Ketika pada akhirnya hari kelulusan itu tiba, Evan berdiri di dalam kabin tua di dekat danau dan memandangi belasan kertas catatan yang menempel di atas dinding, kemudian tertegun. Tatapannya menyapu ke sekitar, melewati tumpukan kayu-kayu tua, barang-barang bekas yang telah berdebu, perlatan memancing yang diletakkan di dalam peti kayu dan juga jendelanya yang selalu terbuka. Melalui jendela itu, Evan melihat Hannah mengendarai sepedanya di kejauhan. Wanita itu telah mengenakan seragamnya dan membawa sebuah tas hitam di belakang pundaknya. Hannah tersenyum lebar, wajahnya berseri-seri hingga wanita itu sampai di dekat kabin.
Evan membuka pintu kabin untuk menyambutnya, kemudian ia dikagetkan oleh gerakan tak terduga ketika Hannah melempar tubuh ke arahnya dan merangkulnya erat. Selama beberapa detik, Evan dapat merasakan tubuhnya berdiri dengan kaku, matanya menatap lurus ke depan sebelum ia akhirnya mendapatkan keberanian untuk mengangkat kedua lengannya, melingkarinya ke seputar punggung Hannah dan meredam wajahnya di atas bahu wanita itu.
Evan senang mencium aroma parfum Hannah, merasakan kedekatan yang begitu akrab ketika Hannah memeluknya erat. Kemudian wanita itu bergerak menjauh sehingga Evan dapat melihat kilat pada kedua mata hazel-nya yang familier.
“Maaf, tapi aku sangat bersemangat!” katanya.
“Jangan meminta maaf untuk itu!”
Hannah bergerak mendekati meja kemudian mengeluarkan dua kostum wisuda dari dalam tasnya. Ia menyerahkan satu pada Evan sementara ia mengenakan satu pakaian yang lainnya.
“Bagaimana?”
“Cocok untukmu.”
“Terima kasih. Aku memiliki sesuatu untukmu!” katanya sebelum merogoh ke dalam tas hitam itu dan mengeluarkan sertifikat milik Evan dari sana. Wanita itu telah menyusun potongan kertas yang telah sobek dan menempelnya dengan lem. Ketika melihat Hannah menempelkan kertas itu di atas dinding bersama tumpukan catatan lainnya, Evan merasa terpaku. Kedua matanya memandang lurus pada potongan kertas yang telah disusun menjadi satu, selama sejenak ia merasakan sebuah getaran aneh dalam dirinya yang membuat hatinya terenyuh. Sementara itu Hannah masih berdiri di tempat yang sama, menatapnya sembari tersenyum dan bertanya, “apa kau keberatan?”
Butuh beberapa detik sebelum Evan pulih dari lamunannya dan menjawab, “tidak.”
Mereka bersepeda untuk sampai di gedung tempat dimana seluruh mahasiswa yang akan diwisuda sudah mengantre untuk mendapat giliran masuk. Lima belas menit kemudian, seluruh mahasiswa diizinkan masuk untuk menempati kursi-kursi kosong yang telah di sediakan untuk mereka. Di dekat pintu, Evan sempat berpapasan dengan Antoni dan Luke yang memandanginya dengan penuh permusuhan. Evan hendak pergi mendekati mereka dan mengatakan sesuatu untuk meluruskan situasinya, terutama karena Antoni dan Luke masih menyalahkannya atas apa yang menimpa Richie, tapi Hannah lebih dulu menariknya masuk melewati pintu untuk mencegah apapun yang bisa saja terjadi disana.
Wanita itu menempati kursi di sampingnya, tersenyum dan menatap lurus ke arah panggung. Puluhan tamu undangan yang telah hadir duduk menempati kursi yang disediakan untuk tamu. Evan menatap ke sekelilingnya, berharap ia akan menemukan Edith di dekat pintu, atau duduk menempati salah satu kursi tamu di ujung sana, namun wanita itu tidak muncul bahkan hingga acaranya benar-benar dimulai. Sementara itu, beberapa panitia dan pengurus telah naik ke atas panggung. Keheningan mulai mengisi setiap sudut tempat di dalam aula itu saat kepala Universitas berdiri di belakang mimbar dan memberi sambutan. Seluruh mahasiswa yang hadir disana memberi tepuk tangan meriah, Evan dapat menyaksikan ketegangan dalam raut wajah mereka, diam-diam merasakan hal yang sama. Namun Hannah yang duduk di sampingnya tampak tidak terganggu dengan semua itu. Evan dapat melihat bagaimana wajahnya berseri-seri di sepajang acara.
Ketika panitia akhirnya mengumumkan kelulusan bagi seluruh mahasiswa disana, seisi ruangan dipenuhi oleh sorakan dan tepuk tangan yang menggema. Sambutan demi sambutan berlalu, sejauh itu ia masih mendengarkan semuanya dengan baik hingga secara tak diduga-duga, kepala universitas berdiri di atas mimbar dan menyebutkan namanya sebagai salah satu mahasiswa lulusan fisika terbaik.
Ribuan orang di dalam ruangan ikut bersorak. Hannah tersenyum lebar ketika mendengarnya. Kedua matanya tampak berkaca-kaca dan satu tangannya menggenggam Evan dengan erat. Di tengah kebisingan suara yang hadir di dalam satu ruangan itu, samar-samar Evan mendengar Hannah berkata, “kau melakukannya! Aku tahu mereka akan menyebut namamu.”
Dalam beberapa detik yang terasa mengguncang, Evan merasakan langkahnya goyah ketika ia menaiki panggung untuk menerima piagam penghargaan. Seorang pembawa acara melambaikan tangan dan mempersilakannya berdiri di atas mimbar untuk memberi sambutan. Tubuhnya bergetar sedang kedua matanya terasa menyengat. Hawa panas merambat ke sekujur tubuhnya dengan cepat terutama ketika ia berdiri di atas mimbar dan menatap ke sekelilingnya. Kini, cahaya yang mengisi sudut-sudut ruangan tampak seperti sebuah titik kecil di kejauhan. Evan merasa gentar saat menyaksikan ribuan pasang mata itu menatapnya, menunggunya untuk mengatakan sesuatu. Sebuah getaran hebat yang dialaminya membuatnya membisu hingga tatapannya menyapu ke barisan kursi terdepan yang ditempati Hannah. Untuk satu alasan tertentu Evan merasa sedikit lega saat melihat bagaimana wanita itu tersenyum lebar dan memberinya dukungan. Disaat yang bersamaan, ia mendapat kejutan lain saat melihat Edith telah hadir dan menempati barisan belakang kursi tamu. Wajahnya tidak lagi terlihat pucat, sebaliknya Edith tampak bersinar hari itu dengan kepangan rambut panjangnya yang berwarna pirang dan juga setelan kemeja biru yang tampak begitu anggun saat dikenakannya. Samar-samar Evan menangkap senyum di wajahnya. Gambaran akan rasa benci, amarah, dan kesedihan yang disaksikannya selama lebih dari satu tahun sejak peristiwa kecelakaan itu terjadi, kini memudar dan digantikan oleh kegembiraan dan rasa bangga seolah-olah wanita itu ikut merayakan keberhasilannya. Tapi Evan mengatakan pada dirinya bahwa ia tidak sedang bermimpi. Apa yang disaksikannya benar-benar terjadi dan untuk satu alasan tertentu, semua itu memberinya kekuatan untuk berbicara.
“Aku pernah gagal sekali,” mulainya, kemudian seisi ruangan menjadi hening ketika mendengarkannya. “.. mungkin itu satu-satunya kegagalan terbesarku dan aku merasa sangat kecewa karenanya. Aku pikir hidupku berakhir pada detik itu juga – mudah sekali untuk berpikir begitu. Aku mengambil jalan yang salah dan yang terjadi adalah aku membuatnya buruk dan semakin buruk. Itu benar bahwa apa yang kita lihat adalah hasil dari keputusan tentang apa yang ingin kita lihat. Dunia bisa menjadi tempat terbaik – atau bahkan terburuk untukmu, kau hanya perlu memilih dua hal: apa kau akan melihat hal-hal buruk dalam duniamu, atau kau hanya akan melihat hal-hal terbaik yang dapat diberikan dunia padamu. Aku memilih untuk melihat kegagalan itu sebagai sesuatu yang buruk, maka aku terjerumus ke dalam lubang yang kubuat sendiri. Aku bisa saja berpaling dari kegagalan itu dan memulainya, tapi aku ketakutan – aku hanya memiliki satu impian di kepalaku dan ketika segalanya tidak berjalan sesuai rencana, aku kacau.”
Evan menunduk menatap jari-jarinya, untuk sejenak membiarkan keheningan itu menggantung selama beberapa detik sebelum ia mengangkat wajah dan melanjutkan dengan tenang.
“Ayahku pernah mengatakan bahwa aku keras kepala seperti saudaraku. Dia telah meninggal diusia sebelas tahun karena penyakit paru-paru, aku nyaris tidak mengenali saudara laki-lakiku, tapi ayahku selalu mengatakan bahwa sifat kami sama. Kami memiliki keinginan besar terhadap sesuatu, dan tidak peduli apa yang terjadi, kami akan mengejarnya. Dia sepenuhnya benar – ayahku mengatakan yang sebenarnya, tapi aku tidak menyadari itu sampai hari dimana aku harus kehilangannya karena sebuah insiden. Hari itu, adalah hari terburuk yang pernah terjadi sepanjang hidupku. Aku putus asa, tapi setiap kali melihat wajahnya di foto, aku mendengarnya berbisik di telingaku. Dia akan mengatakan kalimat yang sama yang pernah kudengar: segala hal tidak selalu berjalan sesuai rencana, tapi bukan berarti aku kalah. Aku hanya perlu bersabar karena segalanya akan membaik – dan dia benar. Segalanya telah membaik. Aku juga pernah mendengar seseorang mengatakan bahwa: hari kemarin adalah kenangan, hari esok adalah kejaiban, dan hari diantara kemarin dan hari esok.. disebut takdir. Jadi aku hanya hidup dan menjalani takdirku, dan aku akan selalu menunggu keajaiban untuk menghadapi hari esok. Aku mungkin akan menyarankan agar untuk melakukan hal yang sama, karena waktu tidak bergerak mundur, mereka tidak akan mengubah apa yang telah terjadi di masa lalu, tapi kita dapat meyakini bahwa sebuah keajaiban menunggu di depan mata kita – karena mereka selalu ada disana jika kita memutuskan untuk melihatnya.”
Suara gemuruh tepuk tangan yang keras menggema di seluruh ruangan. Jantungnya mencelos saat menyaksikan ribuan orang yang hadir disana ikut berdiri untuk memberinya apresiasi. Kemudian semuanya mengalir begitu saja. Panitia mulai menyebutkan nama seluruh mahasiswa satu persatu dan mempersilakan mereka naik ke atas panggung untuk menerima medali atas kelulusan mereka. Ketika acara yang berlangsung megah itu berakhir, Evan berlari menuruni tangga di depan gedung untuk menghampiri Edith yang berdiri di seberang jalan. Untuk kali pertama sejak satu tahun terakhir, wanita itu menatapnya, tersenyum lebar kemudian mengalungkan lengan dan memeluknya erat.
Terkadang ada beberapa momen penting yang tidak akan pernah terlupakan. Terkadang beberapa di antara momen itu berhasil memengaruhinya – atau bahkan mengubah hidupnya. Ketika ia membuka diri sepenuhnya pada setiap keyakinan tentang adanya sebuah keajaiban, hal-hal baik menghampirinya secara beruntun. Ia pernah mengalami hal yang sama saat menjalani kompetisi itu. Kali ini ia telah belajar bahwa setiap kegagalan yang terjadi hadir bersama kesempatan lain untuk mencoba dan ia melakukannya persis setelah hari kelulusan itu berlalu.
Hari-hari berikutnya berlangsung dengan cepat. Evan menyadari bahwa ia memiliki kapasitas waktu lebih banyak untuk bekerja sepenuhnya di laboratorium. Sejauh itu semuanya berjalan dengan lancar. Edith memutuskan bahwa wanita itu akan bekerja sama dengan seorang pengusaha setempat untuk mengembangkan bisnis ternak mereka. Baru-baru ini Evan menyadari bahwa anak dari pengusaha lokal itu adalah pemuda yang sering ditemui Edith dan menjalin hubungan dengan saudarinya selama tiga bulan terakhir.
Sementara itu, perusahaan surat kabar terus menerus mengiriminya e-mail tawaran pada Evan untuk bekerja disana. Meskipun begitu, Evan tidak menanggapi tawaran itu karena sejak dua bulan terakhir, ia telah memiliki sejumlah rencana yang akan dilakukannya untuk membawanya lebih dekat pada mimpi lamanya untuk dapat terbang.
Evan menekuni rencana itu siang dan malam. Selama itu ia menyingkirkan semua pikiran dan kenangan buruk yang terus menerus menghantuinya. Disisi lain, orangtua Hannah mendukung Evan untuk mewujudkan semua itu. Untuk alasan yang masih tidak dapat diapahaminya, mereka bersedia memfasilitasi semua hal yang dibutuhkan Evan untuk mewujudkan mimpinya. Sebagai ganti atas kebaikan mereka, Evan bekerja siang dan malam untuk menyelesaikan penelitian yang sedang berlangsung di lab.
Hari berganti menjadi bulan, bulan berganti menjadi tahun dan tanpa diduga-duga tiga tahun telah berlalu sejak ia melewati hari kelulusannya. Hubungannya dengan Hannah menjadi semakin erat setiap harinya. Dalam waktu senggang yang dimilikinya, Evan akan menyempatkan diri untuk bertemu Hannah di dekat danau, terkadang mereka akan berkeliling menyusuri pinggiran kota, mencicipi makanan di restoran terbaik, menonton acara teater atau pergi ke perpustakaan besar di pusat kota. Terkadang, mereka mengunjungi perpustakaan lama di kampus mereka hanya untuk duduk mengobrol besama Don, namun berita duka datang satu tahun yang lalu ketika saudari Don yang dikenal Evan cukup baik, memberitahunya bahwa Don meninggal karena serangan jantung.
Kabar itu membawa kesedihan yang besar. Meskipun tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan Don, Evan dapat merasakan kepergian Don sebagai suatu perasaan kehilangan yang bersifat pribadi. Ia mengatakannya persis di hari pemakaman Don. Evan dapat menyaksikan semua orang yang ikut hadir disana termasuk Hannah, menangis saat menatap wajah Don tampak bersinar dalam setelan kemeja terbaik yang pernah dilihatnya, untuk kali terakhir. Namun seperti biasa, waktu membawa kabar buruk, waktu juga yang menyembuhkannya.
Tiga bulan berikutnya, Evan berhasil mendapatkan sertifikat kelulusan dari kelas penerbangan yang ditekuninya selama satu tahun terakhir. Hannah hadir disana untuk merayakan keberhasilan mereka. Wanita itu telah memutuskan untuk mengikuti kursus mengajar sebelum ia benar-benar terjun sebagai guru di sekolah menengah. Hannah telah memiliki keinginan itu sejak dulu dan Evan menganggumi fakta bahwa keyakinan Hannah akan mimpinya tidak pernah memudar. Tapi ia menyadari bahwa cepat atau lambat, mereka akan berpisah dan memilih jalur mereka masing-masing.
Apa yang sebelumnya menjadi sebuah ketakutan yang sesekali muncul dikepalanya terwujud tepat satu tahun berikutnya, ketika Evan akhirnya lolos seleksi dan diminta untuk mengikuti pelatihan astronomi bersama NASA sebelum benar-benar terlibat sebagai salah satu pilot dan astronot disana. Kabar baik itu datang bersama keputusan untuk meninggalkan kota kecilnya dan semua yang ada disana. Wajah Hannah muncul kali pertama di kepalanya sebelum Evan menandatangi ketentuan perjanjian untuk mengikuti pelatihan disana. Untuk meyakinkannya, ia mengadakan pertemuan kecilnya dengan Hannah sore itu untuk mengatakan maksudnya.
Persis setelah Evan menjelaskan situasinya, ia menyadari bahwa sejumlah emosi muncul secara bersamaan dalam raut wajah Hannah. Disatu sisi, wanita itu tidak dapat menahan diri saat merasakan kegembiraan atas keberhasilannya memeroleh kesempatan untuk bergabung bersama NASA. Disisi lain, kegembiraan itu hadir bersama rasa sedih atas pemikiran bahwa mereka telah mencapai titik dimana mereka akan melanjutkan hidup dan tumbuh dewasa secara terpisah. Namun disaat yang bersamaan Evan berusaha meyakinkan Hannah bahwa suatu hari mereka akan bertemu kembali.
“Aku akan mengirimimu surat setiap akhir pekan, bagaimana?” ide itu muncul begitu saja di kepalanya. Meskipun terdengar aneh, tapi wanita itu mengangguk menyetujuinya.
“Sebenarnya kita bisa mengobrol lewat telepon.”
“Ya, tapi aku suka menulis surat.”
“Surat juga bagus jadi aku bisa menyimpannya.”
“Bagus! Dan kau akan melakukan hal yang sama?”
“Ya. Setiap akhir pekan?”
“Setiap akhir pekan.”
Hannah mengernyitkan dahinya saat bertanya, “berapa lama kau akan berada disana?”
“Itu bukan pelatihan jangka pendek, karena mereka akan mempersiapkan segalanya dengan matang sampai aku benar-benar bisa menjalankan misi pertamaku. Mungkin itu akan memakan waktu lima tahun.”
Wanita itu membeliakkan matanya. “Lima tahun? Berapa usiamu sekarang?”
“Dua puluh lima.”
“Jadi aku akan melihatmu lagi ketika kau berusia tiga puluh tahun?”
“Ya, atau mungkin lebih cepat.”
“Dan kita akan bertukar kabar melalui surat selama itu?”
“Apa kau keberatan?”
“Tidak, hanya.. itu waktu yang lama.”
“Aku tahu.”
“Kurahap kau tidak menikahi siapapun hingga hari itu.”
Evan terkekeh saat mendengarnya. “Tidak mungkin! Berani taruhan? Kau akan menjadi yang pertama di antara kita yang memutuskan untuk menikahi seseorang.”
“Mustahil.”
“Ya, kau akan.”
Kemudian percakapan mereka mengalir begitu saja. Setelah berjam-jam duduk di atas bukit dan berbicara, sebuah pemandangan menakjubkan muncul ketika matahari tenggelam di ufuk langit dan menyisakan cahaya berwarna jingga yang menyelimuti seisi kota di bawah sana. Dalam keheningan itu, Evan memutuskan untuk menikmati momen kebersamaan terakhir mereka sebelum ia benar-benar terbang ke Washington keesokan harinya. Di sampingnya, Hannah duduk dengan tenang meskipun garis-garis kerutan tipis di dahinya mengatakan dengan jelas bahwa wanita itu merasa tengganggu dengan pemikiran apapun yang muncul di kepalanya. Namun keheningan tetap menyelimuti mereka hingga langitnya berubah gelap. Tidak sedetikpun yang dilewati Evan tanpa rasa penasaran tentang apa yang mungkin dipikirkan Hannah. Alih-alih bertanya, Evan menangkup tangan Hannah dan menggenggamnya erat. Senyum tipis muncul di wajah Hannah, namun senyum itu hadir bersama rasa gelisah dan kesedihan yang entah bagaimana terlihat jelas di sepasang matanya.
Itu adalah momen dalam hidupnya dimana ia merasa bersemangat untuk menghadapi hari esok sekaligus berharap agar waktu dapat bergerak lebih lambat sehingga ia dapat menikmati kebersamaannya dengan Hannah lebih lama.