DUA

1833 Words
Maaf banyak typo "Aku minta maaf."Ucap suara itu berat dengan nada menyesal yang dalam. Inne yang membisu sedari lima menit mobil melaju menuju rumahnya, menoleh dengan gerakan kaku kearah seorang laki-laki yang barusan meminta maaf dengan nada menyesal padanya. Tatapan laki-laki itu lurus ke depan, sedang fokus mengemudikan mobilnya di jalan yang lumayan padat siang ini. Tidak mendapat balasan tatapan dari laki-laki itu, Athar Prayoga, Inne membuang tatapannya kearah jendela bahkan Inne duduk menempel dengan pintu mobil. Menahan rasa sesak di hati, dan rasa perih yang menyapa pergelangan tangan kanannya saat ini. Inne sedih, sangat sedih. Apakah Athar tadi tidak bisa melihat wajah pucat pasih, dan menahan sakit yang teramat dalam pada wajahnya tadi, bahkan hingga saat ini? Wajahnya masih sangat pucat. Tapi, rasa sakit, dan mual yang ia rasakan sudah hilang entah kemana, sejak Athar berada dalam jarak dekat, dan duduk di sampingnya. Athar, menyemburkan kata-kata marah yang tidak bisa laki-laki itu tahan untuk tak menyakiti hatinya, bahkan fisiknya juga ikut terluka. Marah, laki-laki itu marah melihat ia yang duduk bagai gembel di pinggir jalan. Tidak memberi kesempatan sedikit'pun untuk dirinya menjelaskan terlebih dahulu, mengapa ia bisa berakhir di pinggir jalan dengan posisi duduk yang menyedihkan seperti tadi. Inne semakin menempelkan tubuh mungil rapuhnya di pintu mobil. Di saat indera pendengarnya mendengar dengan jelas tarikan kasar, dan hembusan kasar nafas Athar di sampingnya. "Aku bodoh. Kamu nggak mungkin melakukan hal bodoh, dan memalukan seperti tadi. Duduk bagai gembel, dan seperti orang hilang akal tanpa ada sebabnya. Maafkan laki-laki bodoh ini."Ucap Athar dengan nada yang menyiratkan rasa sesal yang teramat dalam. Inne menoleh kearah Athar. Bukan, bukan untuk melihat wajah laki-laki itu, Inne menoleh dengan tatapan bertanya, karena Athar membelokkan mobilnya ke jalur lain, bukan jalur menuju rumahnya, bahkan Athar saat ini menghentikan mobilnya juga di pinggir jalan. "Inne..."Panggi Athar lembut, tapi kedua manik hitam pekatnya terlihat dingin, dan tajam, dan tangannya yang kekar, dan lebar telah menggenggam, dan meremas lembut tangan Inne yang berada di atas kedua paha wanita itu. Terlambat, Inne masih sakit hati, sangat sakit hati pada Athar. Ingin sekali Inne menarik tangannya dari genggaman Athar, tapi Athar menggenggam tangannya begitu erat. Inne menyerah, dan balas menatap Athar dengan tatapan nanar setelah ia melirik sekilas kearah pergelangan tangan kanannya yang memerah, karena cengkraman kuat penuh kemarahan Atahr di pinggir jalan tadi. "Maaf. Maaf."bisik Athar lagi lirih. Membuat air mata yang di tahan Inne sedari tadi akhirnya luruh, melewati, dan membasahi kedua pipinya. Athar laki-laki terhormat, terpandang, laki- laki hebat, di segani banyak orang. Wajar Athar marah padanya. Ia sudah di kenal publik sebagai kekasih Athar, memalukan, sangat memalukan dengan apa yang ia lakukan tadi, walau bukan kehendak, dan keinginan dirinya sendiri. Tak mendapat respon dari Inne. Athar membuka sabuk pengaman yang merantai dirinya, dan setelah terbuka, Athar menjatuhkan kepalanya di atas kedua paha Inne. Menenggelamkan kepalanya sedalam mungkin di paha Inne dengan seluruh tubuh yang telah bergetar kecil menahan isak tangis. "Athar...."panggil Inne pelan. Inne mengelus lembut bahu bergetar Athar. Hati Inne dalam sekejap luluh lantah, terharu melihat kesungguhan, dan rasa sesal yang teramat dalam, dalam kedua bola mata hitam pekat Athar, dan dari nada suara laki-laki itu. "Aku sudah memaafkanmu."Ucap Inne dengan nada tulusnya. Perlahan tapi pasti, kepala Athar yang tenggelam di paha Inne terangkat. Inne menegang melihat wajah Athar yang basah, dan memerah. Athar menangis? Menangis dengan begitu hebat dalam diamnya barusan? Terlihat dari banyaknya jejak air mata di kedua pipi tirus laki- laki itu. "Athar..."Panggil Inne dengan nada bergetarnya. "Maafkan aku."bisik Athar pelan. Inne mengangguk lembut. "Sudah berapa tahun kita bersama?"Tanya Athar tiba-tiba dengan pelan, dan membuang tatapannya kearah lain. Deg! Inne meneguk ludahnya kasar, entah kenapa dalam sekejap, jantungnya berdebar dengan begitu kuat di dalam sana diiringi rasa sesak, dan sakit yang luar biasa. "Kenapa? Kenapa bertanya seperti itu? Ka- kamu pasti tau sudah berapa lama kita bersama."Ucap Inne pelan dengan nada terbata di akhir ucapannya. "Sudah tujuh tahun..."Sambung Inne dengan nada yakinnya. Ya, mereka sudah menjalin hubungan tujuh tahun lamanya, sejak keduanya duduk di bangku kelas 3 SMA. "Maafkan aku."Athar meminta maaf lagi. Membuat jantung Inne semakin berdebar menggila di dalam sana. Inne reflek mengambil tangan besar, dan lebar Athar di atas paha laki-laki itu, menggenggamnya lembut, tapi...Athar menarik lembut tangannya tanpa melihat kearah wajah tegang, dan takut Inne sedikit'pun. "Jangan membuatku takut."Bisik Inne memohon. "Kita bahas di rumah nanti. Kita ke rumah sakit dulu. Kamu sakit." Ucap Athar dingin, sekali lagi tanpa menoleh kearah Inne. ***** Inne menundukkan kepalanya dalam, tak kuasa mendapat tatapan tajam dari Athar. Bagaimana tidak di tatap tajam oleh Athar, Inne menolak keinginan Athar yang ingin membawa dirinya ke rumah sakit. Membuat Athar marah, dan mendiamkannya seperti saat ini dengan raut wajah datar yang membuat Inne sedih melihatnya. Bahkan Athar juga memberi pilihan lain pada Inne, tidak ke rumah sakit, tapi mendatangkan dokter ke rumah, dan Inne menolak tegas keinginan Athar. Dua-duanya. Inne menolak karena ia sudah tau mengapa ia bisa sakit, dan terlihat pucat seperti saat ini. "Athar... maaf." Lirih Inne pelan. Kedua matanya dalam sekejap sudah berkaca- kaca. Inne benci pada dirinya yang akhir-akhir ini, ia dapat merasakan dengan jelas perubahan moodnya selama dua minggu belakangan ini, ia juga sangat cengeng, dan bagian yang ini sangat tidak di sukai oleh Inne. Karena Ia sudah terbiasa kuat, dan tegar dalam menjalani masalah hidupnya yang pelik, dan berliku. Hanya satu yang tak bisa Inne untuk bisa kuat, dan tegar, yaitu apabila Athar pergi dari hidupnya. Tidak! Itu menyeramkan untuk di bayangkan oleh Inne, apalagi saat ini sudah ada janin, hasil buah cinta mereka yang sedang tumbuh sehat di dalam rahimnya. Inne sudah berdiri tepat di depan Athar. Menubruk tubuh Athar kuat membuat Athar bahkan terhuyung beberapa langkah kebelakang. "Maaf. Aku nggak apa-apa makanya aku menolak ke dokter." "Tadi aku memang sempat pusing. Tapi sekarang sudah nggak lagi, Athar. Jangan mendiamkanku seperti saat ini. Maafkan aku, ya."Ucap Inne dengan nada memelasanya dengan kepala yang tenggelam dalam di depan d**a bidang Athar, kedua tangannya yang rapuh, mendekap begitu erat tubuh tegap Athar, seakan takut, Athar akan menghilang di depannya saat ini juga untuk selama-lamanya dari hidup, dan pandangannya. Apalagi perkataan, dan pertanyaan Athar yang aneh saat di dalam mobil tadi. Membuat pikiran Inne di penuhi pikiran negatif, dan takut yang lebih mendominasi. Takut Athar akan meninggalkannya. "Please, ngomong, Athar."Lirih Inne memelas. Tapi sayang, Athar masih diam, bahkan kedua tanganya tidak membalas pelukan erat Inne sedikit'pun. Membuat Inne melepas dengan berat hati pelukan kuatnya pada tubuh Athar. Mundur dua langkah, menatap Athar dengan tatapan sedih, dan nanarnya. "Athar..."Panggil Inne pelan sambil mengguncang lembut lengan Athar. Karena melihat tatapan Athar yang terlihat kosong? Athar tersentak kaget, semenit sebelum Inne mendekap tubuhnya, Athar melamun, dan meresapi dalam diam, rasa, dan bagaimana cara Inne mendekap dirinya, sebelum...ah, Athar menggeleng pelan, dan menatap dalam kearah wajah sedih Inne. Athar merenggut tubuh Inne, tubuh wanita yang sudah mengisi hati, hari-harinya, dan hidupnya selama hampir delapan tahun lamanya. Athar mencium lembut puncak kepala Inne dengan tatapan nanar yang menatap kosong kearah depan tanpa Inne ketahui, dan sadari. "Aku marah, dan merasa menjadi pria paling b******k di dunia ini. Aku marah pada diriku sendiri, melihat betapa menyedihkan kamu yang duduk tak berdaya diatas trotoar tadi." "Kamu udah bilang sama aku sejak kemarin lusa, kamu nggak enak badan. Tapi aku nggak peka, dan malah pergi...pergi keluar kota, meninggalkan kamu yang sakit seperti saat ini." "Maafkan aku, Inne. Aku adalah pria bodoh, dan tak peka terhadap wanitanya."bisik Athar pelan tepat di depan telinga Inne. Inne diam, tapi kedua tangannya semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Athar. Memeluk Athar penuh cinta, dan kasih. Athar, laki-laki yang menemani suka dukanya selama delapan tahun berlalu, Athar juga adalah laki- lakinya yang menjadi penopang hidupnya selama ini, finansial, kasih sayang, perhatian, semuanya, Inne dapat dari Athar. Athar adalah laki-laki terbaik setelah ayahnya. Ayahnya yang sudah tiada. "Aku yang salah. Aku buat kamu marah, padahal kamu ajak aku ke rumah sakit untuk kebaikan aku sendiri. Maafkan aku." "Aku tidak apa-apa. Kamu kan kerja kemarin, harus ke luar kota. Kamu kerja keras untuk kita'kan, Thar? Untuk kehidupan kita setelah menikah nanti?"Ucap Inne dengan tatapan penuh harapan. Harapan dapat menikah dengan Athar. Harapan Athar menjadi jodohnya, jodoh dunia akherat. Inne tersenyum lebar mebayangkan ia menikah dengan Athar, Athar mengetahui dirinya yang hamil, Athar sangat bahagia, dan mereka akan hidup bahagia. Selamnya, semoga saja. Tapi, tiga detik senyum lebar yang tersungging di bibir Inne, harus lenyap tak bersisa di saat Athar melepas dengan lembut pelukan mereka, dan melangkah mundur dua langkah kebelakang. Kepala Athar menggeleng, dengan senyum pahit yang tak enak di pandang oleh mata Inne saat ini terpatri di kedua bibir Athar, dan sial! Kembali rasa takut mendominasi diri Inne, dan jantungnya juga perlahan tapi pasti mulai berdebar tak normal, diiringi rasa sesak yang menyiksa. "Inne...."Panggil Athar pelan, bersamaan dengan tubuh tinggi tegap laki-laki itu yang melorot ke lantai dengan kedua lutut yang menjadi sandarannya. Entah kenapa, Inne spontan melangkah mundur. Menatap dengan tatapan was-was pada Athar. "Inne...Inne sayang."Panggil Athar lembut masih diringi senyum pahit yang tersungging di kedua bibirnya. Athar melangkah mendekat pada Inne dengan kedua lututnya. Deg! Inne kaget melihat air mata Athar yang mengalir dengan mulus membasahi pipinya, dan Inne semakin kaget di saat Athar bersujud di depan telapak kakinya. "Athar...apa yang kau lakukan. Bangun Athar."Inne menjongkok pelan di depan Athar, menarik kedua bahu Athar lembut, agar Athar segera bangkit dari sujudnya. Tapi, sedikit'pun Athar tidak merubah posisinya, masih bersujud dengan kepala yang berada tepat di depan kedua jari-jari kakinya. "Atha---" Ucapan Inne terpotong, di saat kedua manik coklat terangnya melihat beludru warna hitam bentuk hati yang di keluarkan Athar dari genggaman telapak tangannya sedari tadi. Yang di genggam Athar diam-diam tanpa di lihat, dan di sadari oleh Inne. "Athar..."jerit Inne bahagia. Athar melamarnya, oh Tuhan...akhirnya... dengan segera menjatuhkan tubuhnya di depan Athar, mengelus sayang kepala Athar dengan tangan lembut, dan halusnya. Anak yang di kandungnya akan menjadi kado terindah untuk Athar dalam pernikahan mereka. "Kamu melamarku? Aku mau Athar. Aku mau."Ucap Inne antusias. Athar mengatakan padanya, mereka akan menikah tahun depan. Tapi, Athar melamarnya saat ini. Pernikahan mereka di percepat. Inne bahagia, sangat bahagia. Athar mengangkat kepalanya pelan. Menatap Inne dengan tatapan nanar, dan menyesalnya. "Maaf. Aku...aku tidak pantas untukmu, Inne. Pertunangan kita batal. Maafkan aku. Cincin yang di pakaiku ada dalam kotak ini. Maafkan aku. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini lagi. Terimah kasih untuk tujuh tahun kebersamaan kita. Aku masih mencintaimu, tapi aku merasa bukan laki- laki terbaik untuk dirimu. Maafkan aku." Inne seakan menjadi  tuli dalam sekejap, pura-pura tak mendengar ucapan demi ucapan pahit yang keluar dari mulut Athar.  Pertama, matanya menatap dengan tatapan liar pada kedua tangan Athar, tepat di jari manisnya. Dan benar saja, di sana...sudah tidak ada cincin yang melingkar. Lalu, kotak yang berisi cincin itu, tiga tahun yang lalu seingat Inne kotaknya berwarna merah, tapi sekarang kotaknya berwarna hitam....Inne menggeleng keras, dan membekap mulutnya kuat dengan kedua tangannya. Pantas warna hitam, Athar memberi warna duka untuk mengembanlikan cincin itu padanya. Inne sontak memeluk perutnya dengan kedua tangannya. Menghiraukan ucapan demi ucapan maaf yang terlontar dari mulut Athar. Anakku.... Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD