CHAPTER TWO

2168 Words
Sily memegangi lututnya ketakutan. Ia terduduk disudut pagar rumahnya yang sudah ramai oleh orang-orang yang membantu memadamkan api. Sily menangis, tubuhnya gemetar hebat. Daren yang baru saja datang langsung berlari menerobos kerumunan orang-orang di depan rumah Sily. Ia melihat rumah di depannya sudah terbakar habis. Mata Daren sibuk mencari sosok Sily. Ia melihat kembali foto Sily yang ada di ponsel Brenda, kemudian kembali menoleh ke kanan-kiri. Sampai matanya menangkap sosok seseorang yang sedang meringkuk disudut pagar. Perlahan ia mendekati gadis itu. Seragam sekolahnya sudah kotor, tali sepatunya terlepas, rambut panjangnya terlihat berantakan. Daren berjongkok menghadap gadis dihadapannya. "Silyka?" panggilnya hati-hati. Sily mendongakkan kepalanya. Wajahnya memerah, matanya bengkak. Sily menatap Daren dengan tatapan ketakutan. Daren bisa melihat jelas wajah Sily. Mirip dengan yang ada di foto. Ia tidak salah lagi. Daren menarik Sily kepelukannya, membiarkan gadis itu menangis. Disela-sela itu, Daren menghela napas, berpikir bagaimana ia akan melindungi gadis ini sesuai apa yang ia janjikan pada Brenda? Bagaimana mengurus gadis ini? Keluarganya pasti akan bertanya-tanya. Bagaimana tidak, jika Daren pulang membawa seorang gadis, apalagi Sily masih gadis SMA. Satu keluarganya akan heboh, termasuk Baska dan Davina adiknya. "Silyka, ayo ikut saya." Daren membantu Sily berdiri, mengajaknya ke mobil. Sily yang sudah lemas hanya bisa mengikuti apa yang Daren katakan. Sily tidak tahu Daren orang jahat atau tidak. Sily sangat pusing. Saat gadis itu duduk di kursi, ia langsung tidak sadarkan diri. Daren mengecek denyut nadi gadis itu. Untung saja Sily baik-baik saja. Gadis itu hanya syok karena kejadian yang menimpanya. Daren melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Ia tidak pergi ke rumah sakit. Ia pergi membawa Sily ke rumahnya. Daren memutuskan untuk tidak memberitahu Sily soal Brenda. Menurutnya, Sily belum siap mengetahui hal itu. Ia hanya takut akan memperburuk mental Sily. Jika dilihat dari caranya menangis, ia tahu sekali Sily punya hati yang mudah terluka. Daren hanya tidak ingin Sily terus menerus merasa seperti itu. Menyembunyikan kebenarannya adalah hal yang tepat. Daren menggendong Sily masuk ke dalam rumah. Bi Ratih yang baru saja selesai merapikan dapur langsung berlari menghampiri Daren. "Ini kenapa, Mas Daren?" "Bantu saya rapikan kamar kosong di atas, ya, Bi," pintanya. Bi Ratih mengangguk, kemudian melakukan apa yang Daren perintahkan. Setelah memindahkan Sily ke tempat tidur, Daren meminta Bi Ratih untuk mengganti pakaian gadis itu. Untung saja, pakaian Davina masih ada di sana. Ya, awalnya kamar itu adalah kamar Davina, tapi sejak adiknya itu kuliah, ia lebih memilih tinggal di apartmen. Daren mengganti kemejanya yang penuh darah itu. Ia juga membersihkan dirinya. Setelah mandi, Daren turun ke bawah hendak mengambil air. Namun, langkahnya terhenti saat sebuah teriakan terdengar dari atas. Daren berlari menghampiri suara itu. Suara yang berasal dari kamar Sily. Ia membuka pintu kamar dan melihat Sily sedang ketakutan. Sily sudah berganti pakaian dengan piyama merah muda. Gadis itu menatap Bi Ratih ketakutan. "Ibu ini siapa?" tanya Sily. Daren menghela napasnya. Ia kira sesuatu yang buruk sudah terjadi. Pria itu melangkah mendekati Sily. "Silyka, dia Bi Ratih. Dia bukan orang jahat." Sily menatap Daren. "Om ini siapa?" tanyanya pada Daren. "Saya Daren," pria itu berhenti sejenak untuk mengambil napas, kemudian berkata, "Saya teman Mama kamu," katanya berbohong. "Mama Brenda?" tanya Sily, memastikan. Daren mengangguk. Sily mengusap hidungnya. Cairan bening itu muncul lagi menghiasi wajah putihnya. Sily menangis. Daren menyuruh Bi Ratih pergi menyiapkan makan malam. Pria itu mendekati Sily. "Mama Brenda di mana?" tanya Sily menatap Daren yang kini duduk disampingnya. Daren tersenyum. "Mama Brenda lagi ada urusan penting yang harus diselesaikan. Jadi, untuk sementara waktu kamu harus tinggal di sini." Sily mengusap air matanya. "Urusan di mana? Tempatnya jauh, gak? Sily bisa ke sana?" Daren mengangguk. "Jauhhhhh banget. Kamu gak bisa ke sana." Sily menundukkan kepalanya. Gadis itu menangis lagi. Daren menghela napasnya. "Jangan nangis. Saya gak suka orang cengeng." Sily menatap Daren kesal. "Yang suruh Om suka Sily siapa?" Daren terkekeh pelan. Silyka, gadis ini punya wajah cantik dan terlihat polos. Bola mata cokelat pekat dan rambut sepanjang pinggul. Tidak ada yang istimewa dari gadis ini kecuali paras cantiknya. Daren sebenarnya agak canggung berbicara dengan Sily. Ia tidak pernah dekat dengan gadis manapun kecuali yang berasal dari keluarganya. Dekat dalam arti memiliki hubungan akrab sebagai teman. Daren mengajak Sily ke bawah untuk makan malam. Gadis itu terlihat antusias saat Daren mengatakan ada banyak makanan enak. Sily berjalan cepat menuju dapur. Ia langsung duduk disalah satu kursi. Matanya berbinar melihat banyak makanan yang terhidang di meja. Baru saja Sily akan mengambil ayam goreng yang ada di meja, Daren menarik tangan itu kembali dan mengajak Sily ke wastafel. "Cuci tangan sebelum makan. Ada banyak kuman di tangan kamu. Kalau gak dicuci, makanan yang kamu makan bisa jadi penyakit." Sily menurut saja tangannya dibersihkan oleh Daren. Gadis itu malah tidak mengalihkan pandangannya dari ayam goreng. Sily suka ayam. Apapun jenis masakannya yang penting berbahan dasar ayam. Sily langsung berlari ke meja saat Daren selesai mengeringkan tangan gadis itu. Daren menggelangkan kepalanya. Bi Ratih mendekati Daren dan berbisik, "Dia siapa, Mas?" "Mamanya meninggal karena kecelakaan beberapa jam lalu. Saya udah janji akan jaga dia. Tapi, Bi, tolong jangan kasih tahu soal Mamanya. Dia gak boleh tahu kalo Mamanya udah gak ada." "Tapi, Mas, gimanapun juga, Non Sily harus tahu." "Saya tahu. Tapi untuk saat ini, biarin Sily percaya kalo Mamanya pergi jauh. Suatu saat, kalau Sily siap, saya sendiri yang akan kasih tahu." *** Sily menatap kamar yang ia tempati dengan seksama. Kamar itu sungguh besar melebihi kamarnya. Begitu cantik. Sily menyukainya. Gadis itu pergi ke arah balkon. Ia begitu takjub melihat pemandangan kota dari atas sana. Tunggu ... Kota? Sily membulatkan matanya. Ia berlari keluar kamar mencari Daren. Daren saat itu sedang membuat kopi. Sily berlari menghampiri Daren, membuat pria itu sedikit terkejut. "Om ... Om ... Kita ini di mana?" tanya Sily. Daren menoleh ke belakang, melihat Sily yang tengah menatapnya. Wajah polos gadis itu membuat Daren ingin tertawa. Bukan karena jelek, tapi karena lucu. "Di rumah saya, kenapa?" kata Daren, santai. "Sily tahu. Maksudnya ini kita lagi ada di kota? Sily lihat dari balkon banyak gedung tinggi. Sily mau pulang, Om. Sily gak mau jauh dari rumah." Daren melepaskan tangan Sily dari kaosnya, lalu berjalan menuju sofa. Pria itu menaruh kopinya di meja, lalu menatap Sily yang kini duduk disebelahnya. "Rumah kamu kebakar, kamu lupa?" Mendengar itu Sily terdiam. Daren mengambil kacamata bacanya, lalu membuka sebuah buku. "Tapi nanti Sily sekolahnya gimana? Kan jauh. Nanti Sily gak bisa pulang bareng Amey dan Irga." "Naik taksi." Sily menggelangkan kepalanya. "Mama Brenda gak ngizinin Sily naik taksi. Katanya banyak tetangga yang diculik pas pulang naik taksi, makanya Sily gak pernah pake taksi ke sekolah." "Saya antar," kata Daren tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang ia pegang. "Nanti kalo teman Sily nanya Om siapa? Sily jawab apa?" Daren menghela napas. "Kamu cerewet, ya. Saya mau baca buku aja gak bisa fokus." Sily menyilangkan kedua tangannya. "Siapa suruh Om baca buku pas Sily lagi ngomong?" Kali ini Daren langsung menutup bukunya. Ia melepas kacamata bacanya lalu berbalik menatap Sily. Gadis itu langsung kikuk saat ditatap seperti itu. Nyalinya yang tadi besar mendadak menciut. "Ini saya udah gak baca buku. Buruan ngomong!" Sily mengangkat kedua kakinya, lalu duduk bersila menghadap Daren. Ia mengeluarkan ponselnya, lalu menunjukkan sms yang dikirimkan Brenda sebelumnya. Daren membaca pesan itu dengan teliti. Silyka, kamu harus ingat kata-kata Mama. Jangan lupa makan, jangan pulang sendirian, jangan naik taksi sendirian. Kamu harus selalu sehat. Mama pergi dulu, nanti Mama jemput kamu. Kalo kamu takut, kamu nginap di rumah Amey aja, ya, Nak. Mama sayang kamu. Daren melirik Sily yang saat itu tengah menatapnya. Daren berdeham. "Om bohong, katanya Mama Brenda yang suruh Sily tinggal sama Om. Buktinya, Mama Brenda suruh Sily tinggal di rumah Amey." Daren menggaruk belakang kepalanya. Sily baru membuka pesan dari Mamanya itu. Padahal, sudah dikirim beberapa jam lalu. "Om, kalo diam itu artinya beneran bohong," jelas Sily, menunggu jawaban dari pria dihadapannya. "Eh, saya mau ke supermarket. Mau es krim?" tanya Daren mengalihkan pembicaraan. Dan beruntungnya pria itu karena Sily langsung tersenyum dengan wajah antusias. "Mau! Sily ikut, ya?" Sily mengatupkan kedua tangannya memohon agar Daren mengajaknya. Salah satu hal yang Sily sukai adalah pergi ke supermarket. Alih-alih pergi ke Mall untuk membeli pakaian dan segala macam aksesori, Sily lebih suka membeli banyak makanan dan camilan. Baginya, makan adalah keharusan nomor satu yang harus dijadikan hobi. Daren mengangguk, lalu meneguk kopinya setelah itu mengambil kunci mobilnya di atas meja. Sily sudah berlari keluar dengan semangat 45. Daren saja sampai takjub oleh keaktifan gadis itu. Ia bergumam, "Benar-benar gak sesuai umurnya." Mereka sampai di supermarket yang lumayan jauh dari apartmen. Daren mengambil trolli belanja dan berjalan diikuti Sily di samping. Lain halnya dengan Daren yang nampak biasa saja, Sily benar-benar terlalu heboh. Ia bahkan begitu menyukai melihat barang-barang yang ada di sana. Anggap saja seperti gadis normal lain yang akan senang melihat banyak aksesori. Sily mengganti aksesori itu dengan makanan supermarket. "Kamu sering ke supermarket sama Mama Brenda?" tanya Daren. Sily mengangguk. "Tapi, Mama Brenda gak izinin Sily makan es krim. Makanya Sily senang pas Om mau beliin Sily es krim. Tapi, jangan bilang Mama Brenda, ya. Ini rahasia kita." Daren menggelangkan kepalanya takjub dengan kepolosan gadis kelas 3 SMA ini. Biasanya gadis seumuran Sily sudah gemar berpacaran, shopping, dan melakukan hal-hal seperti pergi ke salon dan bermain ke Mall. Yang ia lihat, Sily memang terlihat seperti gadis SMA, namun, tingkah lakunya seperti anak SD. Apa mungkin, Brenda terlalu memanjakannya? Atau memang anak ini punya kelainan mental? Sebagai dokter, tentu saja Daren mengaitkan sikap Sily dengan analisisnya sebagai dokter. "Om mau beli apa?" "Beli es krim buat kamu dulu." Sily tersenyum. Ia pergi ke tempat es krim, lalu mengambil dua es krim dan memasukkannya ke dalam trolli. "Sily udah ambil es krimnya. Om mau beli apa?" Daren sebenarnya tidak ingin membeli apapun. Ia hanya asal bicara saja tadi untuk mengalihkan pembicaraan agar Sily tidak curiga jika ia menyembunyikan sesuatu. Sekarang Daren menyesalinya. Ia bingung ingin membeli apa. Ia tidak suka makanan supermarket. Daren lebih suka makanan yang ia masak sendiri. "Saya lupa mau beli apa." Sily menatap Daren kecewa. "Sily boleh beli snack?" tanya Sily. Belum juga Daren menjawab, Sily sudah berlari ke tempat snack dan mengambil beberapa snack lalu memasukkan ke trolli. Melihat itu, Daren mengambil snack itu dan menaruhnya kembali ke rak. "Gak boleh makan snack kaya gini, Sily. Gak boleh!" "Emangnya Om tahu, ini dibuatnya dari apa? Emang Om ikut ke pabriknya waktu makanannya dibuat? Kalo gak boleh dimakan gak akan dijual. Gak akan ada label halal juga." Skakmat. Benar juga kata Sily. Mau tak mau, Daren mengalah saja. “Ya udah, tapi beli satu aja!" "Dua?" "Satu!" "Satu yang ini, sama satu yang ini, ya?" katanya sambil mengangkat dua snack pilihannya. Daren memutar bola mata malas. "Terserah!" Sily tersenyum senang. Ia kembali berjalan menyusul Daren. Setelah berbelanja, merekapun kembali ke rumah. Diperjalanan Sily sibuk memakan es krimnya sedangkan Daren sibuk dengan pikirannya. Pria itu melirik ke arah Sily, lalu kembali menatap jalan. "Om kalo mau ngomong, ya ngomong aja. Gak usah lirik-lirik Sily." Daren jadi malu sendiri. Kapan gadis itu memergokinya? Padahal ia hanya melirik sebentar. "Saya mau nanya." "Iya, Sily jawab." "Umur kamu berapa?" "18 tahun," jawab Sily dengan cepat. "Kamu cuma tinggal sama Mama Brenda?" Sily mengangguk. "Ayah kamu?" tanya Daren lagi. "Gak tahu. Dari kecil, Sily gak pernah ketemu Ayah. Kata Mama Brenda, Ayah pergi jauh dan gak mau kembali." Daren mengerti. Mungkin saja Brenda bercerai dengan suaminya. Atau mungkin, suaminya sudah meninggal sejak lama. "Kamu—kenal Hendrey?" tanya Daren. Ia begitu penasaran dengan nama itu. Nama yang disebutkan Brenda disaat-saat terakhirnya. Nama yang terus mengusik pikirannya. Sily menggelangkan kepalanya. "Selain Mama Brenda, keluarga Amey, keluarga Irga, dan teman-teman sekolah, Sily gak kenal siapa-siapa," kata Sily, "Eh, sekarang Sily kenal Om." "Kamu gak pernah keluar rumah? Kamu—gak pernah main sama gadis-gadis seumuran kamu? Shopping, ke salon, ke Mall?" "Dari kecil, Sily gak punya teman. Teman Sily cuma Mama Brenda, Amey dan Irga. Waktu Sily SD sampai SMP, Sily selalu berangkat dan pulang sama Mama Brenda. Mama Brenda bilang, dunia luar itu kejam. Sily gak boleh terpengaruh apapun. Waktu pertama kali masuk SMA, Sily punya teman. Sily terkenal, loh, di sekolah. Banyak yang suka Sily," katanya tersenyum bangga. "Jadi? Kamu memang kurang bergaul, ya?" "Mama Brenda bilang, Sily hanya boleh ngelakuin apa yang Mama Brenda bolehin. Kalo Mama Brenda bilang gak boleh, ya, Sily gak lakuin. Termasuk yang tadi Om bilang. Shopping, ke Mall … ke tempat-tempat yang sering diposting sama teman-teman Sily di instagram.’ “Kamu punya **?’ Sily menggelangkan kepalanya. Ia tidak mengalihkan pandangannya dari es krim yang ia pegang. “Gak boleh sama Mama Brenda. Tapi Sily sering lihat ** Amey.” Daren mengangguk. Sekarang ia paham kenapa sikap Sily sangat jauh kekanak-kanakan. Brenda membatasi pergaulannya. Mungkin saja Brenda juga memperlakukan Sily selayaknya anak-anak, jadi Sily terbiasa seperti itu. Tidak tahu banyak tentang dunia luar juga bisa mempengaruhi sikapnya, karena sikap seorang anak ditentuka dari lingkungan dan orang-orang disekitarnya. “Ya udah buruan habisin es krimnya. Sampe rumah harus langsung tidur!" -bersambung-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD