Chapter 15

1128 Words
Suara kokok ayam yang tak bisa mereka dengar selama hidup di perkotaan mulai memaksa mereka membuka matanya. Hal pertama yang disadari ketika mereka mulai kembali ke alam sadarnya adalah beberapa sendi mereka nyeri akibat perjalanan panjang kemarin, namun, ketika menyadari indra penciumannya menghirup udara pagi dengan bebauan daun dan tanah basah akibat embun, segala kelelahan mereka terasa hilang seketika. Eros yang biasanya tiap pagi hanya memakan mie instan lalu pergi ke lab forensik tanpa melakukan hal lain, kini menjadi Eros yang membuka jendela dan pintu lebih dahulu, membuka tangannya lebar lebar dan mengerang nyaman ketika gelembung di sendinya berhasil ia bunyikan ketika menggerakkan punggung. “Selamat pagi” sebuah suara lembut langsung menghancurkan euforia pria yang hanya terbiasa bertemu dengan mayat itu. Bukan dihancurkan karena merasa terganggu. Alih alih seperti itu, ia malah merasa malu luar biasa hingga telinganya memerah karena sudah bersikap norak di halaman rumah yang pastinya akan dilihat oleh beberapa orang yang lalu lalang. “A-ah iya.. selamat pagi..” ucapnya kikuk yang malah dibalas senyuman manis oleh gadis berkulit putih dan rambut panjang lurus itu. “ayah dan ibu memintaku membawakan ini untuk kalian” ucap gadis itu sembari memberikan beberapa kotak yang kemungkinan berisikan makanan karena harum yang menguar dan hangat yang terkena kulit langsung membuat perutnya bersuara kecil. “ayah... ibumu?” tanya Eros bingung karena tentu saja ada banyak pasangan suami istri disana. Ia harus mengetahuinya dengan jelas untuk berterima kasih yang lebih proper jika bertemu nanti. “ah, maaf. Aku anak dari Shue dan Irene. Pria paruh baya yang semalam menjemput kalian” ujarnya lagi dengan wajah yang tak enak karena merasa tak sopan bicara ini itu tanpa memperkenalkan diri terlebih dahulu. “namaku Chae” “Ah, namaku Eros. Ucapkan terima kasih pada orang tuamu, ya.. Nanti aku pun akan berterima kasih secara langsung” “Ah, tak apa. Lewat aku pun sudah cukup. Tak perlu repot repot” “Kami yang merepotkan” kekeh Eros yang merasa percakapan ini tak ada ujungnya jika terus terusan saling merasa merepotkan. “Aku akan membawa makanan ini masuk dahulu. Kau ingin masuk?” “Tidak, aku akan pulang saja” ujar gadis itu yang kemudian membawa kaki ramping dan jenjangnya pergi dari sana, disusul senyum yang merekah di bibir Eros ketika menyadari bahwa ia sangat mengagumi senyum dan paras dari gadis yang baru saja ia temui. “Apa itu?” tanya Dylan dengan suara serak khas dan rendah khas bangun tidur. Tangannya mengusak pelan kedua kelopak matanya kemudian terkekeh sendiri ketika menyadari pantulan bayangan yang ada di cermin, menunjukan rambutnya yang benar benar menjadi definisi dari sarang burung. Eros yang melihatnya hanya menunjuk kearah tempat makan empat susun itu dengan telunjuknya. Ketika kotak penutup dibuka, harum dari berbagai jenis masakan semakin menguar hingga ke penjuru ruangan. Satu persatu dari mereka yang belum bangun pun tergugah, dengan sempoyongan keluar dari kamar masing masing untuk mencari tahu sumber dari bebauan menyenangkan yang masuk ke indra penciuman mereka. “bocah kecil itu kemana?” tanya Zale yang bermaksud mereferensikan Britta sebagai manusia kecil. Toh memang gadis itu satu satunya yang ada disana memiliki tubuh yang mungil. Hanya seratus enam puluh senti. Tidak kecil sebenarnya, namun akan menjadi sangat kecil jika dibandingkan dengan tujuh orang lainnya yang memiliki tinggi seratus tujuh puluh hingga seratus delapan puluh senti. “mandi, kurasa” ucap Eros sekenanya. Saat ia terbangun tadi, ia hanya mendengar suara berisik dari kamar mandi, dan lagi pula, ia yang tidak sekamar dengan gadis itu, mana tahu kemana perginya bocah yang akan menjadi rekannya selama tiga bulan itu. “aku disini” suara dengan nada tinggi muncul dari ambang pintu, memperlihatkan Britta dengan Kael yang sudah rapih –dalam konteks sudah mandi dan tidak memakai baju lusuh- “kenapa?” yang hanya dijawab gelengan dari kepala Zale. Toh dia pun memang hanya bertanya karena penasaran. “Aku dan Britta habis dari warung terdekat” Kael menggoyang goyangkan kantung kresek bening yang diangkat setinggi wajahnya. Berisikan satu pouch sabun cuci dan satu pouch pembersih lantai. “karena kurasa kalian pasti membawa perlengkapan mandi masing masing, jadi aku hanya membeli ini untuk kita semua membereskan rumah ini” ujarnya seakan menjawab pertanyaan tak terutarakan yang terlihat dari raut wajah keenam orang yang masing mengelilingi meja makan. “Yasudah, sekarang kita makan saja dulu. Sehabis makan, beresihkan rumah, lalu mandi. Sehabis mandi baru kita urus masalah kasus” ujar Farren yang sudah lebih dulu duduk di meja makan dengan wajah yang sama bantalnya dengan yang lain. “lalu kami?” tanya Kael sembari menunjuk dirinya sendiri dan Britta yang ada di sampingnya. “ya kalau kalian nyaman sehabis beres beres dan tidak mandi sih, tak masalah” ujar pria itu sekenanya. Kini kedelapan orang asing itu tersebar setelah mengambil piring masing masing untuk makan. Beberapa diantara mereka duduk dengan tenang di meja makan, beberapa lagi sibuk mencoba menghidupkan televisi tua yang ada dirumah tak berpenghuni ini. Makanan yang dibuatkan oleh keluarga Shue merupakan comfort food. Dimana kalian akan nyaman memakan makanan rumahan ini karena rasanya akan masuk ke setiap lidah. Apalagi sup telur jagung dan polong yang kini jadi rebutan beberapa orang disana. Ingatkan Farren untuk mencari tahu resepnya jika sinyal internet muncul lagi. Karena jika ia meminta resep milik keluarga Shue, yang ada bukannya diberi resep, mereka akan merepotkan lagi karena mungkin akan dimasakkan lagi. Proses membereskan rumah dibagi menjadi beberapa kelompok. Pertama tama, semua barang yang ada di kamar, dikeluarkan lagi dan ditaruh diatas meja makan agar tak terkena debu lantai. Kamar akan menjadi hal yang paling utama untuk dibersihkan. Setelah kamar selesai, pindah menuju ruang tengah hingga dapur. Beberapa yang lain membersihkan halaman depan dan belakang, yang kini membuat rumah yang dahulunya sudah tidak ditinggali selama hampir dua tahun, menjadi rumah yang seakan memang dihuni oleh kedelapan anak muda itu. Drama tak berhenti disitu. Sehabis itu, Syden dan Eric mengeluh kelaparan lagi, dan sisanya berebutan kamar mandi yang hanya satu itu untuk membilas tubuh. Akhirnya, team yang sudah selesai mandi lebih dahulu harus bekerja lagi di dapur untuk setidaknya memasakkan mie instan untuk yang lainnya. Ini pukul sebelas siang ketika mereka sudah terduduk di ruang tengah dengan keadaan saling menyandar pada dinding yang kosong. Laporan laporan lama yang dibawa dan diberikan dari polisi yang lama, mereka coba analisa secara kasar. Namun semuanya bermuara pada titik yang sama, tidak adanya bukti yang membuat penyidik yang bekerja sangat kesusahan. “Aku tahu memang tidak ada bukti, namun saat penyelidikan berhenti, total jumlah keluarga yang hilang ada sekitar delapan keluarga. Lalu satu tahun kemudian, bertambah hingga empat belas keluarga” ujar Zale sembari membolak balik kertas laporannya. “Mengapa penyelidikan ini berhenti disaat sudah menelan banyak korban, dan kembali diutus lagi bukan saat korban keluarga ke sembilan muncul. Namun saat korban sudah mencapai empat belas keluarga”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD