Permainan 6 Jam

1904 Words
Hampir tiap 10 detik Almeera mengubah posisi berbaringnya. Miring ke kiri, ke kanan, telentang, bahkan tengkurap. Ah, jangan lupakan posisi kakinya yang bersepeda di udara tiap kali ia terbayang percakapannya dengan Alroy. Percakapan mereka tak banyak, hanya selesai di pertanyaan Alroy ketika menanyakan Mike dan Tiara yang dijawab tidak oleh Almeera. Tapi, percakapan singkat itu begitu mengganggunya. Seolah-olah ada hal besar tentang dua orang itu. “Arghh …” Almeera putus asa, ia menjambak rambutnya. Tangannya kembali terulur meraih ponselnya, membuka chat dari pria itu. Kini deretan nomor asing itu telah ia simpan dengan nama Si Bau. Sudah ratusan kali ia membaca pesan itu, yang semakin ia baca semakin membuatnya bingung. Frustasi, akhirnya Almeera mengetikkan sesuatu dan mengirimkannya pada Alroy. Di tempat lain, mata Alroy masih tak bisa terpejam meski jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Pikirannya menerawang jauh memikirkan semua mimpi-mimpinya. Ia benar-benar tersiksa, semua bayangan dalam mimpinya itu sangat membebani pikirannya. Seorang wanita muda yang masih lugu, yang dengan alasan cinta menuruti semua keinginan pria bernama Mike itu. Tersenyum di balik kesakitan yang ia sembunyikan, sementara pria itu sibuk dengan dunianya sendiri. Sibuk berpetualang dengan wanita lain dan baru kembali pada Tiara saat ia bosan dengan wanita bayarannya. “Pria b*engsek” Alroy mengepalkan tangannya. Jika ia bisa menemui pria itu, mungkin sudah ia hajar. “Tapi, kenapa pria itu terlihat sepertiku?” tanyanya kemudian, lalu bangkit menatap pantulan dirinya di depan cermin. Benar-benar sama, tak diragukan lagi. Pria yang ia mimpikan itu benar-benar pria yang saat ini sedang ia lihat di cermin, dan pria itu adalah dirinya sendiri. Helaan nafas panjang terdengar sebelum Alroy melompat kembali ke tempat tidurnya. Tepat di saat yang bersamaan ponselnya bergetar tanda chat masuk. Via WhatsApp (Si Tukang Muntah: Siapa itu Mike dan Tiara?) Alroy mendengus. “Butuh 6 jam sebelum dia mengirimkan balasannya. Apa tangannya terlalu sakit untuk membalas chat sependek ini sampai membutuhkan waktu 6 jam? Ah atau dia harus mencari jaringan sampai di gunung sehingga balasannya baru sampai?” umpatnya dengan suara nyaring. Ia tersenyum sinis, dan sekarang ia berpikir untuk memberikan pelajaran pada Almeera. Ia menyetel timer untuk 6 jam melalui ponselnya. Sebuah seringaian muncul di wajahnya saat melihat detik demi detik di timer itu menghitung mundur. Selanjutnya, pria itu melompat ke tempat tidur. “Mari kita bermain-main. Mari kita liat, seperti apa rasanya 6 jam itu.” Dan ternyata permainan Alroy benar-benar mengganggu Almeera. Melihat tanda centang birunya di aplikasi chat menunjukkan bahwa pria dengan bau badan menjijikkan itu telah membaca chat Almeera tepat setelah chat itu terkirim. Namun, sayangnya sampai pagi Almeera tak kunjung mendapatkan balasan. Pagi-pagi buta Almeera keluar dari kamarnya, ia mencari seseorang untuk ia ajak bicara. Lebih tepatnya menemukan seseorang untuk ia tanyai alasan chat-nya yang tidak terbalas. “Hei Bintang” teriak Almeera ketika menemukan Bintang yang baru saja muncul dari lantai satu. “Iya, Nona” balasnya. “Sini-sini” ucap Almeera dengan cepat disertai gerakan kedua tangannya yang memanggil-manggil Bintang. Melihat gelagat Almeera yang sepertinya terburu-buru, akhirnya Bintang mengambil langkah lebar menaiki tangga. Kakinya melangkahi 2 anak tangga sekaligus agar lebih cepat menemui Almeera. Begitu Bintang sampai di hadapannya, Almeera langsung menarik wanita yang umurnya 2 tahun lebih tua darinya itu masuk ke kamarnya. Bintang diseret dengan terburu-buru sementara ia bertanya-tanya dalam hati. Apalagi yang akan dia lakukan? Setelah berhasil memasukkan Bintang di kamarnya, Almeera langsung mengunci pintu. Berusaha mencegah ada orang lain untuk masuk ke tempat pribadinya itu. “Ada yang bisa saya bantu, Nona?” tanya Bintang dengan penasaran. Almeera berlari kecil mengambil ponselnya di atas tempat tidur, selanjutnya ia menyodorkannya pada Bintang. Tangan wanita itu reflek menerimanya tanpa banyak bertanya. “Dia membaca chat-ku, tapi tidak membalasnya” bisik Almeera dengan suara kecewa. Helaan nafasnya terdengar nyaring, bahkan lebih nyaring dari kalimat yang tadi ia ucapkan. “Terus?” tanya Bintang sambil wajahnya mendongak menatap Almeera. “Ya gak ada terus-terusnya. Kan gak dibalas” sembur Almeera. “Maksud saya, jadi Nona maunya bagaimana?” “Ya mau dibalas lah” ujar Almeera dengan bibir mencebik. Bintang menggaruk kepalanya. “Yang bisa membalasnya ya cuma dia, dan kalau dia gak membalas kita gak bisa apa-apa.” “DIA... DIA… DIA…!!” teriak Almeera, mulai emosi mendengar cara Bintang menyebut pria itu dengan sebutan dia. Namun, teriakannya justru disambung dengan sebuah lagu oleh Bintang. “Cinta yang kutunggu-tunggu…” Bintang mengulum senyum saat ia mengakhir sebait lagunya.  “Siapa yang nungguin dia huh?” Kilatan mata Almeera menunjukkan bahwa ia siap mencekik Bintang. “Kan emang nunggu balasannya” ucapan Bintang tepat sasaran. Almeera sampai merasa tercekik, tiba-tiba tenggorokannya terasa kering. “Keluar kamu!!” usir Almeera lalu ia menyambar ponselnya yang masih berada di tangan Bintang. Merasa kesal dengan nyanyian Bintang yang terasa mengejeknya, Almeera kembali keluar. Ia harus menemukan orang lain untuk menjawab rasa penasarannya.   Ia berlari kecil menuruni tangga dan akhirnya ia berpapasan dengan Kejora. Ia buru-buru menarik Kejora ke ruang keluarga yang saat itu dalam keadaan sepi. “Jo” seru Almeera. “Iya, Nona” “Kamu kalo ngirim chat ke orang terus kalo gak dibalas, itu harus apa?” tanya Almeera to the point. “Kalau mendesak, saya akan menghubunginya langsung. Atau kalau benar-benar genting saya akan mendatanginya” jawab Kejora. Almeera berpikir sejenak. Apa ini mendesak? Apa aku perlu meneleponnya? Apa ini genting? Apa aku harus menemuinya? “Jo, standar mendesak dan genting itu seperti apa?” tanya Almeera lagi. “Emm… apa ada seseorang yang dalam bahaya?” Kejora bertanya yang langsung disambut gelengan oleh Almeera. “Apa seseorang sakit?” Almeera kembali menggeleng. “Apa seseorang meninggal?” dan lagi-lagi Almeera menggeleng. “Kenapa orang itu gak bales chat-ku yah? Padahal dia udah baca?” gumam Almeera lirih yang setidaknya masih bisa didengar oleh Kejora. “Siapa yang mengabaikan chat Nona?” tanya Kejora dengan antusias. Matanya terlihat berbinar-binar menunggu jawaban. “Itu, cowo bau itu” balas Almeera sambil menutup hidungnya seolah-olah Alroy sedang berada di sekitarnya. “Oh dia.” “Kenapa dia sih?” Almeera mendadak emosi mendengar kata dia. “Kayak spesial aja dipanggil dia.” Kejora menyengir. “Kan saya gak tau namanya.” Ia terdiam sesaat, ia teringat saat dokter Wulan menyebut pria itu dengan sebutan Al. “Ah, namanya Mas Al” ucap Kejora dengan nyaring. “MAS AL??” terdengar suara lain yang diikuti dengan tubuhnya yang tergopoh-gopoh menemui Kejora. “Mana Mas Al? Mas Al kan harusnya tayang kalo malem? Apa Mas Al sekarang tayang juga kalo pagi?” serbu Bi Yati dengan suara heboh. Almeera menepuk jidatnya. Orang-orang yang tinggal bersamanya adalah penggemar Mas Al yang selalu heboh diperbincangkan tiap malam. Yang selalu membuat mereka emosi tapi juga tidak pernah melewatkan satu episode pun di setiap penayangannya. “Bukan Mas Al yang di tipi, Bi” balas Kejora sambil terkekeh. “Tapi, ini Mas Al yang beda.” Ia menatap Almeera sekilas lalu berbisik pada Bi Yati, “Yang ini punya Nona.” Meski tak mendengar semua bisikan Kejora, Bi Yati tetap berseru dengan heboh. “Owalah, Nona kita demen Mas Al juga toh.” Dalam hati Kejora menggerutu. Ah, Bibi nih gak bisa diajak kompromi. Udah dibisikin malah teriak-teriak. “Siapa bilang aku demen Mas Al? GAK, POKOKNYA GAK!!! DAN DIA BUKAN MAS AL!!” Almeera meninggalkan ruang keluarga dengan penuh emosi. Wajahnya yang putih itu terlihat memerah. Jika tadi Bintang bernyanyi lagu dia dia dia, kali ini serangan Mas Al membuatnya makin emosi. Setiap pelayan yang ia temui makin memperburuk suasana hatinya. Karena semua pelayannya adalah penggemar berat Mas Al yang di TV itu. Sementara Mas Al yang lain membuat Almeera kelabakan menunggu chat balasan. Apa susahnya sih dibales? Toh, udah dibaca juga. Apa dia sibuk? Kalau dia sibuk harusnya dia gak baca pesan itu. “Ih, kenapa aku ikut-ikutan menyebutnya DIA” teriak Almeera. “Dia siapa?” sebuah suara terdengar. Almeera melonjak kaget. Ia pikir tak ada seorangpun yang mendengarnya. Nyatanya seseorang telah berdiri di sampingnya ditambah dengan wajah penasaran. “Siapa yang kau sebut dia?” tanya pria itu. Almeera menyengir. Ia menggaruk kepalanya. Sebuah suara di otaknya melarang untuk bercerita, tapi sisi lain justru mengomporinya. Jangan!! Jangan katakan apapun padanya! Kenapa tidak? Ah, sekalian bisa nanya kenapa chatku gak dibalas. Suara terakhir itu membuat Almeera mengangguk mantap, lalu ia meraih lengan pria itu. Menariknya masuk ke ruang tamu dan mendudukkan sang kakak. Dennis, pria berumur 30 tahun yang merupakan kakak satu-satunya Almeera. “Kak, kalo orang di-chat gitu terus di-read tapi gak dibales itu maksudnya apa?” tanya Almeera langsung pada intinya. “Artinya yang nge-chat gak penting” balas Dennis sambil tertawa lalu ia bangkit dari tempat duduknya meninggalkan Almeera dengan wajah murung. Butuh waktu beberapa menit bagi Almeera untuk mencerna kata ‘gak penting’ itu. Berkali-kali ia menggumamkan kalimat itu dalam benaknya, yang semakin ia sebut semakin kesal pula dia. “Gak penting, huh? GAK PENTING!!” Ia mengehentakkan kakinya keras-keras sebelum berlari ke kamar Dennis. Hendak menanyakan kemungkinan alasan lain. Ia tak terima jika dirinya disebut tidak penting. Almeera mendorong pintu kamar Dennis dengan kasar. Yang membuat sang pemilik kamar sedikit terlonjak karena kaget. “Kenapa?” tanya Dennis dengan cepat setelah menyadari raut wajah Almeera yang terlihat sangat emosi. “Ada alasan lain selain karena gak penting itu?” tanya Almeera dengan suara nyaring. Alis Dennis bergerak naik, kemudian di detik berikutnya turun lagi. “Sibuk mungkin” jawabnya dengan ragu. “Benar kan? Karena sibuk?” tanya Almeera untuk memastikan. “Hmm…” jawab Dennis sambil mengangguk ragu-ragu. Almeera ikut mengangguk sebelum ia menutup kembali pintu kamar Dennis. “Iya, dia pasti sibuk. Dia akan membalasnya saat dia tidak sibuk lagi.” Kali ini Almeera menemukan jawaban yang membuatnya senang. Yah, membuatnya senang. Meski hanya untuk beberapa detik. Karena di detik selanjutnya ia kembali membuka kamar Dennis tanpa permisi dan dengan gerakan cepat. “Apa lagi?” Dennis mulai jengah melihat pintu kamarnya yang dibuka Almeera sesuka hati. Untung ia sedang berpakaian lengkap, kalau tidak yah… (otornya mau ikutan ngintip kalau Kakak Dennis tidak pakai baju hihiww) “Apa alasan orang sibuk di jam 2 dini hari?” suara Almeera terdengar memburu saking penasarannya. “Emm… sibuk tidur? Mungkin” jawab Dennis tak yakin. Sesuatu terpikirkan di kepalanya, alasan kenapa seseorang sibuk di jam 2 dini hari. Namun, ia menahan mulutnya untuk mengatakan hal itu pada Almeera. “Selain tidur?” tanya Almeera lagi. Dennis menjawab dalam benaknya, bikin anak. “Kerja” jawab Dennis, kali ini suaranya terdengar yakin. Ia membungkam mulutnya untuk mengatakan hal lain yang tadi ia pikirkan. “Pekerjaan apa yang dilakukan di jam 2 dini hari?” Almeera bertanya lagi, benar-benar ingin menuntaskan rasa penasarannya. “Ya banyak, seperti yang sering Kakak lakukan, kadang bisa lembur sampai pagi kalo kerjaan bener-bener lagi penting banget.” “Ah… oke… oke…” Almeera mengangguk sambil tangannya membentuk tanda ok. “Eh, tapi dia tidak terlihat seperti orang yang memiliki pekerjaan. Dia terlihat seperti pengangguran” lanjut Almeera. Dalam hati ia berujar, mana ada yang mau mempekerjakan cowo bau seperti itu. Bisa muntah-muntah bos sama karyawan lain. “Siapa yang sebenarnya kau maksud? Jika ada orang yang mengganggumu katakan pada Bintang atau Kejora. Jika mereka tidak bisa mengurusnya, Kakak akan menyuruh orang lain untuk membereskannya.” “Lupakan saja” Almeera buru-buru mencegah Dennis. “Gak penting”  ucapnya dengan ketus.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD