Bab 13

2832 Words
Ada banyak hal yang terjadi dalam empat tahun berikutnya, pertama Evan akhirnya berhasil menyelesaikan serangkaian pelatihan sebelum ia akhirnya dapat bergabung dengan NASA, dan kedua kabar baik lainnya muncul dari Edith. Kakaknya telah menikahi kekasihnya satu tahun yang lalu, persis pada hari dimana Evan melakukan serangkaian tes fisik dan uji coba penerbangan pertamanya. Evan menyesal karena tidak dapat menghadiri acara pernikahan itu, namun Edith mengatakan melalui sambungan telepon bahwa wanita itu memakluminya. Edith berencana untuk pindah ke Chicago, membeli sebuah rumah yang layak disana dan mememulai kehidupan barunya. Karena kepergian Edith, maka rumah dan ladang peninggalan orangtua mereka akan kosong, namun mereka telah sepakat untuk tidak menjual lahan beserta properti itu. Sebagai gantinya, seseorang yang mereka percayai akan mengurus semua itu dan menjalankan bisnis mereka. Evan masih berkomunikasi dengan Ethan, laki-laki paruh baya yang bersedia mengurus semua itu untuk mereka, melalui telepon atau surat. Ethan akan mengiriminya laporan penjualan setiap satu atau dua minggu sekali, kemudian Evan akan memutuskan tindakan apa yang akan mereka ambil selanjutnya. Selama dua tahun setelah kepergiannya ke Washington, sejauh itu peternakan dan ladang baik-baik saja hingga persis pada musim panas yang terjadi beberapa bulan lalu, Ethan memberinya kabar buruk bahwa kekeringan terjadi dimana-mana. Selama delapan bulan lamanya, mereka kesulitan mendapatkan air untuk mengurus semua ladang dan peternakan itu, akibatnya sebagian lahan mengalami gagal panen dan mereka menderita kerugian karena itu. Puncaknya terjadi satu bulan yang lalu ketika kebakaran terjadi di ladang dan menghanguskan semua yang tersisa disana. Evan mengalami masa-masa sulit saat itu. Di tengah pelatihannya, ia harus memikirkan jalan keluar terbaik untuk ladangnya. Sementara itu Edith telah melahirkan bayi laki-laki pertamanya yang diberi nama Miguel, pada akhir tahun lalu. Wanita itu mulai disibukkan oleh urusan rumah tangga yang membuatnya tidak memiliki waktu luang untuk mengurus ladang mereka. Dan karena kerugian ditanggung cukup besar jika mereka ingin memulai kembali bisnis itu, Evan akhirnya memutuskan untuk menjual sisa hewan ternak yang mereka punya dan menutup ladang itu. Meskipun banyak orang-orang yang menawarkan diri untuk membeli lahannya, Evan bersikeras untuk tidak menjual lahan kosong itu. Waktu memberinya serangkaian masalah, namun waktu juga yang mengobatinya. Kabar buruk selalu datang bersama kabar baik ketika Evan diumumkan lulus seleksi pelatihan. Ia memulai misi pertamanya menuju bulan pada desember tahun lalu. Sekarang sudah hampir tujuh bulan berlalu sejak misi pertamanya dimulai dan ia mendapatkan hasil evaluasi cukup baik atas penerbangan pertamanya. Satu penerbangan yang sukses kemudian berlanjut pada penerbangan berikutnya. Dalam dua tahun terakhir, Evan merasa begitu dekat dengan bintang-bintang. Ia telah melewati puluhan - atau mungkin ratusan rangkaian tes dan mulai terbiasa dengan semua itu. Dalam dua tahun terakhir ia lebih sering berada di udara ketimbang di darat. Dan setelah dua tahun bergabung secara resmi sebagai salah satu pilot antariksa NASA, Evan mendapat sejumlah penghargaan. Ia disibukkan oleh tugas pemerintah, sesekali terlibat dalam militer dan selama itu Evan telah menyelesaikan seratus satu penerbangan yang mana hal itu menjadi pencapaian terbaik dalam hidupnya. Berkat keberhasilannya sebagai salah satu pilot terbaik NASA, Evan dapat membeli sebuah rumah besar di Washington. Rumah itu menjadi sebuah tempat seperti yang dapat dibayangkannya: jauh dari kebisingan kota, dan halamannya dikelilingi oleh pekarangan yang luas, tanaman yang terawat, selain itu tak jauh dari halaman belakang, ia dapat menyaksikan pemandangan danau yang memukau. Pohon-pohon tinggi di sekitar kawasan itu membuat udaranya terasa sejuk. Evan juga membangun ruang kerjanya sendiri. Ia membuat ruangan itu seperti kabin di dekat danau hanya untuk membuatnya merasa berada di rumah lamanya. Segala aspek tentang bagunan yang ditinggalinya itu benar-benar memukau. Meskipun Evan disibukkan oleh pekerjaannya, ia tidak pernah absen untuk mengirim surat pada Hannah seperti yang dijanjikannya. Hari demi hari berganti, bulan berganti menjadi tahun, dan kedekatan mereka menjadi sesuatu yang lebih intim. Hannah mengatakan bahwa bagaimanapun mereka tidak dapat mencegah untuk tumbuh dewasa dan perasaan meletup-letup yang dirasakannya terhadap Hannah tersampaikan setelah puluhan surat yang dikirimnya. Beberapa diantara puluhan surat itu berbunyi: Dear Hannah, Segalanya semakin membaik disini, aku mendapatkan skor dua puluh dari pelatihan kemarin - itu bukan skor yang tinggi, tapi setidaknya lebih baik ketimbang tidak mendapatkan skor sama sekali. Temanku, Randy, jatuh dan mengalami cidera saat pelatihan, jadi aku mengerjakan semua pekerjaannya sampai dia diizinkan untuk kembali. Kupikir ini menjadi semakin menyenangkan. Tak terasa sudah dua tahun berada disini, dan aku merindukan teman lamaku. Bagaimana harimu? Kuharap semuanya membaik disana. Bagaimana dengan kabin di danau itu, apa kau merawatnya seperti janjimu? Kuharap kau terbiasa dengan lotengnya yang bocor, lantainya akan selalu lembab, tapi kabin itu akan bertahan setidaknya satu dekade lagi. Bagaimana menurutmu? Jika ada sesuatu yang berubah tentang kota kecilku, beritahu aku! Kemudian dua hari berikutnya, seorang petugas pos meninggalkan sebuah amplop berisi basalan atas surat-suratnya. Seperti biasa, surat-surat itu ditulis dengan tulisan tangan sehingga siapapun di antara mereka dapat memastikan bahwa surat itu dikirim dari orang tepat. Sore itu salju turun dan memenuhi jalanan di halaman depan rumahnya ketika Evan membaca isi surat yang berbunyi: Dear Evan, Semuanya berjalan baik disini. Aku merawat tempat rahasiamu seperti yang kujanjikan. Aku penasaran apa kau menemukan tempat rahasia lain di Washington? Jika kau menemukannya, beritahu aku! Baru-baru ini aku terpikir untuk memperbaiki atapnya, tapi kau pasti ingin melihatnya seperti sedia kala saat kau kembali nanti, jadi aku mengurung niatan itu. Tapi karena kau bertanya, aku punya prediksi bahwa tempat itu tidak akan bertahan dalam beberapa tahun lagi, terutama karena cuacanya yang tidak menentu. Aku senang sekali dapat mengatakan ini padamu, kau orang pertama yang tahu: aku lulus studi dan aku mendapatkan pekerjaan magang di sekolah menengah. Aku akan menjalaninya selama enam bulan ke depan, kemudian kau akan tahu apa yang selanjutnya terjadi. Beritahu saja aku apa kau sudah menemukan kekasihmu disana? Dear Hannah, Kekasih? Kupikir kau akan menganggap hal itu konyol untukku. Lagipula.. bagaimana kita bertahan sejauh ini.. ini sudah hampir tiga tahun dan kita masih tetap mengirim surat. Apa kau tidak bertanya-tanya tentang itu? Dear Evan, Kau benar. Seharusnya aku bertanya-tanya mengapa aku tidak merasa bosan untuk membalas surat-suratmu.. Dear Hannah, Aku menunggu satu pekan untuk mendapat balasan surat darimu, kuharap kau menulis lebih dari sekadar sebuah pertanyaan yang membutuhkan waktu satu minggu untuk mendapatkan jawaban. Aku khawatir jika kau benar-benar bosan menulis surat ini. Dear Evan, Banyak hal terjadi dalam satu bulan terakhir, tapi pikiranku terbagi. Aku tidak tahu mengapa sulit sekali untuk menceritakannya padamu.. Dear Hannah, Mungkin sudah saatnya.. aku harus mengatakan sesuatu yang akan mengejutkanmu. Apa kau ingin mendengarnya? Satu pekan sejak ia mengirim surat terakhir itu, Evan tidak kunjung mendapat balasan pesan dari Hannah. Kemudian kehidupannya tiba-tiba terasa aneh. Evan tidak dapat tidur dengan nyenyak hanya karena memikirkannya. Malamnya terasa lebih panjang dan ketika ia terbangun di pagi harinya, hal pertama yang dilakukannya adalah memeriksa kotak surat. Setelah dua minggu tidak kunjung mendapat balasan, Evan mengirim surat lain yang berbunyi: Hannah..? Dalam waktu kurang dari satu pekan ketika Hannah tidak kunjung mengirim balasan, Evan mencoba untuk kali kedua. Hannah.. Butuh waktu satu pekan penuh untuk bergumul dengan pikirannya. Butuh waktu satu pekan untuk mengumpulkan keberanian dan setiap kali ia tidak menyampaikan apa yang tersimpan dalam benaknya, tidurnya akan terasa menyiksa. Jadi pada hari itu Evan mengirim pesan berbunyi: Dear Hannah, Aku mencintaimu.. kuharap kau tidak bosan denganku. Satu pekan kemudian setelah ia mengirim surat terakhir itu, Evan pikir bahwa usahanya sia-sia karena Hannah tidak kunjung memberikan tanggapan, namun keesokan harinya, persis ketika matahari kembali muncul di ufuk langit pasca tiga bulan berturut-turut seisi kota diselimuti oleh salju, Evan mendapat belasan surat menumpuk di kotak posnya. Semua surat itu berasal dari Hannah, dan ia membacanya satu persatu. Setiap surat dikirim selama satu bulan terakhir secara berturut-turut. Ada jeda selama dua atau tiga hari untuk setiap surat itu. Hingga Evan sampai pada surat terakhir. Dear Evan, Aku tidak tahu apa yang terjadi disana. Kantor pos ditutup sepanjang musim dingin sehingga aku tidak memiliki akses untuk mengirim surat ini padamu, tapi aku menerima surat-suratmu. Itu manis sekali, Tapi kenapa menunggu salju mencair untuk mengatakannya? Aku tidak tahu, jadi bagaimana menurutmu? Aku tidak tahu, Evan.. ada banyak hal di kepalaku. Aku baru saja menyelesaikan studiku, dan aku akan memulai karierku. Aku pikir keduanya adalah kesempatan besar – untuk melakukan sesuatu dalam hidupku, seperti yang kau lakukan. Kau begitu hebat dalam semua hal itu, aku selalu ingin menjadi seperti itu, kemudian aku berpikir.. tidak mungkin kau menyukaiku sebagaimana diriku yang sekarang. Bagaimana mungkin kau menyukaiku, aku tidak berbuat banyak terhadap hidupku.. Kau keliru, kau memberi pengaruh besar dalam hidupku. Kau memiliki semua yang kau butuhkan untuk mendapatkan apapun yang kau inginkan. Kau memiliki itu, aku bisa melihatnya di matamu. Aku merasa kagum ketika kau mengatakan bahwa kau benar-benar memercayainya.. Apa? Kejaiban. Sebuah kekuatan yang lebih besar yang mengendalikan seluruh alam, dan sebuah tempat yang kau sebut surga. Mengapa kau menyukaiku, Evan? Karena aku hanya melihat kehidupan lamaku ketika aku bersamamu. Sebuah kehidupan yang begitu familier, dan aku menyadari bahwa aku dapat melihat orangtuaku di matamu, aku juga melihat tempat tinggalku, aku mengingat semua keajaiban yang terjadi ketika aku duduk bersamamu – berbicara atau bahkan ketika kita tidak mengucapkan apapun, dan itu membuatku merasa bahwa aku hanya ingin kembali.. Rumah. Hanya itu yang dapat kukatakan. Ketertarikan itu berubah menjadi hasrat, hasrat bertransmutasi menjadi keyakinan dan keyakinan membuahkan gagasan dalam otaknya untuk membangun keluarga bersama Hannah - wanita yang diam-diam telah dikaguminya sejak dulu. Siapa sangka hal itu akan terjadi. Namun Evan menahan diri untuk mengatakan keinginannya hingga hari dimana mereka dipertemukan kembali. Empat tahun rasanya begitu cepat, namun juga begitu lambat. Membayangkan satu tahun berikutnya yang harus ia lewati sebelum ia benar-benar dapat bertemu dengan Hannah, entah bagaimana tampak begitu menyiksa. Namun Evan mendapat kejutan pada awal musim semi tahun ini ketika tanpa diduga-duga, kemunculan Hannah yang secara tiba-tiba nyaris membuatnya berpikir bahwa ia mulai gila karena melihat sesuatu yang tidak nyata. Namun hari itu ia benar-benar melihatnya: Hannah berdiri di ujung jalan dengan tampilan yang benar-benar berbeda, namun tidak mengurangi sisi anggunnya. Rambut coklat gelapnya dipangkas sepanjang bahu dan dibiarkan tergerai, wanita itu mengenakan riasan tipis yang membuatnya tampak memukau. Selain itu, setelan kemeja dan jins hitam panjang yang dikenakannya mengingatkan Evan pada malam yang mereka habiskan di teater. Untuk kali pertama sejak empat tahun lamanya tidak bertemu, Evan melihatnya tersenyum lebar dan melambaikan tangan ke arahnya. Ia baru akan berniat pergi mengunjungi sebuah kedai untuk menikmati makan siang saat kejadian itu berlangsung. Kemudian secara tiba-tiba langkahnya terhenti, dunia seakan bergerak melambat, semua hal yang hadir di sekelilingnya tampak memudar, tatapannya hanya tertuju pada seorang wanita yang tampak lebih tinggi beberapa senti, lebih dewasa, dan juga lebih anggun dari yang diingatnya. Jantungnya mencelos. Butuh beberapa detik sebelum ia pulih dari lamunannya. Kemudian tanpa memperhatikan ke sekitarnya, Evan melangkah mendekati Hannah. Sebuah mobil nyaris saja menabraknya ketika Evan menyebrangi jalan untuk sampai pada wanita itu, seorang pengemudi membunyikan klakson keras untuk memeringatinya. Namun Evan melambaikan tangannya, kemudian berlari cepat untuk sampai di seberang. Wajah Hannah memerah saat menyaksikannya, namun Evan tidak dapat menahan senyuman lebar atas reaksi itu. Hingga ketika mereka berada dalam jarak yang cukup dekat, Hannah melemparkan diri ke dalam pelukannya. Evan menyambut wanita itu dengan mengangkat dan mengayunkan tubuhnya. Dalam sekejap kerisauannya menguap dan kehadiran wanita itu berhasil membuatnya merasa bahwa ia telah kembali ke rumah. “Mengapa kau datang?” tanya Evan setelah ia akhirnya melepaskan pelukan itu. “Ini lebih awal..” “Aku tahu,” sahut wanita itu sembari tersenyum lebar. Seperti biasa, Evan dapat melihat kilat muncul pada kedua mata hazel-nya. Terkadang ia memimpikan sepasang mata itu menatapnya dalam tidur, terkadang ia benar-benar merindukan momen kebersamaan mereka hingga tubuhnya terasa sakit. Hari itu, semua kegelisahan seakan terangkat dari pundaknya. “Apa kau lapar? Kita bisa makan siang bersama-sama.” “Tentu. Kau bisa memberiku tur singkat di kota ini, hanya jika kau tidak cukup sibuk dengan pekerjaanmu..” “Itu akan menjadi kesenanganku.” Mereka berjalan bersisian menyusuri jalanan kota, menyaksikan keramaian di setiap sudut tempat, bangunan-bangunan tinggi dan mengunjungi beberapa toko. Waktu bergerak cepat hari itu terutama dengan semua obrolan di sepanjang perjalanan mereka menyusuri kota, hingga tanpa sadar sore mulai bergulung dan matahari akan segera terbenam. Evan mengajak Hannah pergi menuju jembatan panjang dimana mereka dapat menyaksikan matahari tenggelam di ufuk langit, dan sungai panjang yang mengalir di bawahnya, dan sebuah tempat dimana mereka dapat merasakan angin yang berembus kencang dari utara dan suara keriuhan kota yang teredam di ujung sana. “Ini tempat favoritku,” kata Evan sebelum mengangkat satu jarinya dan menunjuk ke ufuk langit. “Lihat! Matahari akan tenggelam dari ujung sana, kau bisa melihat lebih jelas dari jembatan ini dan anginnya.. apa kau merasakan anginnya?” “Ya.” “Itu bagian paling bagus. Terkadang aku berdiri disini dan hanya memikirkan tentang rumah. Ingat bukit tinggi yang terakhir kita kunjungi sebelum aku terbang ke washington?” “Ya.” “Aku suka memandangi kota dari sana, aku membayangkan bagaimana rasanya berada di tengah-tengah kota, sekarang aku sudah berada persis di tengah-tengah kota, dan yang kupikirkan hanyalah rumah. Tapi aku memiliki rumah yang cukup nyaman disini, letaknya jauh dari pusat kota dan berada persis di dekat danau jadi aku bisa merasakan seolah-olah aku berada di rumah. Sekarang, karena kau ada disini, maka semuanya akan menjadi sempurna.” Hannah tertegun menatap arus sungai yang bergerak lurus mengikuti arah angin. Sementara itu, cahaya senja menyentuh wajahnya, sejenak mengantarkan sebuah kehangatan yang menenangkan untuknya. Namun semua itu tidak berlangsung lama karena ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, alih-alih menyampaikan itu, ia justru berkata, “Nenekku tinggal disini, dan aku mendapatkan tawaran pekerjaan yang bagus di salah salah satu sekolah yang ada disini.” Keheningan menggantung di sekitar mereka hingga Evan menatap ke sekelilingnya, menyaksikan beberapa pasangan sedang berjalan menyusuri jembatan yang sama. Angin berembus begitu kencang sehingga ia dapat mendengar suara deruannya, suara itu kemudian beradu dengan suara gemuruh arus sungai yang mengalir deras di bawahnya. Setelah tertegun cukup lama, suatu kesimpulan muncul begitu saja di kepalanya. Evan menatap Hannah sebelum berkata, “tunggu! Kau sudah berada disini sebelumnya, bukan?” Wanita itu tidak dapat menahan seringainya ketika mengangguk cepat. “Ya.” Tawanya pecah ketika Hannah melihat bagaimana Evan bereaksi. “Kenapa kau tidak mengatakannya padaku? Kau tidak membalas surat-suratku akhir-akhir ini..” “Ya, maafkan aku. Aku menunggu waktu yang tepat, itu saja.” “Berapa lama?” “Aku sampai disini satu bulan yang lalu, aku membawa surat-suratmu jadi aku bisa menemukan dimana kau tinggal. Aku sudah memata-mataimu selama itu.” “Mengapa kau melakukannya?” “Aku tidak tahu, aku hanya suka melakukannya..” “Jadi kau akan tinggal disini?” “Ya, bersama nenekku dan aku akan bekerja disini - maksudku, benar-benar bekerja! Aku lulus uji percobaan dan mereka menerimaku.” “Jadi bagaimana semuanya berjalan?” “Sekolah itu menakjubkan. Murid-muridnya cerdas - aku tidak pernah menemukan antusiasme sebesar itu sebelumnya. Mereka memiliki program studi yang bagus, semua guru-guru yang disana cukup baik, aku dapat beradaptasi dengan cepat dan kau tidak akan percaya berapa banyak banyaran yang akan kuterima. Itu lebih dari yang kuharapkan.” “Kau pantas mendapatkannya.” “Ya.. kupikir begitu.” Keheningan kembali menggantung. Mereka menatap langit dan menyaksikan cahaya mataharinya mulai memudar. Kemudian Hannah meliriknya, diam-diam ikut merasakan kegelisahan yang muncul dalam raut wajah Evan. Segera setelah kegelisahan itu kian memuncak, keduanya mengatakan sesuatu secara bersamaan hingga mereka menghentikan ucapannya pada detik yang sama. “Kau dulu!” kata Hannah. “Tidak, wanita lebih dulu!” Sembari tersenyum lebar, Hannah menunduk menatap ujung sepatunya. Selama beberapa detik, Evan berdiri dan menunggunya mengatakan sesuatu hingga wanita itu mengangkat wajah dan menatapnya. Sepasang mata hazel-nya berkilat saat mengatakan, “Dengar! Aku terpikir tentang suratmu..” “Aku tahu,” potong Evan sebelum Hannah menyelesaikannya. Sambil berdeham, Evan menggeser tubuhnya pada susuran besi yang membentuk rangka jembatan itu, kemudian meraih satu tangan Hannah dan menangkupnya erat. Di ufuk langit cahaya matahari hampir sepenuhnya tenggelam. Mereka dapat menyaksikan semburat warna jingga menyelimuti seisi kota dan kegelapan mulai menjalar. “Aku ingin menikah denganmu,” butuh usaha keras bagi Evan untuk mengatakannya. Satu hal yang ditakutinya adalah bagaimana Hannah bereaksi atas ucapan itu. Namun semua tidak terjadi seperti yang ditakutinya. Sebaliknya, Hannah tampak berdiri tenang di sana, menatapnya dengan intens seolah-olah tahu bahwa momen itu akan terjadi. Kemudian, senyuman lebar muncul di wajahnya yang anggun. Angin yang bertiup dari utara membelai rambutnya, membuatnya berterbangan di kedua sisi wajahnya. Sepuluh detik berlalu, namun wanita itu tidak kunjung menanggapinya, alih-alih menatapnya. Setiap detik yang berlalu menyiksa Evan hingga ia berdiri dengan tidak nyamam dalam ketidakpastian yang mendorongnya untuk mengatakan kalimat berikutnya. “Tolong katakan sesuatu!” Hannah tertawa, kemudian mengangguk. “Ya!” “Apa?” “Aku menginginkannya.” Darah mengalir deras di kepalanya, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya dan untuk sejenak ia dapat merasakan kebahagiaan yang menggebu-gebu di dalam dirinya. Evan mengeratkan genggamannya, kemudian menunduk untuk mencium wanita itu. Hannah menyambutnya dengan senang, wajahnya tampak memerah dan kedua matanya berkaca-kaca. Di bawah cahaya senja, Evan mengalungkan lengannya dan memeluk kekasihnya dengan erat. Dengan suara pelan ia membisikkan sesuatu ke telinga Hannah, sebuah kalimat yang tidak pernah ia ucapkan sebelumnya. “Aku mencintaimu, tolong tetap bersamaku!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD