Susunan kayu yang tersusun memanjang itu menjadi pembatas area pemakaman dengan jalanan lepas di dekat sana. Kawat-kawat panjang yang mengelilingi pagarnya, melarang binatang buas untuk dapat masuk ke dalam sana. Sebuah pohon oak besar berdiri di tengah-tengah area pemakaman sebagai pusat dari semua yang ada disana.
Evan duduk di atas bangku panjang sembari mengamati ke sekelilingnya. Angin yang berembus kencang menyentuh barisan rumput di sekitarnya. Puluhan nisan berbaris mengisi tempat itu. Beberapa pengunjung yang berdatangan disana, berdiri di untuk memanjatkan doa kemudian meletakkan rangkaian bunga di atasnya. Evan mengamati mereka di kejauhan, meresapi keheningan yang selalu hadir mengisi tempat itu. Tidak ada suara percakapan apalagi musik yang menggema keras. Hanya ada puluhan - mungkin ratusan batu nisan yang menancap di atas tanah, menandai makam dimana orangtuanya dikuburkan. Di atasnya langit sore membentang dari ujung timur ke ujung barat, menyebar dari utara ke selatan. Persis di kejauhan sana, ia menyaksikan cahaya matahari tenggelam di ufuk barat. Cahaya jingganya menyebar di ujung sana, seolah-olah menandai kepergiannya.
Evan memandangi nisan itu dan mendapati air matanya bergulir di atas wajah. Selama bertahun-tahun keheningan telah merangkulnya. Ia tidak pernah merasakan sebuah perasaan hampa yang begitu besar seperti saat itu, namun hari itu Evan merasakannya dan untuk satu alasan tertentu, ia dapat membiasakan diri dengannya.
Wajahnya kemudian menunduk untuk menatap jari-jarinya yang kosong. Saat hawa dingin di sekitar sana menggerogotinya, Evan merapatkan jaket, kemudian bergerak bangkit dari kursi panjang itu. Sejenak ia memandangi rangkaian bunga yang diletakkannya di atas bangku, kemudian ia meraihnya, meletakkan rangkaian itu di atas nisan yang mengukir nama orangtuanyanya.
Langkah kakinya bergerak mundur, ia pergi meninggalkan area itu dengan sepedanya, kali ini bergerak menyusuri kaki bukit, menuju danau dan kabin, tempat dimana ia akan duduk untuk menyendiri dengan pikirannya. Karena danau itu adalah tempat yang hening, Evan dapat menikmati waktunya disana, menjauh dari semua keruwetan yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir.
Ia membiarkan sepedanya jatuh tergeletak di atas rumput, kemudian melangkah mendekati tepi danau sembari menatap lurus pada pemukaan air di sana yang menggenang tenang. Permukaan keruh air danau itu menyembunyikan banyak hal di dalamnya. Tanaman yang pernah tumbuh disana mungkin telah mati akibat racun limbah yang mengalir dari sumber lubang di dalam danau yang tidak diketahui tempatnya. Evan tidak melihat tanda-tanda makhluk hidup yang berkeliaran di bawah airnya. Dulu ikan-ikan itu akan berenang bebas mengelilingi sekoci kapalnya di tengah-tengah danau. Kini, seisi danau tampak sakit. Sekoci kapal yang digunakannya untuk berlayar masih tertambat di tepi danau. Seserang membuat pijakan kayu sepanjang dua meter di dekat sana. Evan bergerak untuk memeriksa semua peralatan memancing seperti ember, kail, dan jangkar yang masih tergeletak di atas dek, kemudian pergi menuju kabin untuk kembali pada catatan-catatannya di atas dinding kayu.
Ketika ia bergerak untuk menyusuri semua catatan itu satu persatu, sebuah suara sepeda yang dikayuh terdengar dari arah depan. Evan bergegas mengintip melalui jendela kabin yang terbuka dan melihat Hannah berkeliaran di sekitar sana. Matanya menyapu ke sekeliling danau seolah wanita itu berusaha menemukan sesuatu disana.
Kemunculan Hannah disana adalah sesuatu yang baru, Evan sempat menduga bahwa wanita itu mengikutinya. Karena itu ia segera melangkahkan kakinya keluar dari pintu kabin. Hannah sedang berjalan menyusuri tepian danau ketika Evan menghampirinya. Kemunculannya dari belakang membuat wanita itu tersentak kaget. Namun, Hannah belum benar-benar menyadari kehadirannya hingga Evan menegurnya dengan seruan, “apa kau lakukan disini?”
Hannah berbalik untuk menatapnya. Kedua bahunya yang menegang merosot begitu menyadari kehadiran Evan disana, kemudian seringai muncul di wajahnya. Wanita itu bergerak mendekat, rambut gelapnya yang mulai memanjang, mengayun di belakang bahu dengan santai, kedua tangannya bersembunyi di balik saku jaket merah tebal yang dikenakannya sore itu. Kali ini wanita itu tidak hadir dengan rok seragam berwarna merah yang biasa dipakainya, melainkan jins berwarna gelap yang tampak bagus di kakinya dan sepatu kets putih dan sebuah rompi hijau di atas kepalanya.
“Mencari udara segar..?” pertanyaan itu tidak terdengar seperti jawaban melainkan pertanyaan karena wanita itu mengucapkannya dengan ragu.
“Apa kau mengikutiku?” pertanyaan Evan berikutnya memunculkan senyum lebar di wajah Hannah. Wanita itu menunduk sembari menggerakkan ujung sepatunya di atas tanah sebelum mengangkat wajah dan menyipitkan mata saat memandanginya. Alih-alih menjawab pertanyaan itu, Hannah balik bertanya,
“Apa kau keberatan?”
“Ini tempat rahasiaku.”
Hannah tertegun menatap ke sekelilingnya. “Yah..”
“Sekarang kau tahu tempat rahasiaku.”
Keheningan merangkul mereka, saat wanita itu menatapnya kembali, Evan menyadari senyumnya telah menghilang, digantikan oleh kerutan yang tiba-tiba muncul di dahinya.
“Kau benar-benar marah, ya?”
Evan tersenyum lebar kemudian meraih lengan Hannah dan menariknya ke tepi danau.
“Aku hanya ingin memberimu tur berkeliling tempat ini jika kau mau..”
“Aku mau,” sahut Hannah dengan cepat. Mereka berjalan bersisian menuju sekoci kapal yang tertambat di salah satu sudut danau. Kakinya melangkah menaiki pijakan kayu di dekat sana sementara Hannah mengekor di belakangnya.
“Apa kau sudah pernah berlayar?”
“Tidak.”
“Kau mau mencobanya?”
“Tentu.”
Evan membantu Hannah lebih dulu untuk sampai di atas dek sebelum melepaskan tali panjang yang menautkan sekoci itu dan bergabung dengan Hannah di atas dek.
“Aku tidak tahu apa kayunya masih cukup kuat, kapal ini hampir berusia satu dekade sejak aku menemukannya dekat sini.”
Wajah Hannah tiba-tiba memucat. “Apa kau bercanda?”
“Aku harap begitu,” ucap Evan saat mengangkat jangkar dan meraih sebuah kayuh yang diletakkan disana. Ia menempati sebuah kursi kecil di ujung dek dan memberi isyarat agar Hannah menempati penyangga kayu di ujung yang lainnya.
“Jangan khawatir,” kata Evan. “Jika sesuatu terjadi, kedalaman danau ini tidak sampai dua meter. Apa kau percaya padaku?”
Hannah ragu-ragu ketika menjawab, “ya..”
“Duduklah. Aku akan membawa kita sampai di tengah.”
Evan menolak godaan untuk menggoda wanita itu atau meledeknya, namun ia tidak mencegah senyum yang muncul di wajahnya saat menyaksikan bagaimana wajah Hannah menegang ketika ia mengayuh dan mengarahkan sekoci itu ke tengah-tengah danau. Dalam beberapa menit yang berlangsung hening, mereka hanya menikmati suasana yang terasa sejuk disana. Angin berembus lembut ketika menyapu wajahnya, di atasnya ia menyaksikan beberapa ekor burung terbang dan hinggap dari satu pohon ke pohon lainnya. Burung-burung itu mengeluarkan suara kicauan yang terdengar lembut di telinganya. Di kejauhan sana, mereka dapat menyaksikan bukit yang melandai, keriuhan kota, dan truk-truk besar yang bergerak di atas tanah melandai sebelum menghilang ketika memasuki kawasan hutan. Hannah juga dapat melihat sebuah tower tinggi di atas bukit yang menandai, tepat dimana laboratorium milik keluarganya berada. Evan menyaksikan bagaimana wanita itu merasa terpukau ketika melihatnya.
“Kau melihat tower itu? Itu laboratorium ayahku.”
Evan menatap lurus ke wajah Hannah dan menanggapinya dengan satu kata singkat, “ya.”
Dari tempatnya di atas dek, ia menyaksikan bagaimana wanita itu tersenyum lebar. Lambat laun ketakutan yang dirasakan Hannah menguap hingga mereka benar-benar sampai di tengah danau. Dengan wajah berseri-seri, Hannah menatap ke permukaan airnya kemudian bergerak mendekat untuk melihat lebih jelas ke dalam sana.
“Dimana ikan-ikannya?” tanya wanita itu sembari mengernyitkan dahinya. Perubahan emosi yang muncul dalam raut wajah itu terjadi seketika. Evan meletakkan kayuh di atas dek kemudian beringsut mendekat dan menatap ke permukaan danau.
“Mereka mati karena limbah.”
“Limbah?”
“Ya. Sudah hampir satu dekade ketika kawasan danau ini ditutup. Semua berawal dari peristiwa longsor yang terjadi saat itu. Tanahnya menutupi sebagian akses masuk ke danau ini. Kau lihat lereng di ujung sana?” Evan mengangkat satu jarinya dan menunjuk ke arah tempat yang dimaksud. Ketika Hannah mengangguk, ia melanjutkan dengan cepat. “Dulu itu adalah akses pintu masuk utama. Orang-orang sering datang mengunjungi danau ini untuk memancing, kemudian longsor yang terjadi menutup akses masuk dan merusak danau. Tanggulnya sempat pecah karena peristiwa itu sehingga limbah di permukaan laut mendapatkan akses untuk masuk ke danau ini. Ada sebuah lubang di dalam danau yang terhubung langsung ke tempat pembuagan limbah, hanya saja sudah terlambat untuk menutup lubangnya karena seisi danau sudah tercemar, hewan dan tumbuhan di dalamnya mati dalam hitungan hari, dan orang-orang beralih ke tempat lain. Ada banyak danau di kota ini yang lebih bersih airnya sehingga danau ini terlupakan begitu saja.”
“Bagaimana kau tahu ceritanya?”
Evan tertegun, kemudian mengulas senyum dan berkata, “dulu, ayahku sering mengajakku pergi untuk memancing disini. Saat tempat ini mulai tercemar, kami masih pergi kesini. Kami menemukan banyak peralatan memancing di kabin, dan juga sekoci ini. Seseorang meninggalkannya begitu saja. Setelah bertahun-tahun, aku datang sesekali untuk menyendiri. Ada banyak hal yang kutemukan disini.. danau ini baru sebagiannya, sebagian yang lain ada di kabin itu. Aku akan menunjukkannya padamu.”
Setelah mengarahkan sekoci itu untuk kembali ke tepian, mereka masuk ke dalam kabin. Cahaya menembus masuk melewati jendela kabin yang terbuka dan merambat jatuh di atas lantai kayunya yang dingin. Evan berdiri di dekat pintu selagi Hannah menyusuri kayu-kayu tua yang ditumpuk di sana bersama barang-barang tidak terpakai lainnya. Dinding kabinnya basah karena genangan air hujan yang merembes jatuh melewati atap. Hannah bergerak mendekati dinding untuk melihat sejumlah kertas catatan yang dipajang Evan disana. Wanita itu menunduk ketika mempelajari catatan itu satu persatu, jari-jarinya menyusuri setiap angka dan huruf yang tertulis dalam catatan itu. Kemudian Evan mendengar wanita itu bergumam, “kau melakukan pekerjaan besar disini. Rasanya seperti berada di markas rahasiamu.”
Ungkapan itu membuat Evan tertawa. Ketika hawa dingin menyergapnya, ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku kemudian mengangkat kedua bahu untuk menanggapi Hannah.
“Aku tidak akan menyebutnya markas rahasia.”
“Ini pekerjaan besar. Apa yang coba kau rumuskan? Tampaknya seperti persamaan linear?”
“Lebih tepatnya aljabar,” Evan mendekati sebuah meja kayu yang terletak di sudut kabin. Meja itu ditutupi oleh kain putih berdebu. Ketika ia menyingkirkan kainnya, Hannah menyaksikan tumpukan buku tua disana, dan beberapa tabung, busur, miskroskop kecil dan sebuah alat yang digunakan untuk mengukur garis. Evan juga memiliki gulungan kertas yang lebih mirip seperti peta luar angkasa, dimana ia memetakan sejumlah benda langit di atasnya dan membuatnya seperti sketsa yang nyata.
Setelah membuka gulungan itu di atas meja, Evan mengarahkan jarinya dan mulai menjelaskan titik-titik yang tersabung di dalam sketsa itu.
“Aku berusaha memecahkan masalah gravitasi. Titik ini adalah matahari kita, dan titik-titik lain adalah ribuan bintang lainnya yang mengitari pusat bimasaksi. Ingat pola rasi bintang yang pernah kutunjukkan padamu?”
“Ya.”
“Semua ada disini, bintang-bintang ini akan berputar mengelilingi medan gravitasi dalam galaksi kita. Lubang hitam ini.. ini disebut sagitarius A, berada di pusat galaksi, dan semua benda langit ini mengitarinya. Lubang hitam ini memiliki massa sertara dengan jutaan kali massa matahari, dan dia menarik objek di sekelilingnya. Ada sebuah tempat di sekitar lubang hitam yang akan tampak bercahaya, seperti sebuah cincin yang mengitari lubang hitam, itu disebut horizon peristiwa, semua benda langit yang menyentuh horizon peristiwa akan terseret ke dalam lubang hitam dan tidak ada jalan untuk kembali. Jadi aku berusaha memecahkan masalah tentang kemana objek-objek itu pergi. Jika lubang hitam menyedot semua objek yang melewati horizon peristiwanya, maka kemana semua objek itu berakhir. Ilmuan sudah melakukan penelitian tenang lubang putih, tempat dimana semua objek yang tersedot ke dalam lubang hitam akan dimuntahkan lagi. Tapi sejauh ini, lubang putih hanya sebuah teori. Ini persamaan yang berusaha kupecahkan. Aku menggunakan persamaan aljabar karena menurutku itu pendekatan yang cukup mudah.”
Hannah tertegun saat memandangi sketsa itu, kemudian wanita itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku bisa melihat bagaimana usahamu untuk semua ini.”
“Apa kau percaya tentang dimensi keempat? Maksudku, dimensi yang lebih tinggi dari dimensi kita..”
Sembari mengernyitkan dahinya, wanita itu menatap melewati bahu Evan dan berkata, “aku tidak tahu. Mungkin itu yang mereka sebut surga. Tempat yang lebih tinggi dimana semua orang akan pergi sana.”
“Kau benar-benar percaya ada sebuah tempat di atas langit?”
Wanita itu tersenyum, kedua matanya berkilat saat berkata, “ya. Kau memercayainya?”
Evan menunduk menatap permukaan lantai di bawah kakinya, untuk sejenak berusaha memikirkan jawaban atas pertanyaan itu hingga tatapannya kembali jatuh pada sketsa di permukaan meja saat ia berkata, “mungkin. Aku sedang berusaha memecahkan masalah itu disini.”
“Well, bisa kulihat.”
Keneningan menjalar di setiap sudut kabin. Evan sibuk memandangi sketsa di atas meja hingga Hannah menunduk untuk meraih potongan kertas di bawah meja. Evan menyadari saat wanita itu menengadah untuk menatapnya. Sementara Hannah masih menggenggam sertifikat kompetisi miliknya yang kini hanya berupa potongan kertas acak di tangannya. Sesuatu dalam dirinya tergerak untuk merebut potongan kertas itu dari Hannah dan membuangnya, alih-alih melakukannya Evan membiarkan Hannah mengamati potongan kertasnya satu persatu, kemudian menatapnya ketika bertanya, “bisakah aku menyimpan ini?”
Permintaan itu terdengar konyol untuknya, namun ia melihat bagaimana wajah Hannah berseri-seri ketika menatapnya sehingga mengatakan bahwa sebaiknya membuang potongan kertas itu ke dalam bak sampah rasanya mustahil. Pada akhirnya, Evan hanya membiarkan Hannah membawa potongan kertas itu bersamanya. Belasan menit berikutnya mereka habiskan untuk pergi menyusuri area hutan di dekat sana.
Hannah menceritakan sejumlah pengalaman buruknya ketika berada di tengah hutan dan sejumlah ketakutan yang dimilikinya jika hewan buas muncul secara tiba-tiba dan menyerang mereka. Namun jalur yang dilewati mereka jauh dari kawasan hutan yang dalam. Evan berpikir bahwa mereka hanya mencapai tepiannya karena ia masih melihat sejumlah papan penunjuk jalan yang dipasang di dekat sana. Seseorang juga telah mengikatkan sebuah pita merah pada batang pohon untuk menandai jalan. Dengan berhati-hati mereka melangkah menyusuri tanahnya yang diselimuti oleh daun-daun kering yang berguguran. Batang pohon yang tumbang hampir menutupi jalur itu, semak-semak tumbuh liar mengelilingi pohon-pohon tingginya. Karena langitnya masih cukup cerah, kawasan itu sama sekali tidak tampak menakutkan.
Evan membantu Hannah menahan sulur-sulur tanaman yang menghalangi jalan mereka. Dengan hati-hati, keduanya menaiki undakan tanah kemudian berjalan di pinggirannya hingga sampai di kawasan yang lebih terbuka tanpa jalur terjal. Mereka menghentikan langkahnya begitu menemukan sebuah pohon besar yang tumbang di dekat sana kemudian duduk di atas dahannya yang besar dan memandang ke atas untuk menyaksikan kabut tebal menggantung di bawah pohon-pohon tinggi yang mengelilinginya, juga seekor burung yang baru saja terbang melewati mereka, hinggap di dahan pohon sembari mengepak-ngepakkan sayap kecilnya.
“Aku melakukan yang terbaik yang dapat kulakukan, tapi ketika semuanya tidak berjalan sesuai yang kuharapkan, aku menjadi kacau..” ucap Evan di tengah percakapan mereka. Hannah telah menyinggungnya tentang kejadian yang terjadi selama hampir satu tahun lalu, persis pada hari kecelakaan yang menewaskan orangtuanya. Hingga detik itu, Evan sulit memercayai bahwa sudah hampir satu tahun berlalu sejak ia menatap wajah kecewa orangtuanya. Hampir satu tahun sejak ia tidak lagi merasakan kehangatan di dalam rumahnya dan hampir satu tahun berlalu sejak kali terakhir ia tidak lagi melewati pecakapan dengan Edith seperti keluarga selayaknya. Tidak satu malampun yang dilaluinya tanpa memikirkan kejadian itu dan kelalaiannya. Rasa bersalah yang dirasakannya atas insiden itu akan selalu menggorogotinya seperti luka lama yang terus terbuka.
“Sejauh ini.. aku berusaha menutupi luka itu, tapi itu seperti keramik yang pecah. Kupikir aku hanya mengumpulkan kepingannya dan menyusunnya lagi – hanya untuk memastikan bahwa aku menjalani kehidupan yang sama: berusaha bersikap normal, mencoba untuk menebus kesalahanku dengan memperbaiki semua itu, tapi umm.. itu tetap menjadi sebuah keramik yang pecah. Pada akhirnya kepingan itu akan berhamburan lagi, dan aku harus menyusunnya dari awal, kemudian berhamburan lagi dan seterusnya begitu. Semua tidak pernah sama tanpa mereka.”
Di tengah keheningan itu, Evan dapat mendengar suara embusan angin yang berdesau di telinganya, menyaksikan dahan-dahan pohon yang menggantung di atasnya saling melambai dan menciptakan suara gemerisik yang halus begitu daun-daunnya saling bergesekan. Beberapa dedaunan kering baru saja berguguran, Evan mengamati ketika angin yang bertiup lembut menyapu daun-daun itu, membawanya bergerak tak menentu arah.
Sementara itu, Hannah masih duduk termangun di sampingnya, nyaris tidak memalingkan wajah bahkan untuk sedetikpun. Tatapannya terpaku pada wajah Evan kemudian wanita itu mengangkat satu tangannya dan meletakkannya di atas punggung tangan Evan. Ia telah menyalurkan getaran yang begitu kuat ke dalam dirinya. Ketika ia berpaling untuk menatap wajahnya, Evan dapat melihat sebuah ketulusan, rasa sedih, empati, dan sejumlah emosi lainnya dalam sepasang mata hazel-nya yang hangat. Penerimaan Hannah – keterbukaannya, telah menjadi obat tersendiri bagi Evan. Entah bagaimana, Evan akan selalu menemukan cara untuk berbicara ketika berada di sekitarnya. Hannah seperti sebuah magnet yang menarik semua logam yang ada di sekelilingnya. Jika saja hatinya sedingin itu untuk menjadi logam, maka Hannah tidak akan mengalami kesulitan untuk mencairkannya.
“Aku melibatkan diriku dengan hal-hal konyol. Kupikir aku pantas mendapatkannya – tapi aku tidak berpikir secara sehat. Aku marah, aku kecewa atas apa yang menimpaku. Disaat aku berpikir aku benar-benar akan mendapatkan apa yang kuinginkan – seseorang mengacaukannya. Entahlah, mungkin orang itu adalah aku. Aku tidak dapat menolong diriku. Aku minum banyak alkohol, aku menceburkan diriku ke dalam dunia gelap itu hingga Richie tewas.. hingga sekarang aku masih merasa bertanggungjawab atas kematiannya. Kupikir aku hanya dapat mengacaukan semua yang terlibat denganku, pertama Richie – kemudian orangtuaku..”
“Kematian Richie bukan kesalahanmu,” sanggah Hannah sebelum Evan menyelesaikan kalimatnya. Alih-alih menyetujui ungkapan itu, Evan justru bersikeras untuk berkata,
“Ya, tapi seharusnya aku bisa mencegahnya. Kalau saja aku tidak cukup mabuk, aku mungkin dapat berpikir cepat untuk meminta bantuan – tapi tidak kulakukan. Yang kulakukan hanyalah berdiri dan menyaksikan pria itu memukulinya hingga tewas. Itu membuatku kacau. Semalam kami masih berbicara, kami bersenang-senang dan dia mengatakan padaku bahwa ‘tidak ada yang perlu dikhawatirkan’, kemudian paginya.. dia tewas. Itu sangat..” Evan menyapukan pandangannya ke sekitar sembari mengerjapkan mata, ia berusaha menemukan kata yang tepat untuk mengungkapkan maksudnya, kemudian menyerah pada kata, “.. kacau.”
Hannah tidak menyanggahnya, wanita itu masih duduk di sampingnya, nyaris tidak mengatakan apa-apa selama beberapa detik yang berlangsung tegang. Kemudian kalimat selanjutnya yang keluar dari mulutnya tidak diduga-duga. Evan dapat merasakan kalimat itu menggema di kepalanya dan untuk satu alasan yang tidak ia ketahui – itu berhasil memengaruhinya.
“Aku tidak tahu apa yang kau rasakan, aku tidak mengalami apa yang kau rasakan – dan aku tidak peduli tentang apa yang terjadi saat itu. Aku peduli bahwa kau ada disini sekarang, melakukan hal terbaik yang dapat kau lakukan dan berbicara denganku. Itu lebih penting untukku lebih dari apapun dan aku ingin kau menjadi seperti ini selamanya. Aku hanya ingin kita seperti ini. Bisakah kita..?”
Tidak ada jawaban yang dapat mengekspresikan emosinya secara tepat. Emosi merupakan sesuatu yang absurd. Mereka tidak dapat terlihat namun setiap orang hanya dapat merasakannya. Sebuah kalimat saja tidak mampu mengungkapkan emosi dengan baik, terkadang justru mengacaukannya. Apa yang terjadi pada sore yang tak terlupakan itu hanya akan disimpannya sendiri. Suatu hari mungkin Evan akan mengingat kembali momen itu dan berharap ia dapat kembali berada disana. Namun hari-hari berikutnya – seperti yang selalu dikatatakan orangtuanya: hari esok adalah sebuah keajaiban – nyatanya menyediakan lebih banyak keajaiban yang menantinya.
Dua bulan bergulir lebih cepat dari biasanya, terutama karena pikirannya mulai disibukkan oleh penelitiannya di laboratorim. Dunia seakan tidak berhenti memuaskannya dengan kabar baik yang datang secara bergiliran. Pertama datang dari kantor surat kabar yang memberitahu Evan bahwa mereka akan memberikan kontrak untuk semua artikel tentang ilmu pengetahuan dan sains yang akan ditulis Evan. Selain itu mereka menawarkan sebuah posisi sehingga Evan dapat bekerja disana sebagai salah satu penulis tetap. Karena alasan penelitian dan studinya yang belum selesai, Evan harus menolak tawaran itu.
Kemudian kabar baik berikutnya muncul ketika seorang pengusaha mendatanginya dan menyampaikan tawaran kerja sama untuk membesarkan bisnis ternaknya. Evan menyerahkan semua keputusan itu pada Edith. Meskipun wanita itu masih bersikap dingin, Evan melihat beberapa perubahan terjadi dalam satu bulan terakhir. Edith mungkin menolak untuk berbicara dengannya, namun tidak hanya dalam satu kesempatan, Evan mendapati Edith datang ke lumbung dan membawakannya satu rantang yang terisi penuh oleh makanan setiap kali Evan mendapat giliran untuk bekerja disana. Evan juga mengamati bahwa wanita itu tidak lagi mengunci dirinya di dalam kamar. Edith telah memulai kembali rutinitas lamanya untuk duduk dan menyaksikan siaran televisi di ruang tengah, mengirim sejumlah surat pada teman-temannya dan terkadang Evan menyaksikannya pergi bersama pemuda seusianya. Mereka akan berkendara dari sore dan baru akan kembali ketika langitnya gelap. Malam itu adalah kali pertama sejak satu tahun berlalu, Evan kembali menyaksikan senyuman muncul di wajah Edith. Wanita itu memiliki sepasang mata besar dengan bulu mata yang lentik seperti ibunya. Ketika tersenyum, sebuah lesung pipi akan muncul di wajahnya yang selalu tampak bercahaya. Evan mengamati melewati kaca jendela kamarnya ketika Edith berpamitan pada seorang pemuda dengan sepeda motor yang mengantarnya sampai di depan pagar, sebelum wanita itu berbalik dan masuk ke dalam rumah melewati teras.
Harapan bahwa mungkin ia dapat memperbaiki hubungannya dengan Edith muncul begitu saja. Lusa adalah hari wisuda kelulusannya, dan Evan berharap Edith akan hadir disana sebagai walinya – satu-satunya keluarga yang akan menyaksikannya berdiri di atas panggung untuk menerima sertifikat kelulusannya. Jadi Evan menyampaikan keinginan itu pada malam berikutnya ketika mereka duduk bersebrangan di atas meja makan.
Sejak awal, wanita itu tidak mengucapkan sepatah katapun seperti biasanya, hingga Evan mendorong sebuah undangan ke arahnya, dan menjelaskan dengan suara pelan.
“Lusa adalah hari penting untukku,” katanya dengan suara pelan. Evan menyadari bahwa tubuhnya menegang saat mengucapkan itu. Kedua tangannya terlipat kaku di atas meja makan. Sementara itu Edith menatap lurus ke arah secarik kertas berisi undangan yang dijulurkan Evan, ekspresinya mengatakan bahwa ia merasa kebingungan tentang reaksi apa yang harus ditunjukan atas undangan itu.
“.. itu adalah hari kelulusanku. Semua mahasiswa hadir besama orangtua dan keluarga mereka. Kuharap kau bisa datang kesana dan menjadi waliku. Mereka akan memanggilmu untuk memasangkan medali dan memberikan sertifikatnya padaku. Jangan khawatir, itu tidak akan lama. Kau juga tidak harus mengenakan pakaian yang bagus, hanya.. biarkan aku melihatmu hadir disana untuk menyaksikannya.”
Edith masih duduk terpaku di atas kursinya. Selama beberapa detik wanita itu nyaris tidak menyentuh makanannya hingga Evan merasa kesulitan untuk mencairkan ketengangan yang muncul disana. Akhirnya ia hanya mengulangi kata-katanya.
“Itu hari penting untukku.. jika kau hadir..”
Kalimat itu terpotong persis ketika Edith mendorong kursinya ke belakang kemudian berdiri dan meninggalkan meja makan itu untuk kembali ke kamarnya.
Tatapan Evan jatuh di atas permukaan meja. Hawa panas menjalar naik ke atas wajahnya persis ketika ia mendengar suara pintu yang dibanting menutup dengan keras dari arah belakang. Kemudian dalam hitungan detik, segalanya kembali hening.
Angin dingin di luar sana mengetuk kaca jendela di dapur. Barisan rumput bergerak mengikuti arah angin. Kegelapan malam seakan melambai ke arahnya, memintanya untuk keluar dari dapur dan berpapasan dengannya. Atas undangan itu, Evan bergerak menuju teras dan menempati satu dari dua kursi kosongnya disana. Ketika ia menatap pada satu kursi kosong di sampingnya ia memejamkan mata dan membayangkan ayahnya duduk menempati kursi itu, tersenyum dan berbicara padanya:
Kau persis seperti saudaramu, katanya saat mengingatkan Evan tentang saudara laki-lakinya yang meninggal diusia muda karena penyakit paru-paru. Kalian memiliki keinginan besar untuk mengendalikan segalanya, tapi segalanya tidak selalu berjalan sesuai rencana. Itu tidak berarti kau kalah, kau hanya perlu bersabar. Suatu saat keadaan akan membaik, percayalah!