"Jadi kau sudah bertemu dengannya?"
Chitanda Eru, gadis berusia awal dua puluhan yang saat itu sedang mengoleskan selai pada roti tawar menghentikan gerakannya dan berbalik untuk memandang sang kekasih yang baru datang. Rambut hitam panjangnya yang tergerai berdesir pelan mengikuti gerak tubuhnya yang anggun.
"Siapa?" Ia bertanya heran. Tatapannya mengikuti langkah Kazuki Doma yang kini berjalan menyeberangi ruangan sembari melepas jaket yang ia kenakan.
"Erwin," sahut Kazuki enggan. Ia menjatuhkan diri di sofa. Seolah hal itu satu-satunya yang ingin ia lakukan sekarang.
Eru menarik perhatiannya kembali pada roti dan selai di konter. Pembahasan apa pun mengenai sosok Erwin Toshiro bukan sesuatu yang ia sukai. Tetapi pacarnya yang satu itu selalu saja mencoba membawa mereka ke dalam pembahasan mengenai Erwin. Tentu Kazuki tak lupa jika dulu Eru pernah dekat dengan laki-laki itu. Jauh sebelum mereka resmi menjadi sepasang kekasih seperti sekarang.
Bagi Eru sendiri, pengalaman pernah dekat dengan Erwin adalah satu hal yang paling ingin ia lupakan melebihi apa pun juga. Bahkan sejujurnya, mendengar kabar kembalinya Erwin ke Tokyo terasa bagai mimpi buruk baginya. Tentu bukan tanpa alasan. Ya, ia akui ia memang pernah dekat dengan laki-laki itu. Di lihat dari luar siapa juga yang tidak senang bisa sekedar dekat dengan sosok bak pangeran yang ketampanannya bagai dicongkel paksa dari buku dongeng? Eru menghela napas tertahan. Ia sama sekali tidak melebih-lebihkan perumpamaan itu. Erwin memang tampan. Ia memiliki tipe wajah yang menenangkan. Tetapi Eru tahu, di balik semua kesempurnaan itu sikap Erwin sangat aneh, bahkan cenderung menakutkan.
Untungnya, tepat sebelum mereka berdua memutuskan untuk meresmikan hubungan. Erwin terpaksa kembali ke tempat kelahirannya di Jerman. Jika hal itu tidak terjadi, entah bagaimana nasib dirinya sekarang, Eru tidak memiliki cukup keberanian untuk membayangkannya.
Dengan mata biru indah itu, siapa pun pasti bisa terpikat dengan mudahnya pada sosok Erwin Toshiro. Begitu juga dengan Eru pada awalnya. Sampai kemudian, satu persatu hal-hal ganjil ia temui. Eru bergidik ngeri. Lantas cepat-cepat menyelesaikan roti selainya. Merapikan kembali selai dan roti ke tempat semula, kemudian membawa roti-roti selainya yang tersaji di atas piring keramik persegi ke meja di hadapan Kazuki.
Eru jadi merasa lelah melihatnya terus-terusan memasang wajah sebal begitu. Ia tidak ingin membahas apa pun lagi mengenai Erwin karena hal itu membuatnya merasa tak nyaman. Tetapi Kazuki malah berpikir itu karena ia masih memiliki perasaan pada Erwin. Sungguh naif sekali.
"Teman-teman akan menyambut kepulangan Erwin, mereka membuat semacam pesta kecil untuknya," kata Kazuki setelah keheningan panjang di antara mereka.
Eru bergeming. Kenapa keinginan terakhir dalam hidupnya harus terwujud dengan cara seperti ini? Ia jelas tidak ingin bertemu Erwin lagi bagaimana pun alasannya.
Kazuki mendengus mencemooh. "Tentu saja, Erwin kami yang spesial. Erwin favorit semua orang. Pasti menyenangkan menyambut dia kembali."
"Aku tidak akan ikut," ujar Eru mengabaikan seluruh ucapan Kazuki seolah semua itu tak pernah ia dengar. Ia menjatuhkan pandangan pada roti selainya di meja yang belum tersentuh, sedih karena mendadak napsu makannya hilang.
"Kenapa? Bukankah akan lebih baik jika kita datang bersama dan menunjukkan pada si anak favorit semua orang itu bahwa kita sekarang pacaran?"
Eru mendesah lelah. Menyeret pandangannya pada Kazuki yang berpaling dengan raut wajah kesal kekanak-kanakkan. Meski begitu, Eru sadari idenya terdengar cukup bagus juga. Lagi pula setelah sekian lama, Erwin pasti sudah melupakan dirinya, kan? Erwin tidak mungkin mengungkit-ungkit masa lalu di antara mereka, kan?
Eru tersenyum samar. Lantas ia mencondongkan tubuh ke arah Kazuki dan memeluknya. "Kau tahu aku sangat menyayangimu, kan? Jujur aku tak suka bertemu dengan Erwin, dia bukan seseorang yang penting bagiku. Tapi jika kau ingin aku datang bersamamu, maka aku tidak akan menolaknya."
Raut wajah Kazuki berubah. Ia tidak bisa untuk tidak tersenyum mendengar kata-kata manis dari gadis yang paling dicintainya.
Eru mendengus tertawa melihat wajah Kazuki yang nampaknya masih ingin mempertahankan keseriusaan yang gagal.
"Yah, itu bukan karna aku cemburu pada Erwin atau bagaimana, tentu aku tahu kau hanya menyukaiku," Kazuki membuang muka menyembunyikan rona merah di kedua pipinya.
Sayangnya hal itu justru membuat tawa Eru semakin keras. Baginya, pipi Kazuki yang memerah bak tomat adalah hal paling menggemaskan di dunia.
.
.
.
Eru tahu Kazuki sengaja berlama-lama memilih pakaian agar mereka datang terlambat. Dengan begitu ia bisa menunjukkan dengan jelas status mereka. Padahal hanya Erwin saja yang belum tahu tentang ini. Namun sayang, ketika ia dan Kazuki tiba di bar sambil bergandengan tangan, malah si pemeran utama yang belum hadir.
Eru bergidik ngeri. Hori yang merupakan teman satu fakultas dengan Kazuki memberitahu mereka alasan keterlambatan Erwin. Katanya ada beberapa hal mendadak yang harus dia urus. Apakah Erwin hanya berasalan? Ia tidak tahu. Eru hanya ingin bisa berhenti memikirkan laki-laki itu.
"Kenapa kau diam saja, Eru? Tidak biasanya kau begitu," Tanya seorang gadis berambut cepak yang duduk bersebarangan dengan Eru. Ia terlihat mengantuk dan cara bicaranya seperti melantur.
"Seharusnya aku yang bertanya kenapa padamu, acara ini belum dimulai tapi kau sudah mabuk duluan," Eru memasang raut wajah sok keras yang dibuat-buat.
Kedua teman Kazuki yang duduk di kedua sisi gadis berambut cepak itu ikut tertawa mendengar omelan Eru.
"Kau masih payah dalam urusan menasehati orang lain," ujar laki-laki berhodi merah di sudut. Ia menjulurkan sebelah tangannya yang memegang segelas kecil berisi soju pada Eru.
Eru mendengus padanya. "Kau juga sama saja."
"Sudah, biarkan Yama dan Shina bertindak sesuka mereka," seorang gadis berambut sebahu berkaca mata yang duduk di sebelah Eru berkata.
"Ayo bersulang denganku lagi, Akemi!" Seru laki-laki berhodi merah tadi yang dipanggil Yama. "Dan juga, aku tidak mabuk. Setidaknya belum."
Akemi mengabaikannya dan bersikap seolah tidak mendengar apa pun.
Hori terkekeh memperhatikan raut wajah Yama yang berubah kecewa. Sampai kemudian Shina, gadis berambut cepak yang duduk di sebelahnya itu mendadak limbung. Hori langsung menariknya menjauh dari meja.
"Hoi, jangan muntahi mejanya!" Ia berseru panik.
"Tidak, tidak, aku belum mabuk..."
"Ah, acara ini kacau sekali," desah Kazuki setelah menegak segelas soju.
Eru mengalihkan pandangan padanya dan tersenyum pahit. Sadar bahwa ada yang lebih kacau ketimbang acara ini. "Kau baik-baik saja? Apa kau ingin pulang sekarang?" Ia menepuk-nepuk punggung Kazuki penuh sayang.
"Tidak, aku baik-baik saja, kok."
Eru jadi ikut sedih melihat Kazuki sedih begini. Ia tidak mengerti kenapa Kazuki harus bertindak sejauh ini hanya untuk mendapat pengakuan dari Erwin. Bagi Eru, bahkan tanpa pengakuan Erwin mengenai hubungan mereka sekali pun, hubungan mereka tetap akan baik-baik saja.
"Hei, hentikan itu," kata Yama sambil mengibas-ngibaskan sebelah tangan ke arah Eru dan Kazuki. "Aku tahu kalian pacaran, tapi jangan lakukan hal-hal yang pasangan lakukan di hadapan kami. Seharusnya kau lebih menghargai kami para kaum sendiri."
Eru meringis mendengarnya. Sementara Akemi di sebelahnya menggumamkan sesuatu seperti "hanya kau saja yang sendiri" dengan raut wajah tenang seperti biasa.
"Siapa yang pacaran?"
Seketika semua perhatian teralih pada sosok jangkung di sisi lain meja. Namun keterkejutan itu segera mencair karena Erwin segera tersenyum dan menyapa semua orang di sekitarnya dengan ramah. Ia tidak banyak berubah. Sosoknya masih sama seperti yang terakhir kali Eru lihat.
Untuk beberapa saat meja yang mereka tempati berubah ramai dengan ucapan-ucapan sambutan dan bertukar kabar. Eru memasang senyuman yang dirasanya aneh. Memandang sekeliling pada wajah-wajah teman-temannya yang berubah antusias tanpa memiliki keinginan untuk bergabung ke dalam obrolan mereka.
"Ah, Eru, sudah lama sekali, ya?" Erwin mengulurkan sebelah tangan pada Eru, sengaja menyisakan dirinya sebagai yang terakhir.
Teman-temannya ber "oh" ria dengan suara rendah. Eru bergeming gugup sementara terus berusaha menghindari tatapan Erwin padanya.
"Ya," ujar Kazuki memecah keheningan ganjil itu. Ia melingkarkan sebelah tangannya pada bahu Eru sambil tersenyum lebar. "Aku berpacaran dengan Eru sekarang."
Eru bersyukur karena Kazuki sudah mengatakan hal itu mewakili dirinya. "Ya, itu benar," ia menimpali dengan senyum manis tanpa dibuat-buat.
"Hah, bukankah sudah kubilang jangan bermesra-mesraan di depan kami? Kalian sangat menyinggungku tahu," Yama memprotes lagi sambil mencoba menjauhkan Kazuki dari Eru.
"Apa-apaan sih, hanya kau saja yang tersinggung tahu," Akemi melipat kedua tangannya di d**a, menunjukkan betapa terganggu dirinya dengan sikap Yama.
Yama menekan dadanya dengan sebelah tangan. "Astaga, hatiku sakit sekali," ia berkata dengan dramatis.
"Wah, kalau begitu apa jangan-jangan kau sudah memiliki pacar, Akemi?" Shina melemparkan pandangan curiga padanya. "Kau menyembunyikan pacarmu dari kami, kan?" Ia tersenyum menggoda membuat Akemi yang biasanya selalu terlihat tenang tersipu.
Eru yang terkejut sekaligus senang melihat reaksi Akemi langsung menyikunya sambil menunjukkan senyum menggoda yang sama seperti yang dilakukan Shina. "Ah, bagaimana kau bisa menyembunyikan itu dari kami?"
Wajah Akemi yang bersemu merah berubah serius. "Sudahlah, aku tidak pernah mengatakan aku sudah punya pacar, kok."
Suasana kembali cair dipenuhi obrolan mengenai hal-hal yang kebanyakan tak penting. Pun Eru lega karena dengan begini ia tidak perlu mengobrol apa pun dengan Erwin.
Sebaliknya tanpa Eru ketahui. Erwin yang diam dan jarang bicara itu terus memperhatikan dirinya. Menyembunyikan sebuah keinginan besar di balik sorot mata birunya yang terkesan hangat.