CHAPTER THREE

1301 Words
Daren sedang duduk di ruangannya sambil memeriksa catatan pasien yang ia tangani. Beberapa pasien sudah lebih baik dan diperbolehkan pulang, sedangkan sebagian pasien masih harus berada dalam pengawasannya. Daren memijat kepalanya yang terasa berdenyut. Bukan karena kurang istirahat, tapi karena banyak hal yang ia pikirkan. Salah satunya adalah Sily; bagaimana merawat gadis itu, bagaimana ia menjelaskan tentang Brenda, Hendrey dan bagaimana ia menjelaskan pada keluarganya. Kepalanya terasa sakit hanya dengan mengingat bahwa saat ini tanggung jawabnya bukan hanya sebagai dokter, tapi juga sebagai Om Sily. Om? Sejujurnya ia tidak setua itu untuk dipanggil Om. Tapi itu lebih baik dibandingkan dipanggil 'Ayah'. Lucu sekali. Ponselnya berdering, membuatnya kembali menutup map dan mengambil ponselnya di jas dokternya, lalu mengangkatnya. "Iya, Bi. Kenapa?" Mas, gimana ini? Daren mengerutkan dahinya. "Gimana apanya?" Non Sily demam. Badannya panas banget pas bangun tidur pagi tadi. Padahal udah Bibi kompres, tapi panasnya gak turun. "Udah Bibi kasih obat?" Udah, Mas, tapi panasnya gak turun. Bibi jadi takut Non Sily kenapa-napa. “Ya udah, saya pulang sekarang. Bibi terus aja kompresnya. Siapa tahu panasnya turun. Saya siap-siap dulu." Daren memutus panggilannya, lalu merapikan dokumen-dokumennya. Disaat bersamaan Baska baru saja datang membawa kopi pesanan Daren. "Buru-buru amat. Mau ke mana?" "Sily sakit, gue harus pulang. Gue titip pasien di ruang 285 sama 266, ya. Tolong catat perkembangan mereka dan taruh di meja gue. Gue balik dulu." Daren menepuk bahu Baska lalu pergi meninggalkan pria itu. "Eh, kopi lo ini!" Baska menghela napas. Ia menaruh kopi itu di meja. "Sily? Sily itu kucing dia? Atau nama Bibi di rumahnya? Lah, tapi kan, namanya Bi Ratih," gumam Baska sambil menggaruk alisnya. Daren melajukan mobilnya lebih cepat dari biasanya. Ia sengaja membawa beberapa obat yang ia ambil dari ruang apoteker. Untung saja, rumah sakit dan rumahnya tidak jauh. Inilah alasan mengapa ia tinggal di apartmen itu. Dekat dengan tempat kerjanya adalah salah satunya. Dan lagi, apartmen itu milik keluarganya. Daren sengaja memilih naik tangga dibandingkan lift. Terlalu lama menurutnya. Pria itu mempercepat langkahnya. Ia membuka pintu apartmen dan melihat rumah begitu sepi. Ke mana Bi Ratih dan Sily? Daren melepas kancing lengan kemejanya dan menggulungnya hingga siku, lalu menaruh obat yang ia bawa di atas meja. "Ini orang yang sakit ke mana? Kenapa rumah kaya gak ada penghuninya?" gumam Daren. Saat itu juga, Sily berlari dari arah belakang disusul oleh Bi Ratih yang tengah membawa obat. "Non Sily, jangan lari-lari nanti jatuh!" "Sily gak mau minum obat! Gak enak!" Saat itu Sily tak sengaja menabrak Daren yang tengah berdiri sambil menyilangkan tangannya menatap Sily. Gadis itu terkejut melihat kedatangan Daren yang tiba-tiba. Namun, saat itu Bi Ratih berlari menghampirinya, membuat Sily langsung memeluk Daren seolah meminta perlindungan. Daren sempat terkejut. Belum pernah ada perempuan yang memeluknya selain keluarganya. Sedangkan Sily? Gadis itu, gadis yang tidak ia kenal malah memeluknya begitu saja. Jujur saja, rasanya beda dari pelukan Davina dan Mamanya. "Om, Sily gak mau minum obat. Tadi pagi, kan, udah," rengeknya sambil mempererat pelukannya. "Non Sily belum sembuh. Demamnya masih tinggi. Makanya saya suruh minum obat lagi." Daren menarik dagu Sily, membuat gadis itu mendongak, lalu tangan pria itu menyentuh dahi Sily, memeriksa suhu tubuhnya. Benar-benar panas. Bagaimana orang dengan suhu setinggi ini masih bisa berlarian? Sily luar biasa. "Badan kamu masih panas. Kenapa gak mau minum obat?" tanya Daren. Sily masih mendongak, ia mengerucutkan bibirnya. "Sily gak suka." "Semua orang juga gak suka obat. Tapi kalo gak minum obat, kamu gak akan sembuh. Mau masuk rumah sakit?" Sily menggelangkan kepalanya. "Gini, deh. Kalo kamu mau minum obat, saya kasih hadiah." Mata gadis itu berbinar. "Deal!" Daren mengambil obat yang ia bawa, lalu memberikannya pada Bi Ratih. "Ini, Bi. Pastiin dia minum obat itu." "Mas Daren mau pergi lagi?" Daren mengangguk. "Saya masih banyak kerjaan. Sore nanti saya pulang." "Yowes, kalo gitu. Hati-hati." Daren mengambil kunci mobilnya. Sily melambaikan tangannya sambil tersenyum. "Dadah, Om. Jangan lupa hadiah." Daren hanya menanggapinya dengan anggukan, kemudian pergi menghilang dari balik pintu. Sily menatap Bi Ratih dengan wajah penasaran. "Om kerja apa, Bi?" "Dokter." *** Daren melempar kunci mobilnya asal ke arah Baska yang sejak tadi duduk di sana tanpa beranjak sedikitpun. Pria itu begitu penasaran dengan Sily sampai menunggu Daren kembali. "Jadi, Sily itu siapa?" tanya Baska langsung pada intinya. "Lo gak periksa pasien gue?" "Sily bukan kucing lo, kan?" tanya Baska tanpa mengalihkan topik. "Gue udah bilang periksa dulu. Hari ini gue mau rekap datanya." "Sily pacar lo?" Daren menatap Baska dengan wajah dongkol. Bukannya ia tidak mau memberitahu soal Sily pada pria itu. Tapi, Daren kesal karena Baska tidak melakukan tugas yang ia minta. Jika begini, Daren harus lembur lagi. "Darek, jawab gue!" "Nama gue Daren!" ralatnya. "Ya pokoknya lo harus kasih tahu gue. Sily siapa? Pacar lo, kan? Ngaku lo!" Daren menghela napas. "Dia ... Anak angkat gue," jawabnya dengan suara yang begitu pelan, namun masih bisa didengar oleh Baska. Baska langsung tertawa terbahak-bahak. Ia tidak tahu jika Daren bisa melontarkan gurauan itu. Yang benar saja. "Hahaha. Lucu banget, sumpah!" Daren tahu, Baska tidak akan percaya. Ia jadi menyesal telah memberitahu pria bodoh itu. Sekarang lebih baik Daren menyelesaikan tugasnya dengan cepat. Di rumah, Sily sedang melakukan video call dengan Irga dan Amey. Kedua sahabatnya itu tampak khawatir karena Sily menghilang saat rumahnya terbakar. Sily bercerita ia bertemu dengan teman Mamanya dan tinggal di sana. Sily juga menceritakan banyak hal tentang Daren. Namun, Irga dan Amey malah terlihat curiga. "Sily, kamu gak curiga sama Om itu? Siapa tahu, ini bagian dari modus penculikan," kata Irga dengan wajah khawatir. "Mana ada orang yang mau nyulik Sily. Mereka pasti mikir dua kali. Sily makannya kan banyak. Mereka bisa bangkrut," sangkal Amey. "Tapi, ya, Sil. Setahu kita, Tante Brenda kan gak punya teman cowok. Tante Brenda juga jarang keluar. Yakin, Om itu temannya Tante?" Benar juga kata Irga. Bahkan, Sily saja tidak pernah melihat Mamanya berhubungan dengan orang luar selain keluarga Irga dan Amey. Mamanya juga jarang menggunakan ponsel. Bagaimana caranya Daren menjadi teman Mamanya? Sily jadi kebingungan. "Om gak pernah cerita soal Mama Brenda. Tapi Om cuma bilang, Mama Brenda titip Sily ke Om." Saat itu ... "Oh, iya. Mama Brenda kirim pesan ke Sily suruh tinggal di ..." Sily menghentikan ucapannya, membuat Irga dan Amey penasaran. "Di mana?" "Eh, Sily sakit perut, mau ke toilet. Udahan dulu, ya. Nanti lanjut lagi. Bye!" Sily menutup panggilan lalu menghela napas lega. Eh? Lega? Kenapa juga Sily harus lega karena tidak memberitahukan soal pesan Mamanya? Aneh sekali. "Tapi ... Sebenernya Om itu teman Mama Brenda atau orang jahat yang Mama Brenda ceritain supaya Sily jauhi?" tanyanya pada diri sendiri. "Ah, gak tahu, ah. Masa bodo Om dokter orang jahat atau baik. Yang penting Sily sehat," katanya sambil menepuk otot lengannya. Saat itu, Sily sedang berada di halaman belakang, melihat pemandangan kota dari lantai 10, tempat Daren tinggal. Ia duduk di tepi kolam renang sambil meminum s**u hangat buatan Bi Ratih. Seseorang menekan Bel, membuat Sily menoleh. "Eh, katanya Om pulangnya sore?" Sily berlari kecil ke arah pintu, lalu membuka pintu itu. Seorang wanita paruh baya dengan setelan mewah berdiri di depan pintu. Wajahnya yang cantik membuat wanita itu terlihat muda. Namun, Sily bisa menebak bahwa wanita di depannya tentu saja wanita yang berkeluarga.. "Cari siapa?" tanya Sily, ramah. Wanita itu mengerutkan dahinya. Ia melirik ke arah nomor di samping pintu. "1002? Bener, kok, ini rumahnya. Kamu ini siapa?" tanya wanita itu. Sily mengulurkan tangannya, "Silyka Moerems." Wanita itu terdiam sebentar. "Moerems?" ulang wanita itu yang dibalas anggukan Sily. Wanita itu langsung memeluk Sily begitu erat, membuat Sily sedikit terkejut. Gadis itu hanya bisa pasrah mendapat pelukan yang tiba-tiba. Bi Ratih yang baru saja selesai mencuci pakaian pergi ke arah pintu menghampiri Sily dan wanita itu. "Nyonya? Nyonya ngapain di sini?" tanya Bi Ratih. "Gimana kamu bisa di sini?" tanya wanita bernama Adel ini. "Tante nanya Sily?" -bersambung-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD