CHAPTER FOUR

1143 Words
Daren keluar dari lift. Ia berjalan beberapa langkah, lalu berdiri di depan pintu bertuliskan 1002. Setelah memasukkan pin, terdengar bunyi 'bip'. Ia membuka pintu lalu masuk ke dalam. Daren melepas sepatunya dan menaruhnya di rak dengan rapi. Matanya menangkap sepasang sepatu high heels yang tidak asing. "Mama?" Mata Daren membulat sempurna. Ia lantas berlari cepat menuju ruang tamu. Dilihatnya Sily dan sang Mama sedang berbincang asik di sofa. Melihat Daren yang berdiri dengan wajah panik, Sily langsung melambaikan tangannya ke arah Daren. "Om! Ada Tante-Mama!" kata Sily antusias. Daren mengerutkan dahi tak mengerti. Napasnya masih ngos-ngosan karena berlari. Meskipun berlari dari pintu ke ruang tamu tidak jauh, tapi sukses membuat Daren kelelahan. "Tante-Mama?" "Iya, Tante-Mama. Tantenya Sily, Mamanya Om," kata Sily menjelaskan dengan senyum polosnya. Daren menghela napas. Ia menaruh tasnya di sofa, lalu duduk di samping Mamanya. "Mama ngapain ke sini?" Adel adalah Mama tiri Daren. Sejak Mama kandung Daren meninggal, Daren dibesarkan oleh Adel. Mereka memang terlihat akrab tapi sebenarnya tidak begitu. Daren tipe orang yang tertutup. Ia tidak dengan mudah bercerita, bahkan mengobrol dengan Adel. Hanya saja, Daren selalu menghormati Adel sebagai orang tuanya. Adel menyilangkan kedua tangannya. "Mulai nyembunyiin calon mantu Mama? Kenapa gak dibawa ke rumah?" "Dia bukan calon mantu Mama." Adel menatap Sily dengan wajah ramah, membuat Sily juga ikut tersenyum. Adel wanita yang baik. Sily menyukainya. "Sily, kamu ikut Tante-Mama pulang ke rumah, yuk!" "Eh, emangnya ini bukan rumah?" "Ini apartmen bukan rumah. Kalo di rumah, ada banyak makanan dan es krim yang bisa Sily makan. Tante-Mama punya satu kulkas es krim. Gimana ... Mau?" Mata Sily berbinar, lalu gadis itu mengangguk cepat. "Mau!" “Ya udah, Sily rapi-rapi dulu. Nanti kita bareng-bareng pulangnya, oke?" Sily mengangguk. Ia berlari ke kamarnya untuk mandi. Meskipun badannya masih panas dan kepalanya sedikit pusing, tapi Sily tidak peduli. Ia ingin pulang ke rumah. Rumah yang Adel katakan. Daren menatap Mamanya tak suka. "Ngapain Mama ajak Sily ke rumah? Dia itu bukan calon istri aku, Mah, juga bukan calon mantu Mama. Dia itu ..." "Anak Brenda? Iya, kan?" Daren terkejut mendengar Adel menyebut nama Brenda. Apa Adel mengenal Brenda? Kenapa pula Adel tahu jika Brenda menitipkan anaknya pada Daren?. "Mama tahu dari mana?" Adel melirik kanan-kiri, kemudian mendekati Daren. Wajahnya yang tadi begitu ramah di depan Sily berubah menjadi serius. "Apa yang terjadi sama Brenda? Kenpa Sily bisa sama kamu?" "Aku gak tahu. Malam itu, aku baru aja pulang dari rumah sakit yang lumayan jauh dari kota. Aku lihat ada wanita yang ditabrak lari. Sebelum dia meninggal, dia minta tolong buat jaga anaknya Silyka dan jauhin dia dari Hendrey." Adel mengusap wajahnya. Daren bisa lihat ekspresi sedih di wajah Adel. "Jadi ... Brenda meninggal? Dan dia minta kamu jaga Sily?" Daren mengangguk. "Mama kenal Brenda?" Adel mengangguk. "Mama akan cerita ke kamu nanti. Yang pasti, Mama kenal Brenda dan juga Sily. Mungkin Sily lupa sama Mama. Itu udah bertahun-tahun lalu." "Aku masih gak ngerti. Apa hubungannya aku sama Sily? Kenapa wanita itu minta aku yang jaga Sily? Kenapa bukan orang lain?" Adel mengusap lengan Daren, lalu menatap pria itu sambil tersenyum. Senyuman yang Daren tak tahu artinya. *** Sily mengedarkan pandangannya menyusuri sudut rumah mewah yang kini ia pijaki. Begitu besar seperti Mall menurutnya. Sily bahkan tidak pernah membayangkan akan tinggal di rumah sebesar ini. Baginya, rumah Irga yang paling besar. Tapi rumah ini tiga kali lipat lebih besar dari rumah Irga. "Selamat datang di rumah keluarga Lemuel, Sily." "Iya, Tante-Mama. Sily datang dengan selamat, kok." Daren yang mendengar itu hanya bisa menahan tawanya. Astaga, kenapa bisa ada spesies sepolos Sily di dunia ini? Sily mengikuti Adel menuju lantai dua. Adel mengantar Sily ke kemarnya. Sily begitu takjub melihat kamarnya yang lebih besar dari ruang tamu di Apartmen Daren. "I-ini beneran kamar, Tante-Mama?" "Iya, sayang. Kamu gak suka? Atau mau ganti kamar lain?" tawar Adel yang mengira Sily tidak menyukai kamar yang ia siapkan. "Bu-bukan gitu, Tante-Mama. Tapi apa gak kebesaran? Sily, kan, kecil. Kalo sebesar ini mah buat satu kelas Sily." "Tapi Tante-Mama gak punya kamar yang lebih kecil. Ini udah paling kecil. Lebih besar punya Daren." "Kamar Om Daren lebih besar?" Adel mengangguk, membuat Sily semakin dilanda penasaran. "Sily boleh ke kamar Om, gak?" "Boleh. Kamar Daren ada di sebelah kamar kamu." Adel menunjuk sebuah pintu putih yang tak jauh dari pintu kamarnya. Gadis itu berjalan cepat menghampiri pintu kamar Daren dan membukanya. Melihat Sily masuk ke dalam kamar, Adel tersenyum senang. Ia mengintip dari balik pintu. Adel bisa melihat Sily sibuk mengagumi kamar Daren, kemudian berbalik pergi. Sily melihat-lihat kamar Daren mulai dari tempat tidur king size, balkon kamar yang dilengkapi kursi dan meja, serta sebuah meja kerja disudut ruangan. Tidak banyak barang yang ada di kamar sebesar itu. Sily sedang melihat foto-foto Daren yang terpajang di tembok. Disaat bersamaan, pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Daren yang baru saja selesai mandi. Hanya berbalut handuk dibagian bawah dan membiarkan d**a bidangnya terekspos. Daren terkejut mendapati Sily ada di kamarnya. Ia menutup dadanya dengan tangan, meskipun ia tahu Sily telah melihatnya bertelanjang d**a. "Kamu ngapain di kamar saya?!" Berbeda halnya dengan Daren yang terkesan heboh, Sily terlihat biasa saja. Ia tidak mempermasalahkan Daren yang hanya berbalut handuk dan bertelanjang d**a. "Sily lagi lihat kamar Om. Kenapa? Gak boleh? Tante-Mama izinin Sily lihat, kok." "Bu-bukan gitu. Tapi saya kan lagi gak pake baju." "Emangnya kenapa? Sily udah biasa," katanya enteng. Tentu saja Daren membulatkan matanya. Bagaimana bida gadis sepolos Sily bilang dia sudah terbiasa melihat pria bertelanjang d**a? Astaga, sebenarnya Sily makhluk macam apa? "Ka-kamu udah biasa?" Sily mengangguk cepat. "Sily sering lihat Irga." "Hah?! Ka-kamu li-lihat semuanya?" Mata pria itu sekarang membulat sempurna. Mungkin sebentar lagi bola mata itu akan keluar dari kelopak mata Daren. Sikap Sily yang biasa saja malah membuat Daren menelan ludah. Apa jangan-jangan selama ini Sily hanya berpura-pura polos? Apa Sily sebenarnya lebih liar dari wanita yang ... Ah, mana mungkin. "Kenapa? Emangnya gak boleh kalo lihat cowok habis mandi?" "GAK BOLEH!" teriak Daren. Sily jadi kebingungan sendiri. "Sekarang keluar dari kamar saya. Saya mau pakai baju." Daren mendorong Sily keluar dari kamarnya lalu membanting pintu dan menguncinya. "Om kalo mau pakai baju ya pakai aja! Kenapa mesti nyuruh Sily keluar? Sily, kan, mau liat kamar bukan liat Om!" teriak Sily dari depan pintu. Gadis itu merasa sebal. Lagipula, Sily dan Irga sudah berteman sejak kecil. Mereka sudah seperti adik-kakak. Jadi apa masalahnya? "OM DOKTER ANEH!" teriak Sily lagi. "KAMU YANG ANEH!" sahut Daren dari dalam. "SILY GAK ANEH!" Baru saja Sily akan pergi, Daren membuka pintu kamarnya, membuat Sily menoleh. "Tahu dari mana kamu kalau saya Dokter?" "DARI GOOGLE!" teriak Sily, lalu pergi masuk ke dalam kamarnya sambil membanting pintu. Sily berdecak kesal. Gadis itu mengepalkan tangannya lalu diarahkan ke pintu seolah pintu itu adalah Daren. Ingin sekali Sily meninju wajah tampan Daren yang menyebalkan itu. "Hah, Sily laper. Mau ke bawah aja." -bersambung-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD