EMPAT

856 Words
Maaf banyak typo Happy reading. ... ..... ... Satu minggu berlalu. Satu minggu sudah hidup Inne bagai mayat hidup. Setelah ia meneriakkan kata-kata tentang keadaannya yang berbadan dua pada Athar, tidak ada hasil yang di dapat Inne. Awalnya setelah mendengar teriakan kencang dirinya yang menyatakan kalau ia tengah mengandung anak Athar. Athar berniat membalikkan tubuhnya untuk menatap kearahnya, tapi suara ponsel Athar dengan nada dering panggilan yang berbeda, membuat Athar mengurungkan nitanya untuk menatap kearahnya. Mengangkat panggilan itu cepat, dan dengan gestur tubuh yang terlihat panik setelah Athar mengobrol dengan orang yang menghubunginya di seberang sana, tanpa sepatah kata yang keluar dari mulutnya, Athar pergi meninggalkan dirinya tanpa menoleh sedikit'pun aplagi memberi respon tentang kabar gembira yang ia teriakan untuk Athar. Kabar ia yang sedang mengandung anak laki-laki itu. Nada dering ponsel Athar sudah di ganti oleh Athar? Kapan? Baru dua hari mereka tidak bertemu, mungkin dalam waktu dua hari di saat Athar ke luar kota untuk urusan pekerjaannya, apa ada hal yang terjadi? Tapi, apa? Apa yang membuat Athar berubah bahkan sampai memutuskan hubungan dengannya dengan mudah? Apa iya karena kedua orang tua Athar? Yang memang tidak suka padanya sejak awal. Awalnya suka, kedua orang tua Athar suka pada dirinya sebagai teman Athar. Ia yang pintar, ramah, dan baik, langsung di sukai oleh kedua orang tua Athar di saat pertemuan pertama mereka, Athar membawa dirinya sebagai teman. Tapi, setelah Athar membawa ia ke rumah laki-laki itu untuk kedua kalinya, mengenalkan dirinya sebagai kekasih Athar, pandangan kedua orang tua Athar langsung berubah dalam sekejap, memandang seperti orang tak suka terhadapnya, dan tidak pernah lagi mengajak dirinya untuk mengobrol, dan tak pernah turun dari kamar mereka di saat Athar mengajak dirinya untuk main ke rumahnya, dan belajar bersama. Inne merasakan ketidaksukaan kedua orang Athar dengan jelas, berniat mundur, dan ingin mengkahiri hubungannya dengan Athar di awal. Cukup berteman saja. Tapi, Athar berhasil membujuk, meyakinkannya dengan kerja keras, dan usaha penuh. Mengatakan padanya, kalau kedua orang tuanya pada akhirnya akan suka, dan menerima dengan lapang hati, dan senyum lebar dirinya suatu saat nanti. Tapi, Athar salah. Apa yang di janjikan, dan di ucap laki-laki itu tidak terjadi. Tujuh tahun berlalu, perasaan, dan pandangan orang tua Athar terhadap dirinya masih sama. Masih menatap dirinya dengan tatapan dingin tak tersentuh. Bahkan Athar, menginkari janjinya, meninggalkannya dengan kejam, tanpa alasan yang jelas. Meninggalkan dirinya dalam kondisi hamil, hamil anak laki-laki itu. Inne menyeka titik keringat yang mengumpul dengan cepat di keningnya. Matahari sangat terik pagi ini, padahal jam masih pukul sembilan, tapi panasnya membuat kulit rapuh, dan putih Inne seakan terbakar, dan berubah menjadi warna kemerahan dalam sekejap. "Maaf, Neng. Ini sepertinya motor kita nggak bisa masuk lebih dalam lagi. Macet, Neng. Sudah di penuhi mobil ini jalan kompleknya."Ucap tukan ojek itu tak enak pada Inne, dan menatap dengan tatapan menyesal kearah wajah Inne yang menyiratkan raut wajah bingung, dan bertanyaa saat ini. "Saya turun di sini saja, Pak. " Inne turun dengan tak sabar dari boncengan bapak-bapak 40-an tahun yang membonceng dirinya, dan menyerahkan uang selembar dua puluan ribu di tangan tukang ojek tersebut, dan berjalan cepat untuk membayar rasa pensarannya mengabaikan panggilan bapak-bapak tukang ojek yang ingin memberi kembalian uangnya. "Ada apa? Kenapa ramai sekali mobil yang terparkir di sini?"Gumam Inne dengan kedua tangan yang tanpa sadar mengelus lembut perutnya yang sudah sedikit membuncit saat ini. Komplek perumahan mewah milik kedua orang Athar ramai, ramai oleh mobil-mobil mewah yang terpakir rapi memenuhi jalan. "Nak..."bisik Inne cemas. Memanggil lirih pada anaknya yang masih berbentuk janin saat ini. Tidak bisa Inne hindari, rasa cemas, dan takutnya saat ini. Ternyata mobil yang parkir memenuhi jalan komplek perumahan mewah ini merupakan tamu yang hadir di rumah kedua orang tua Athar. Tanpa bisa di cegah lagi, untuk lebih berhati- hati dalam melangkah, karena keluarnya flek dari pusat intimya beberapa hari yang lalu. Inne berlari secepat yang ia bisa untuk menuju gerbang tinggi besar rumah Athar yang terbuka lebar saat ini di depannya sana. "Mbak Inne..." Inne menghentikan lariannya, dan memberi senyum tipis di wajahnya yang terlihat kelelahan, dan berkeringat saat ini pada satpam yang bekerja di rumah Athar yang sudah Inne kenal sejak delapan tahun yang lalu. "Pak Amir....kenapa ramai sekali? Ada acara apa, pak?"Tanya Inne tak sabar dengan raut wajah yang yang sangat pensaran. "Mbak...Inne. Mbak Inne belum tahu?"Tanya Pak Amir pelan. Inne menggeleng keras dengan wajah yang sudah pucat pasih saat ini. Pak Amir terlihat menarik nafas panjang, dan di hembuskan dengan perlahan oleh laki-laki itu. Pak Amir menatap Inne dengan tatapan penuh kasian, membuat jantung inne dalam sekejap berdebar dengan kencang, bahkan kedua lututnya terasa lemas. Menanti cemas jawaban yang akan keluar dari mulut Pak Amir. Perihal keramaian rumah Athar saat ini. ada apa di dalam sana? "Pak...kalau bapak tidak ingin memberitahu apa yang terjadi saat ini di rumah, Athar. Biar saya yang bertanya sendiri pada Athar "Ucap Inne dengan senyum paksa yang coba ia terbitkan di kedua bibirnya yang kering saat ini. Belum sempat kaki pendek Inne melangkah, pergelangan tangannya di sambar Pak Amir. Inne sudah Pak Amir anggap sebagai anak sendiri. "Tuan Athar dengan Nona Sabira sedang melangsungkan acara pertungangan mereka di dalam sana, makanya ramai, Mbak Inne." Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD