Chapter 14

2862 Words
Deras air hujan yang sebenarnya menyusut ketika mereka semua sudah mulai memasuki perhutanan, tidak sebanding dengan tingkat dingin yang suhunya semakin lama semakin menurun. Sesosok satu satunya manusia berjenis kelamin perempuan disana nampak mengeratkan jaket cokelatnya untuk menghalau dingin. Perjalanan untuk sampai di desa Asgardia masih lah lama. Mungkin sekitar tiga sampai empat jam lagi jika tidak ada hal yang menghalangi. Jika dihitung hitung, total perjalanan dari kantor kepolisian pusat hingga desa asgardia bisa memakan waktu hampir dua belas jam, itupun jika lancar dan mobil yang mereka tumpangi mampu berjalanan dengan normal di daerah penuh tanah basah dan dilapasi batu batu sungai besar sebagai antisipasi agar pengendara motor tidak terpeleset dan jatuh kedalam jurang. Sekitar delapan jam yang lalu, mereka semua berkumpul di parkiran kantor kepolisian agar berangkat bersamaan tanpa perlu terpisah pisah dijalan. Sudah Eric duga, bahwa sosok tinggi tampan bernama Syden hanya benar benar sesosok tinggi tampan yang enggan bekerja dan kemungkinan hanya akan menumpang nama saja. Lagi. Disaat yang lain membawa pakaian seadanya, toh disana mereka disediakan rumah untuk tinggal dan bisa mencuci baju, Syden malah heboh membawa satu koper besar beserta baju, sepatu hingga kacamata dengan merk mahal yang tengah ia pakai. Belum lagi Britta, satu satunya wanita dalam team adalah sesosok wanita tangguh, namun pemalu luar biasa. Iya belum mengucapkan sepatah katapun semenjak mereka berdelapan bertemu. Hanya mengangguk dan menyetujui apapun yang ditanyakan kepadanya. Hah.. setidaknya Eric merasa bersyukur bahwa ada anggota tambahan yang akan berguna untuk mereka. Eros. “Ingin kumatikan air conditioner nya?” tawar Farren ketika melihat yang lain saling merekatka jaketnya. Sebenarnya dia bukannya ingin untuk menghidupkan AC- meskipun kecil- di cuaca sedingin ini. Namun jika didalam sangatlah lembab karena hawa dari delapan orang manusia, maka kaca akan sangat berembun dan menyusahkan dirinya sebagai orang yang menyetir. “Tak perlu” ucap Britta yang merasa bahwa pertanyaan itu dipertunjukan padanya. Kesan yang ia dapatka pertama kali pada ketiga orang seniornya itu adalah angkuh. Atau mungkin memang dirinya saja yang tidak capable atau tidak mampu untuk bersanding dengan mereka bertiga. Ini membuat gadis itu akan berusaha sekuat tenaga untuk tak menyusahkan mereka semua. “Kita tidak akan melewati rest area atau minimarket lagi, ya?” tanya Syden yang sudah mulai tak nyaman ketika melewati jalanan dengan hutan hutan lebat seperti ini. Belum lagi, matahari mulai menurun dan menghilangkan sinar yang baru kali ini pria itu rasa sangat tak ingin kehilangan. Suara suara alam sepeti jangkrik atau tanaman yang bergesekan akibat ada hewan yang lewat pun sejujurnya sedikit membuat takut Kael. “tidak akan adalagi hal seperti itu” ujar Farren ketika menilik gps dan mengingat ingat apa yang dibicarakan oleh tetua setempat yang sempat mengobrol dengannya via telepon. Karena mereka akan bertamu selama tiga bulan –ya meskipun ini adalah urusan pemerintahan-, tentu saja mereka tetap harus meminta izin. Belum lagi karena mereka pun akan menempati rumah warga setempat, dan hidup berdampingan dengan mereka karena akses keluar masuk desa yang sangat sulit. “kita tak akan kekurangan makanan, kan? Maafkan Syden yang terlahir dengan sendok emas di mulutnya hingga ia tak terbiasa akan hidup ‘susah’ seperti ini. Zale yang mendengarnya mendelik sebal. Jika memang pria tinggi dengan wajah yang lebih mirip model itu dibandingkan polisi sangat tak suka dengan kerja lapangan yang seperti ini, mengapa ia tak merengek kepada orang tuanya untuk tidak ditempatkan bersama mereka. Toh orang tuanya pasti akan melakukan berbagai cara untuk mengabulkan, dan mereka pun tak membutuhkan lelaki manja seperti dirinya itu. Ah, lebih tepatnya manusia manja. Jalanan aspal lama kelamaan mulai berubah menjadi jalanan penuh tanah dan batu. Jalanan yang menjadi tanda dan biasa disebut area perbatasan oleh warga setempat karena tak jauh lagi, segala hutan itu akan menghilang dan digantikan bukti bukit tak berpohon yang di salah satu sisinya merupakan jurang. Farren harus memutar otak dan memaksakan matanya fokus jika tak ingin mobil mereka terperosok kedalam jurang yang cukup dalam itu- itu, yang tadinya dipikirkan oleh pemuda yang menjadi pemimpin di team mereka kali ini. Namun dalam faktanya, sebuah tumpukan tanah menghalangi jalan mereka, yang membuat mobil mau tak mau memberhentikan dirinya ketika si pengemudi menginjak pedal rem. Tanah longsor. Sepertinya tumpukan tanah ini merupakan tumpukan dari tanah longsor yang ada di atas sana. Yang mana artinya, mobil mereka tak akan bisa melewati tumpukan tanah ini, dan jikalaupun bisa, mereka akan terperosok lagi kebawah karena area yang longsor adalah area yang nantinya akan mereka lewati juga. Dengan mengusak rambutnya lelah Farren mencoba mengeluarkan peta buatan tangan yang sempat ia gambar ketika berteleponan dengan salah satu penghuni desa. Peta yang katanya harus terus dipegang karena sinyal yang jelek didaerah sana terkadang membuat pendatang baru tersesat karena gps yang belum di download offline atau penghuni desa yang tak bisa dihubungi. Namun ketika pria itu melirik kearah Zale yang ada disampingnya, lalu menengokkan kepalanya kebelakang untuk mengecheck keadaan keenam rekannya yang lain, ia memutuskan untuk mencoba peruntungannya untuk menghubungi penduduk yang di tetuakan disana. Mungkin saja ada satu dua kendaraan yang bisa digunakan untuk mengangkut mereka dari sana. Karena kemungkinan jarak dari sana hingga sampai ke desa setempat sekiranya sekitar dua sampai tiga jam lagi. Telepon tersambung. Tak ada tanda tanda dari operator mengenai ketidak tersediaan sinyal atau matinya ponsel orang di sebrang line sana membuat Farren semakin menaruh harapan untuk bisa sampai dengan nyaman. Dering ketiga hingga kelima tidak diangkat. Ah, mungkin mereka sedang menyantap makan malamnya. Hingga dering terakhir mati dan menyisakan suara operator, lalu berlanjut dengan percobaan telepon yang selanjutnya, dan menyisakan hal yang sama, membuat ketujuh orang sisanya sudah tersenyum pahit mengetahui keadaan yang akan mereka jalanin kedepannya. “jadi, bagaimana?” tanya Eric yang sudah bersiap siap merapihkan tasnya –yang untung saja dia hanya membawa tas lima liter yang biasa digunakan ketikan ia bepergian menaiki gunung-, tiba tiba ia langsung merasa kasihan dengan Syden. “jika memang kita harus berjalan, berarti kita harus meninggalkan mobil disini?” tanya Dylan yang akhirnya membuka mulutnya ketika enam orang yang lebih tua sibuk menambah kerut di dahi akibat terlalu keras berpikir. “setidaknya jikalau pun memang harus berjalan, minimal harus ada satu orang yang terbiasa berjalan di daerah sini untuk membimbing kita. Jika mengandalakan GPS offline, terkadang arahnya salah, apalagi jika sudah memasuki area perhutanan seperti ini. Jikapun ingin melihat peta buatan itu, akan cukup berbahaya karena jalanannya tentu saja tak akan semudah yang ada di peta itu” ujarnya lagi memberi saran, yang diaminkan oleh Zale. “Kita tunggu lagi beberapa menit. Toh sambungan telepon masih terhubung. Kau coba lagi hubungi mereka untuk setidaknya memberikan gambaran peta lebih detail. Jika beruntung, semoga ada orang yang akan menjemput kita disini” Belum apa apa, rasanya pekerjaan lapangan di misi kali ini sudah memberatkan bahu mereka. Yang lainnya kini sibuk dengan barang masing masing –yang sempat dibuka lalu berantakan untuk mencari cemilan atau keperluan- dan merapihkannya. Antisipasi jika pilihan terakhir memanglah harus berjalan melewati tanah basah yang sudah ditutupi bekas longsoran ini. “Ya halo?? Pak Shue?” ujar Farren yang tersentak dari duduknya karena akhirnya ada suara di sebrang sana yang seakan akan memberikan angin segar kala matahari terbenam bagi kedelapan cucu adam disana –yang sepertinya tak berlangsung lama karena nada suara Farren yang merendah dan akhirnya menyahuti percakapan dengan sedikit tidak bersemangat. Telepon ditutup, membuahkan pandangan bertanya dari ketujuh orang yang kini tanggung jawab mereka ada di tangannya. “Pak Shue berkata bahwa orang yang memiliki kendaraan di desa mereka sedang tak ada ditempat, dan tidak mungkin untuk warga bersepedah melewati jalur yang sudah tertutupi longsor seperti ini” katanya yang langsung menurunkan bahu rekan rekannya yang lain. Sudah. Inilah jawabannya. “Beliau berkata bahwa bisa saja jika melewati jalur desa lain, namun harus memutar jadi dari sekitar tiga jam lagi, menjadi empat sampai lima jam. Tak masalah sih, namun bagaimana caranya kita memutar mobil jika sebelah kanan jurang dan sebelah kiri adalah tumpukan tanah longsor. Salah arah sedikit bisa mati kita semua” ujarnya memasang senyum –yang semua orang tahu itu senyum palsu yang dipaksakan- untuk menguatkan rekannya yang lain. “tak ada pilihan lain, mari berjalan. Peta ini ternyata detail. Karena arahnya memang seperti ini, tak ada persimpangan lagi, namun jauh. Toh beliau berkata bahwa jalur yang biasa dilewati memiliki tanda khusus. Tak ada rumput liar dan dipenuhi kerikil agar tidak licin. Pak Shue pun berkata dia akan langsung berjalan kearah kita, jadi nanti kita akan bertemu di tengah jalan” “Mobilnya?” “Ya.. mau tidak mau disimpan disini. Siapa juga yang mau mencuri mobil kita jika jalanannya seperti ini. Pak Shue tadi berkata bahwa nanti akan ada warga desa yang membersihkan bekas longsoran, jadi kita akan bisa membawa mobil ke desa. Ya tapi paling mobil ini akan sangat kotor saja. Tak masalah” “lalu bagaimana denganku?” tanya Syden yang merengut dan menunjuk koper besar yang kelihatan mewah itu. “ya, siapa yang menyuruhmu untuk membawa koper sebesar itu ke desa, Syden” “Kepala kepolisian menyuruhku membawa semua yang kubutuhkan. Ini semua hal yang kubutuhkan.” Jika ini anime, mungkin akan ada persimpangan atau perempatan di dahi yang menjadi leader. “ya kalau begitu mau tak mau dibawa? Paling bagian bawah kopermu akan rusak. Mari kita semua saling membantu” ujarnya yang membuahi putaran mata malas dan dua rekan lamanya. Mau tak mau mereka mengeluarkan tubuh malasnya dari dalam mobil, yang kini berakhir dengan erangan malas dari semuanya –even Farren- ketika menyadari bahwa mereka harus berjalan di tanah kotor yang lembab dan licin dalam kurun waktu tiga jam!! “Hati hati semuanya, gunakan ponsel kalian untuk senter karena semakin malam semakin gelap. Jaga rekan kalian jangan sampai ada yang terpeleset atau parahnya kecelakaan” titahnya yang langsung dijawab dengan kompak oleh yang lain. Perjalanan selama hampir dua jam berdelapan, yang dilanjut satu jam lagi menjadi bersembilan ditambah pak Shue yang ,benar benar menyusul mereka diiringi dengan suara suara khas hutan atau lembah, yang sejujurnya membuat mereka ngeri. Jalanan yang sama sekali tidak ada lampu, hanya bermodalkan senter di ponsel masing masing dan satu senter yang dibawa oleh tuan Shue lah yang menjadi penunjuk mereka berjalan dengan keadaan yang sudah tidak karuan itu. Peluh, wajah ketakutan dan kelelahan, hingga terkadang pekikan kaget dari Britta dan Kael yang memang sedikit penakut. Mereka sudah menggenggam alat pertahan diri masing masing ditangan mereka. Entah itu pisau lipat, senapan listrik atau setidaknya tongkat yang bisa menghalau jika ada sesuatu menyerang mereka. Menurut pak Shue, desa mereka aman dari perampok, hingga makhluk buas, namun perjalanan menuju desa mereka yang tidak aman. Seluruh penghuni desa biasanya selalu membawa *golok untuk berjaga jaga, dan karena itu pula seluruh anak yang masih bersekolah harus melewati jalur lain yang lebih jauh karena sekolahan terdekat hanya ada di desa sebelah. Memikirkan hal tersebut membuat yang lain hampir melontarkan kekehan ketika mengingat ucapan pemerintahan mereka kala itu, yang berkata bahwa infrastruktur di negara mereka sudah sama rata. Setelah perjalanan panjang yang cukup –tidak, ralat, sangat melelahkan, mereka pun akhirnya sampai di desa Asgardia. Sebuah desa terpencil namun memiliki tingkat kesuburan tanah yang baik. Jika ini pagi hari, atau setidaknya matahari sudah muncul, maka akan terlihat bahwa kawasan ini dikelilingi oleh pepohonan cantik dan kebun milik warga sekitar. Jika kawasan ini merupakan kawasan wisata, sepertinya perjalanan panjang tadi sangat worth untuk dilalui jika akan mendapatkan pemandangan seindah ini. Desa yang tidak hanya datar, namun berdiri diatas bukit bukit kecil yang sangat hijau, yang malah mengingatkan Britta akan latar cerita di dongeng yang sering ia baca saat kecil. Seakan sebuah desa fantasi yang menyeret orang untuk terus bertahan disana. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika kedatangannya disambut oleh beberapa warga yang belum tidur –dan ada beberapa yang memaksakan bangun- untuk menyambut kelompok yang semoga saja bisa mengakhiri permasalahan yang menghantui daerah yang dahulunya damai ini. Dari hasil bincang kecil ketika penyambutan tadi, dan ketika mereka diam sebentar untuk menikmati air mineral yang rasanya seperti air surga bagi para manusia kelelahan itu, mereka akhirnya menyadari mengapa kepala kepolisian dan polisi yang dahulu sempat bertugas di daerah sini mengatakan bahwa tak perlu membawa banyak perlengkapan untuk bertahan hidup dalam konteks makanan. Hampir semua warga desa berkebun dan beternak. Oleh karena itu, meskipun tak banyak keluarga yang memiliki kendaraan, mereka tak merasa terbebani karena hal itu, keadaan pangan mereka lebih dari cukup hingga mereka tak berminat untuk bepergian ke pasar yang jarak tempuhnya sangat jauh. Biasanya, yang akan keluar dari desa adalah orang yang membeli pakaian atau bahan yang tak dapat ditemukan disana. Para pelajar pun biasanya pergi ke sekolah menggunakan sepeda tua milik orang tuanya. “sudah, sudah” ujar pak Shue yang ternyata kepala desa disana mencoba menengahi warganya yang masih antusias dengan pendatang baru ini. “mereka lelah, perjalanan panjang selama hampir lima belas jam pasti merenggut semua energi di tubuh mereka” katanya lagi. “biarkan mereka istirahat dahulu, masih ada hari esok untuk sekedar berbincang bincang” yang kemudian menyeret kedelapan anak muda itu untuk bangun dan berjalan kearah rumah yang memang sudah disiapkan untuk mereka. Dalam perjalanan menuju rumah yang jaraknya hanya beberapa langkah, mereka kemudian semakin menyadari bahwa desa yang sangat luas ini sangat sangatlah sepi. Desa yang hanya memiliki sekitar tiga puluhan keluarga. Dengan hilangnya empat belas keluarga secara berturut turut dengan kondisi misterius, membuat desa ini semakin sepi. Ditambah lagi kesan horor setiap matahari terbenam karena semua orang disana menjadi berpikir bahwa hampir lima puluh orang itu hilang ketika matahari terbenam. Ditambah, beberapa orang yang sudah cukup dewasa, memilih mencari kerja di luar untuk bertarung mengenai peruntungan mereka, jadi menyisakan anak kecil, usia pelajar dan orang tua sebagai penduduk tetap desa bernama Asgardia ini. “Maaf, disini yang punya rumah lebih dari satu hanyalah bapak. Dan rumah lain tak memungkinkan jika kalian berdelapan ikut tinggal. Tapi ya.. beginilah.. keadaan rumahnya tak terlalu layak, mungkin besok pagi bapak akan membantu kalian untuk bersih bersih” ujarnya seakan tak enak memperlakukan tamu yang berniat baik untuk mereka semua dengan seperti ini. “untuk malam ini, bapak minta maaf ya, kalian tidak bisa tidur dengan nyenyak” “tidak apa apa” ujar mereka tumpang tindih karena saling ingin menjawab. Lagipula, siapa mereka berani protes jika sudah diperlakukan sebaik ini, dan juga- kepolisian bahkan tidak memberikan mereka akomodasi untuk bisa sampai disini. Mobil yang digunakan adalah mobil Zale, bensin hasil mereka semua mengumpulkan uang, kini mereka tinggal dan hidup di tempat orang, hasil dari kebaikan warga setempat. Kurang ajar sekali jika mereka masih protes sehabis ini. “jika sudah perjalanan panjang seperti ini, kami akan tertidur seperti mayat tanpa memikirkan kondisi sekitar. Tenang saja” ucap Eros mencoba meyakinkan tuan Shue. Tak lama, mereka akhirnya benar benar bisa merebahkan tubuh lelah mereka didalam rumah yang ternyata memang berdebu itu. Kini tak harus dipikirkan karena toh tubuh mereka sudah kotor akibat lumpur dan keringat. “aku sudah mengecheck kamar mandi, air mengalir dengan bersih. Kalian mandi lah, lalu langsung istirahat” ujar Farren yang baru saja kembali ke arah belakang. Terlihat kakinya memiliki jejak di lantai karena memang beberapa titik rumah basah akibat atap yang bocor. “pastikan setelah kalian mencuci kaki, kalian berjalan di titik yang tidak kotor. Jadi kamar nanti tidak akan kotor” “Omong omong kamar, bagaimana pembagiannya?” tanya Kael dengan pandangan yang polos. Hm.. jika pikir pikir, memang sih rumah ini memiliki dua kamar, namun kasur lantai di tiap kamar hanya berukuran single, dan yang satu lagi berukuran queen. Tak akan cukup menampung tubuh besar mereka semua. Ditambah lagi... Britta. Inilah mengapa sejujurnya Zale menolak adanya gadis itu ketika meeting awal bersama kepala kepolisian. Bukannya meremehkan dan perbedaan gender, namun karena mereka harus hidup bersama selama tiga bulan, dia khawatir akan gadis satu satunya di kelompok itu. “Aku tidak ingin *geer, namun jika kalian khawatir padaku, tak usah repot repot. Aku bisa tidur sekamar dengan kalian, namun jika kalian berpikiran buruk, maka terima lah nasib akan melanjutkan hidup tanpa kelamin” ucapnya yang sejujurnya membuat Eros mengalami culture shock. Britta sendiri bukanlah tipe yang keras, Dylan tahu itu karena mereka menjalani sekolah pelatihan bersama sama. Namun dengan keadaan se urgensi ini, dia tak ingin menghambat kelompoknya sendiri, pun gadis itu tak ingin dianggap menyusahkan yang lainnya. “Baiklah” ujar Farren setelah beberapa menit berpikir dan bertukar pandang dengan Zale juga Eric. “Kita bagi empat empat. Khusus Britta, kau tidur di kamar yang memiliki kasur single. Kau tidur disana” titahnya. “Tidak perlu mengistimewakank hanya karena aku wanita” “Aku bukan mengistimewakanmu, Britta. Di kamar lain pun akan ada yang menempati kasur, dan itu lelaki. Kau kini ada dalam tanggung jawabku. Bukan hanya kau, kalian semua” ujar yang paling tua. “ini perintah” titahnya lagi yang mau tak mau diangguki dengan pasrah oleh si gadis. “kalian sisanya, silahkan menyebar ingin tidur di kamar yang mana” yang langsung saja membuat ketujuh pasang kaki lainnya berhamburan untuk masuk ke kamar dan menaruh barang barang mereka. Sebelum semuanya ketiduran atau berhamburan ke kamar mandi untuk membersihkan diri –“malam ini tidur dengan benar. Tak perlu bangun terlalu pagi karena kita harus recharge energy. Besok sebelum ke tempat kejadian perkara, kita akan saling bertukar laporan. Mengerti?” yang dijawab dengan kompak oleh anggotanya. Ya..mungkin tiga bulan tak akan terlalu sulit. Iya.. kan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD