Eru memekik kaget saat pintu apartemen Kazuki mendadak terbuka. Tangannya yang gemetar bahkan belum sempat menekan bel pintu.
"Astaga, kau kenapa?" Kazuki meraih Eru ke dalam pelukannya yang hangat.
Eru mengatur napas. Ia merasa lebih baik sekarang. Berada dalam pelukan Kazuki selalu memberinya rasa aman. "Kau sudah pulih? Sudah tidak pusing lagi?"
Kazuki menggeleng keras. "Seharusnya aku yang bertanya, kenapa kau pucat sekali. Apa kau sakit?"
Eru tidak langsung menyahut.
"Atau seseorang mengejarmu?" Kazuki memandang sekeliling sebelum akhirnya menarik Eru masuk dan kembali menutup pintu, tanpa menyadari perubahan pada diri Eru yang tubuhnya membeku.
Kazuki mengusap kedua belah pipi Eru dengan lembut dan penuh sayang. "Sesuatu terjadi?"
Eru memaksakan seulas senyum. Ia mencengkeram kedua tangan Kazuki dan menjauhkannya dari wajahnya. "Tidak. Tidak apa-apa."
Kazuki mengerucutkan bibir dan memasang raut wajah curiga yang lucu. "Kau berbohong, kan."
Eru mendengus tertawa. Tahu benar bahwa itu bukan pertanyaan. "Kurasa aku hanya panik."
"Kenapa?" Kazuki masih menuntut jawaban.
Eru menimbang-nimbang sesaat. Jika ia menceritakan semuanya pada Kazuki, apakah Kazuki akan memercayai dirinya? Terlebih, ia tidak memiliki bukti apa pun. "Akan kuceritakan nanti," janji Eru akhirnya.
Kazuki setuju meski belum puas dengan jawaban itu. Tetapi ia lebih mementingkan Eru ketimbang dirinya sendiri. "Duduklah, akan kubuatkan cokelat panas untukmu."
"Kau sudah pulih?"
"Ya, seperti yang kau lihat," Kazuki menunjuk dirinya dengan senyum bangga.
Eru balas tersenyum, tentu ia percaya. Lantas melanjutkan langkah ke ruang tengah dan duduk di sofa di depan televisi. Ia sudah memutuskan untuk memberitahu Kazuki. Jadi sekarang ia perlu menyusun kata-katanya agar mudah untuk dipahami. Ketiadaan bukti nyatanya sangat mengganggu ketenangan Eru. Tanpa sadar ia terus bergerak-gerak gelisah. Ia ingin membuat Kazuki percaya dan berharap ceritanya nanti tidak terdengar sinting. Sekarang bahkan muncul ketakutan baru, Eru takut Kazuki tidak akan memercayainya.
Mendadak Eru menyadari satu hal. Jika nanti Kazuki tahu dan memercayainya. Lantas apa? Bisakah Kazuki bersikap biasa saja pada Erwin setelah pacarnya terancam bahaya? Argh! Biasa saja apanya?! Selama ini sikap Kazuki memang tidak baik. Ia jelas-jelas masih cemburu pada Erwin. Sial. Eru merasa kedua tangannya gemetar lagi.
Eru masih belum lupa pada ucapan Shina siang tadi. Bagaimana jika hal itu benar-benar terjadi? Bagaimana jika Erwin dan Kazuki akan bertengkar? Dan jika dugaannya benar bahwa Erwin adalah stalker sinting bahkan menyembunyikan kesan sadis di sana sini. Tentu bukan hal mustahil baginya untuk bertindak macam-macam pada Kazuki, kan?
Tidak. Tidak. Eru mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Sekeras mungkin untuk menenangkan diri. Dan berharap mati-matian bahwa semua yang ia lihat adalah kesalahan.
"Eru."
Eru terkesiap keras dan sontak menepis sebuah tangan yang mencoba menyentuhnya. Kedua matanya membelalak menatap Kazuki yang nyaris menumpahkan cokelat panas yang ia bawa. Ikut terkejut melihat reaksi Eru yang aneh dan tidak biasa.
Eru tergagap dan lagi-lagi memaksakan diri untuk bersikap biasa. "Ma-maaf aku terkejut. Kau baik-baik saja?"
Kazuki duduk dan meletakkan cangkir totoro kesukaan Eru di meja. "Kau sedang tidak baik-baik saja, kan. Kau menyembunyikan apa dariku?" Kazuki bertanya dengan sedih.
Eru merasa bersalah. Tapi sebagian dirinya yang waras kini menolak untuk mengatakan yang sebenarnya. "Ya, aku hanya panik. Sesuatu, maksudku aku merasa diikuti orang aneh tadi, karena itu aku takut," Eru tidak yakin apakah Kazuki memercayai kebohongannya atau tidak. Tetapi pacarnya ini tersenyum lembut dan memeluknya lagi.
"Kau tidak terluka, kan?"
Eru mengangguk sekali.
"Syukurlah," Kazuki menepuk-nepuk punggungnya pelan. "Kau selalu bisa menceritakan apa pun padaku. Sekaligus bisa membagi semua kesenangan dan kesedihan yang kau miliki, ingat, tidak ada rahasia di antara kita."
Seketika Eru mengerti jika Kazuki tahu ia sedang dibohongi. Pada detik itu juga Eru merasa sesuatu menusuk-nusuk dadanya. Sakit sekali.
* * *
Eru sudah tidak memiliki alasan untuk menghindari ajakan teman-temannya lagi. Bahkan Kazuki langsung menyambar kesempatan itu untuk menunjukkan sejelas-jelasnya pada Erwin mengenai hubungan mereka. Eru sadar benar ia tidak memiliki sesuatu yang bisa dikatakan untuk mencegah Kazuki. Salah sedikit saja, bisa-bisa dia bersikap menyebalkan lagi. Yah, lebih lagi betapa pekanya Kazuki pada setiap kebohongan Eru. Itu lah sebabnya ia tidak pernah bisa membohongi pacarnya ini.
Seolah-olah belum cukup menambahkan beban pikirannya. Erwin muncul membawa dua kotak hadiah yang ia berikan langsung pada Eru dan Kazuki. Padahal Eru hampir bisa melupakan perihal hadiah-hadiah itu. Yang lebih parahnya lagi, hal ini jelas menimbulkan tanda tanya besar pada teman-temannya. Terutama pada Shina yang merasa sudah menunaikan tanggung jawabnya untuk memberikan hadiah dari Erwin padanya.
Entah harus bersyukur atau tidak karena tidak ada seorang pun yang menanyakan kenapa Eru dan Kazuki mendapat hadiah dua kali. Mungkin mereka cukup peka melihat raut wajah Eru yang gelisah dan gerak-geriknya yang kikuk.
Sementara itu Kazuki, suasana hatinya langsung berubah. Segala semangat yang ia miliki beberapa saat lalu hilang tak bersisa. Kini ia duduk sambil terus mengaduk-aduk makan siangnya dengan ganas.
Eru tidak memiliki selera lagi untuk makan. Ia bergeming memandang dua kotak hadiah di hadapannya. Satu berwarna putih dan yang lainnya berwarna hitam. Sama persis seperti dua kotak hadiah yang ia buang kemarin.
Oh. Eru mendongakkan wajah dengan gerakan tiba-tiba. Pandangannya tepat bertemu dengan sepasang mata dingin yang memandanginya. Erwin duduk sembari bertopang dagu dengan sebelah tangan. Mata birunya yang biasa menunjukkan kesan hangat berubah menjadi sesuatu yang begitu asing. Sorot mata yang terang-terangan menunjukkan peringatan. Atau ancaman? Eru kembali menundukkan wajah dan menarik kedua tangannya yang gemetar dari meja. Firasatnya buruk. Mungkinkah Erwin tahu ia membuang hadiah-hadiahnya?
Nah, sekarang jadi masuk akal. Erwin memberi Eru hadiah baru karena ia memang tahu Eru sudah membuang semuanya.
Susah payah Eru berusaha menelan ludah. Mengabaikan degup jantungnya yang meronta-ronta liar. Ia mengulurkan sebelah tangannya yang masih gemetar untuk membuka sedikit penutup kotak hadiah berwarna putih. Detik itu juga Eru yakin jantungnya berhenti berdetak. Ia mendongak lagi memandang Erwin yang bergeming dalam posisi yang sama masih memandanginya. Lalu kembali menunduk dengan sama cepatnya. Untuk pertama kali dalam hidup. Eru merasa benar-benar sendirian. Bahkan keramaian kafetaria siang ini tidak memberi dampak apa pun baginya. Seolah hanya ada dirinya dan Erwin yang terus memberi tatapan mencekam tanpa ampun.
Ini bahkan bukan hadiah baru. Ini bola kaca yang ia buang kemarin. Eru tidak mungkin salah ingat. Ia tahu itu. Apa Erwin memang seorang stalker? Apa Erwin masih mengikutinya sampai sekarang? Bagaimana bisa benda ini berada di hadapannya lagi setelah ia buang?
Semua pertanyaan-pertanyaan yang berkejaran dalam kepala Eru mendadak menguap saat Kazuki tiba-tiba mengulurkan tangan untuk menyingkirkan penutup kotak. Bisa Eru dengar ia menggumamkan "oh" dengan nada kecewa nyaris di saat yang sama.
"Bagus sekali," katanya dengan suara keras.
Seketika seluruh perhatian di meja teralih padanya. Akemi dan Yama berhenti berdebat. Hori dan Shina berhenti saling mengejek. Keempat pasang mata itu kini memandang Kazuki dan kotak hadiah di hadapan Eru bergantian. Eru tidak berani untuk mengangkat wajah lagi. Ia tidak berani untuk menatap mata Erwin lagi.
"Jam kuliahku selanjutnya akan segera dimulai, sebaiknya aku cepat," kata Kazuki lebih kepada dirinya sendiri. Ia menyentak kursi yang ia duduki sehingga menimbulkan bunyi gesekan keras.
Eru tersentak. Kecewa sekaligus heran kenapa Kazuki langsung pergi tanpa mengajak dirinya.
Tepat saat akan melangkahkan kaki, mendadak Kazuki berhenti. Ia berbalik kembali ke meja, mengambil kotak hadiahnya dan berkata. "Terima kasih hadiahnya, Erwin," dengan ketus. Pun raut wajahnya tidak menunjukkan rasa terima kasih sama sekali.
"Aku senang kau menyukainya," Erwin tersenyum seolah tidak ada yang aneh dari perilaku Kazuki.
Eru membeliak menatap perubahan itu. Kini Erwin kembali menunjukkan sisi hangatnya. Orang ini memang sinting. Eru ikut bangun dan menyentak kursi yang ia duduki, meski tidak sekeras yang Kazuki lakukan dan tidak sampai menimbulkan keterkejutan bagi orang di sekitar. Dengan sangat terpaksa mengambil hadiahnya dan pergi tanpa berkata apa-apa.
Ia berlari-lari kecil mengikuti langkah Kazuki yang cepat sekali. Kali ini Eru harus memastikan ia membuangnya di tempat yang tidak terjangkau. Tapi terlepas dari semua kecemasan konyol ini, Eru merasa sangat terluka atas sikap Kazuki. Ia tidak melakukan kesalahan apa pun. Lantas kenapa Kazuki mengabaikannya.
Di belokan koridor di depan, Kazuki berbelok dan menghilang dari pandangan Eru. Eru melambatkan langkah. Menyerah untuk mengejar Kazuki lagi. Ia berjalan begitu pelan dengan pandangan muram. Otaknya serasa terlalu sibuk sehingga ia tidak tahu mana yang harus ia pikirkan lebih dulu. Sikap sinting Erwin atau Kazuki yang membutuhkan perhatian? Ah, segalanya akan lebih mudah jika saja Kazuki tidak terus-terusan bersikap menyebalkan seperti ini.
Sebuah suara benturan di depan menarik perhatian Eru. Ia kembali melangkah cepat dan melihat Kazuki berdiri di tengah lorong. Ia sedang memandangi sebuah tempat sampah di sudut, seketika Eru sadar. Kazuki baru saja membuang hadiah dari Erwin. Anehnya, hal itu membuat Eru senang.
"Kazuki," Eru berharap suaranya tidak terdengar seputus asa ini. Ia melanjutkan langkah ke tempat Kazuki masih terdiam.
Kazuki menoleh padanya dengan gerakan lambat. Sesaat senyum pahit tersungging di bibirnya yang kaku.
"Aku sangat membutuhkan sebuah pelukan sekarang," Eru berhenti melangkah sambil merentangkan tangan. Lagi-lagi berharap bisa menyembunyikan suasana hatinya yang sebenarnya. Ia masih saja terus gagal membohongi laki-laki yang amat ia sayangi ini.
Kazuki berbalik dan melingkarkan kedua tangannya pada tubuh Eru. "Maaf," ia berbisik dengan suara serak.
"Ini bukan salahmu, aku juga membenci hadiahnya," kalau sudah begini ia bahkan tidak bisa menahan air matanya agar tidak keluar. Rasanya menyakitkan sekali. Pastinya sulit memikirkan sesuatu yang membuatmu ketakutan setengah mati saat pacarmu terus merajuk. Bahwa bahkan di saat mendesak sekali pun, masih ada orang lain yang harus kau prioritaskan melebihi diri sendiri.
Kazuki mengeratkan pelukannya. Menyalurkan kehangatan yang tak pernah ia sadari selalu menjadi sumber kekuatan yang paling Eru butuhkan.
"Maafkan aku, aku sudah keterlaluan sekali."
Eru memejamkan mata. Menyesap sebanyak yang ia bisa aroma tubuh Kazuki yang selalu membuatnya merasa nyaman. Ia ingin mengatakan sesuatu. Ia ingin mengadukan semua kelakuan Erwin padanya. Tapi ia tidak bisa. Tidak jika ia sendiri belum berhasil mengalahkan rasa takut itu. Tidak jika hal itu justru akan membahayakan Kazuki.
"Aku selalu bersikap buruk akhir-akhir ini," Kazuki mendesah penuh sesal. "Maafkan aku, aku tidak seharusnya bersikap seperti itu."
Eru menggelengkan kepala dengan lemah. Masih terlalu sulit untuknya bicara.
"Aku... Aku hanya takut," jeda sejenak. Nampaknya apa pun yang akan Kazuki katakan bukan sesuatu yang mudah untuk diungkapkan.
"Aku takut kau akan berpaling dariku. Aku selalu berpikir, diriku yang biasa-biasa saja ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Erwin."
Eru mendorong tubuh Kazuki menjauh dan melempar tatapan tak setuju padanya. "Ap-"
"Karenanya aku kehilangan kepercayaan diriku."
Jadi begitu? Serendah apa Kazuki menilai dirinya sendiri?
"Kau tahu aku menyayangimu, kan?"
Kazuki tersenyum samar. "Aku tahu, jika tidak untuk apa kau repot-repot mengejarku sampai ke sini."
Eru mendenguskan tawa aneh bercampur tangis.
"Maafkan aku, ya?"
Andai Kazuki tahu, betapa terpesonanya Eru setiap kali ia menunjukkan tatapan hangatnya. Andaikan Kazuki tahu, justru kesederhanaan dalam diri Kazuki lah yang membuat Eru menyukainya. Sangat menyukainya.