Maaf banyak typo
Mendapat tatapan tajam dari sang mandor, seorang laki-laki tinggi kurus yang sedang dalam tahap pertumbuhan masa remajanya, sontak bangkit dengan cepat dari dudukan pasrahnya diatas tanah lembab yang membuat celananya kotor bahkan pantatnya juga terasa sedikit basah saat ini, tapi di biarkan saja oleh laki-laki itu. Acara mencuri sedikit waktu istarahat karena rasa lelah yang sudah tak terbendung tadi sudah
kepergok oleh bossnya saat ini. Membuat laki-laki tinggi kurus itu bangkit dengam cepat dari dudukannya, dan menundukkan kepalanya dalam. Takut, dan merasa bersalah, takut di pecat, merasa bersalah karena mangkir dari tugas, dan tanggung jawabnya walau baru hanya dua menit ia mendudukan dirinya di jam yang bukan jam istrahat.
"Mau gajimu ku potong?"Ketus sang mandor pada laki-laki tinggi kurus itu.
Jelas, laki-laki tinggi kurus itu menggeleng keras dengan kepala yang menunduk dalam. Gajinya saja pas-pas bahkan kurang untuk memenuhi kehidupannya yang malang, apalagi sampai di potong, hidupnya akan semakin malang,
dan gizi yang di dapat tubuhnya semakin buruk karena tidak bisa mendapat, dan memakan, makanan yang bergizi.
"Kerja cepat, kalau tidak ingin gajimu di potong!"bentak Mandor itu keras, membuat para pekerja lainnya yang sedang bekerja menoleh penasaran pada mereka, tapi hanya sebentar, karena lagi-lagi sang mandor yang berperut buncit tersebut melempar tatapan tajam untuk para pekerjanya yang malas, karena menghentikan sesaat pekerjaan mereka karena rasa kepo, dan penasaran mereka.
Tanpa kata, laki-laki tinggi kurus itu segera berlari menuju bagian pekerjaannya. Yaitu sebagai
tukang angkut batu bata untuk pembangunan sekolah baru di kampung kecil mereka.
Tubuhnya yang kurus, dan tinggi pura-pura mengambil, dan menyusun batu bata diatas kereta pengangkut agar ia terlihat sudah, dan sedang bekerja di pandangan sang mandor. Benar saja,melihat ia yang mulai bekerja, sang mandor yang memandor pekerjaannya hampir dua minggu ini pergi melangkah untuk memeriksa, dan melihat para pekerja lainnya.
Laki-laki tinggi kurus itu dengan cepat, meletak'kan kembali beberapa bata yang ia genggam dengan tangan kasar, dan ringkihnya.
Tangannya dengan cepat, merogoh, dan mengambil sesuatu dalam kantung celananya.
Selembar foto ukuran 5×6 yang sudah di press rapi, di pandang dengan tatapan binar bahagia, dan semangat oleh anak laki-laki yang berusia 17 tahun itu.
Foto sepasang suami isteri yang terlihat bahagia dengan seorang anak laki-laki yang terlihat tampan, dan sehat dengan senyum lebar yang terlihat natural, menandakan betapa bahagianya hidup mereka.
Berbanding terbalik dengan hidupnya yang, ah, kepala laki-laki tinggi kurus itu menggeleng keras.
'Tidak! jangan membandingkan dirimu yang rendah dengan mereka':Bisik batinnya malu.
"Walau keberadaanku tidak diinginkan oleh kalian. Aku tetap mendamba, dan merindu kalian. Ingin melihat, dan bertemu kalian secara langsung."bisiknya lirih penuh harapan, tatapannya yang penuh binar bahagia, dalam sekejap meredup, tapi kedua bibir tebal keringnya tetap menyunggingkan senyum lebar khasnya. Seakan orang-orang yang ada dalam foto itu dapat melihat senyumannya.
Sebentar lagi... janji remaja laki laki itu dalam hatinya...
****
Athar berdirii bagai orang bodoh di depan Inne yang bersimpuh menyedihkan di depannya. Air mata wanita yang sudah menemaninya selama kurang lebih delapan tahun ini mengalir dalam diam dengan deras. Membasahi kedua pipinya yang memang sudah terlihat pucat tadi semakin pucat saat ini.
Diam-diam tanpa sepengetahuan Inne, Athar sudah menghubungi dokter keluarganya untuk memeriksa keadaan Inne.
Athar tidak mau munafik, rasa cinta, kasih, dan sayangnya masih sepenuhnya menjadi milik Inne, hanya untuk Inne seorang, tapi...Athar menggelengkan kepalanya tegas, melarang otaknya untuk memikirkan hal itu.
Athar tidak tau, kata apa yang tepat untuk membuat tangisan Inne berhenti, dan mau mengerti akan keputusan yang baru saja ia lontarkan tadi. Keputusan untuk menghentikan, dan mengakhiri hubungan mereka cukup hanya sampai di sini.
Ah, Athar melupakan sesuatu. Tanpa kata, Athar membalikkan tubuhnya, dan melangkah lebar meninggal Inne yang semakin shock, dan tak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini.
Athar meninggalkannya tanpa sepatah kata'pun. Belum menjelaskan secara detail mengapa ia mengakhiri hubungan mereka.
Atau Athar hanya sedang mengerjainya?
Tidak, sepertinya Athar memang benar-benar mengakhiri hubungan mereka, dan meninggalkannya dengan kejam tanpa kata bersama janin malang yang sudah bersemayam di dalam rahimnya.
Ah, tidak! Ternyata Athar tidak meninggalkannya. Di sana, di depannya , Athar kembali melangkah menujunya dengan sebuah tas kecil di tangan kanannya. Tas yang selalu Athar isi dengan beberapa keperluannya apabila laki-laki itu menginap disini.
"Athar ...kamu hanya mengerjaiku. Kamu menginap, kan, sayang malam ini, besok, dan lusa atau seminggu penuh kamu akan menemaniku di sini."Ucap Inne senang, dan dengan susah payah
berusaha bangkit dari dudukan menyedihkannya diatas lantai. Untuk menggapai tangan Athar, dan mengambil alih tas yang berisi beberapa lembar pakaian baru Athar di tas itu.
Athar ikut membantu Inne, membawa lembut tubuh Inne duduk di sofa empuk mahal yang di beli Athar untuk Inne satu tahun yang lalu.
"Inne..."Panggil Athar dengan senyum hangatnya, tapi tidak bisa di bohongi, sinar kedua matanya saat ini, menampilkan sinar gusar, marah, dan sedih. Semua bercampur menjadi satu.
"Maaf."bisik Athar dengan nada dingin.
Membuat inne mengernyitkan keningnya bingung, dan menatap penuh tanya pada Athar.
Tadi terlihat menyesal, sedih, dan sekarang terlihat dingin tak tersentuh. Sebelumnya Athar tak pernah seperti ini, berubah cepat dalam waktu seperkian detik.
Ather melirik kearah tas kecil yang sudah laki-laki itu letakkan diatas meja, dan Inne ikut melirik kearah pandangan Athar. Itu pasti selembar atau dua lembar baju baru Athar.
"Aku akan menyimpan tas ini dulu di kamar. Kamu mandi'lah. Kamu pasti lelah'kan dua hari ke luar kota, dan langsung datang ke sini."Ucap Inne lembut, dan tangannya menggapai tas kecil itu dengan kening berkerut.
Terasa sedikit keras, dan berlipat-lipat.
Seperti bukan baju.
"Itu uang."Ucap Athar masih dengan nada dinginnya.
Inne kaget, dan menatap Athar penuh tanda tanya.
"Berhentila bekerja, Inne. Hidup bahagia'lah walau tanpa diriku. Setiap bulan akan aku kirim uang untuk kehidupanmu sampai kau menemukan sosok penggantiku, walau kau sudah memiliki pasangan sekalipun, akan tetap ku bantu urusan finansialmu bersama dengan suamimu, apapun yang kau minta akan aku loloskan, asal bukan permintaan untuk tetap bersamaku,"
"aku tidak bisa. Maafkan aku."Ucap Athar dengan pandangan gusar, dan tidak berani menatap kearah Inne.
Inne masih diam membeku, shock, dan tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan.
Athar, lak-laki itu tanpa menunggu jawaban dari Inne bangkit dengan cepat dari atas sofa, dan melangkahkan kakinya untuk segera keluar dari rumah mungil yang penuh dengan kenangan indah, suka, duka bersama Inne selama sekian ribuan hari yang sudah terlewati oleh mereka berdua.
Inne tersadar dari keterkejutannya di saat Athar sudah berada di ambang pintu.
Inne spontan berdiri, dan menjeritkan kata yang membuat tubuh Athar menegang kaku di ambang pintu sana mendengarnya...
"AKU SEDANG HAMIL ANAKMU, ATHAR. AKU SEDANG HAMIL ANAKMU SAAT INI...!"
Tbc