tak sadar di sisinya. Mungkin saja Eru sudah pingsan. Ia mengenal semua benda-benda itu. Semuanya tanpa terkecuali adalah benda bekas pakai miliknya. Eru juga masih sangat ingat ketika ia dan Akemi berada di perpustakaan siang ini. Karena bosan, ia membuat gambar-gambar abstrak di selembar tisu. Benda itu juga di sana sekarang.
Eru yang masih begitu terguncang, segera memasukkan benda-benda itu kembali. Sayangnya karena ceroboh, ia justru tidak sengaja menjatuhkan sebuah pisau lipat yang berlumuran darah. Ya. Eru tahu ia tidak gila. Pisau itu memang berlumuran darah. Lantas tanpa mengatakan apa-apa lagi. Eru menendang ransel Erwin mejauh dari kakinya dan menyeret Shina pergi.