Si Tukang Muntah

1478 Words
Atas bantuan dokter Wulan, akhirnya dua orang aneh itu kembali dipertemukan di dalam satu ruangan. Almeera sepakat bertemu Alroy karena pria itu adalah pria pertama yang membuatnya muntah-muntah sejak penyakit aneh yang ia alami. Pria pertama yang berhasil membuatnya enggan mengendus aroma tubuh pria. Padahal selama ini ia akan menerjang pria manapun tanpa ampun tanpa pilih-pilih. Ia tergila-gila dengan aroma tubuh pria manapun. Dan Alroy adalah pengecualian. Karena untuk pertama kalinya, Almeera membenci aroma tubuh seorang pria. Padahal tadi pagi saja ia hampir menerjang salah seorang sopir di rumahnya kalau saja pria berumur 40 tahun itu tak segera berlari menjauh. Kebiasaan Almeera sangat aneh, selama itu pria ia selalu menyukai aroma tubuhnya. Bahkan pria yang tampangnya menakutkan sekalipun atau bahkan terlihat urakan. Semuanya sama saja bagi Almeera, sangat membuatnya kecanduan. Sementara Alroy, ia benar-benar merasa butuh jawaban. Entah apapun alasannya, tapi ia butuh sesuatu untuk menenangkan ribuan pertanyaan yang begitu ribut di kepalanya. Dan ia harap, Almeera mampu memberinya jawaban. Almeera sengaja duduk jauh-jauh di sudut ruangan sambil menutupi hidung dan mulutnya yang sudah tertutup masker. Baru beberapa detik berada di sekitar Alroy sudah membuat Almeera harus menahan nafasnya. Jika biasanya Almeera menggunakan masker agar indera penciumannya tersamarkan dari aroma tubuh yang sangat ia gilai. Maka kali ini, ia juga menggunakan masker tapi untuk alasan yang berbeda. Agar aroma tubuh Alroy tak semakin memperparah gejolak di perutnya. “Ah, aku tak bisa,” protes Almeera “Kau sangat bau,” lanjutnya lagi. "Bisakah kau mandi dulu sebelum kesini?" "Atau kau benar-benar tak punya air di rumahmu?" "Kalau kau tak punya air, kau bisa menumpang mandi di toilet di tempat umum. Seperti di SPBU, di tempat ibadah, di mall, atau di mana saja yang ada toiletnya." Protes demi protes Almeera berlanjut yang hanya dibiarkan begitu saja oleh Alroy. Ia hanya melirik sekilas lalu kembali fokus dengan pembicaraannya dengan dokter Wulan. “Oek … oek ….” Sekali lagi Almeera berlari ke toilet untuk memuntahkan isi perutnya. Usai menenangkan dirinya sesaat, Almeera kembali ke ruangan dokter Wulan sambil menarik napas panjang. Baru satu langkah ia masuk dan perutnya sudah bergejolak lagi. Sial, bisa mati aku ini jika harus bertemu pria menjijikkan ini terus. Almeera kembali duduk di sudut ruangan. Ia mengeluarkan sebotol parfum dari dalam tasnya dan menyemprotkan benda itu ke sekelilingnya, berharap aroma tubuh Alroy sedikit tersamarkan. Nyatanya hal itu tak mempan karena Almeera lagi-lagi berlari keluar hampir tiap lima menit untuk mengisi paru-parunya dengan udara yang tak terkontaminasi bau tubuh Alroy. Wajah Almeera sudah pucat, ia sedikit menolehkan kepalanya di ambang pintu. “Aku bisa mati jika begini terus, mari kita tidak pernah bertemu lagi,” ucap Almeera menyerah. “Aku lebih baik menjadi gila dari pada bolak-balik muntah tiap menit.” Alroy hendak mengejar Almeera tapi ditahan oleh dokter Wulan. “Apa yang harus kulakukan?” tanya Alroy dengan nada putus asa pada dokter Wulan. “Berkomunikasilah dengannya, kalian tidak harus bertemu, kalian bisa berbicara melalui telepon. Yang pertama harus kau lakukan adalah membiasakan kehadiranmu di sisinya. Saat Almeera terbiasa, kemungkinan dia tidak akan muntah-muntah lagi. Dan aku harap saat itu terjadi, kalian bisa berbicara tentang mimpi-mimpimu” Alroy menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Baru kali ini ada wanita yang menghindarinya dan dengan alasan yang membuatnya agak tersinggung. Sementara ia sangat membutuhkan wanita itu. “Kau tidak butuh diajari cara menghubungi seorang wanita bukan?” tanya dokter Wulan sambil tertawa. “Meremehkanku huh?” tanya Alroy dengan sengit. “Yang sopanlah sedikit, aku masih doktermu.” “Baiklah dokter Wulan yang terhormat, terima kasih untuk hari ini. Kalau terapi ini berhasil, akan kubelikan kau tiket liburan ke Bali.” “Dasar pelit, hanya ke Bali. Berapa harga tiket dari Jakarta ke Bali? Apa hanya segitu kau menghargai pengobatanku?” ejek dokter Wulan. “Baiklah, aku akan membelikanmu sesuatu yang mahal jika aku sembuh,” balas Alroy dengan malas. “Tanda tangan dulu sebelum kau keluar,” ucap dokter Wulan sambil menyodorkan selembar kertas kosong. Dahi Alroy berkerut tak mengerti maksud dokter Wulan. “Akan kutagih saat kau sembuh dan kau tak bisa menolak karena aku memiliki hitam di atas putih,” ucap dokter Wulan sambil meletakkan pulpen di atas kertas kosong itu. “Dasar dokter perhitungan,” gerutu Alroy walaupun pada akhirnya ia tetap menandatangani kertas kosong itu. **** Berbekal nomor ponsel Almeera yang diberikan oleh dokter Wulan, kini Alroy berjalan mondar-mandir di apartemen miliknya. Ia merasa bingung sendiri bagaimana memulai untuk menyapa Almeera. Hai … Atau … apa kabar? Pria itu menjambak rambutnya lalu melempar ponselnya ke tempat tidurnya. Ia juga ikut meluncur ke tempat tidur sambil meraih benda pipih itu. Mengetik sesuatu lalu kembali menghapusnya tanpa mengirimkan pesan apa-apa ke pemilik nomor yang ia simpan dengan nama Si Tukang Muntah. “Haruskah aku menanyakan apa yang sedang dia lakukan?” “Atau … memperkenalkan diri.” Ia kembali bangkit lalu berjalan mondar-mandir. Tangannya menjulur ke depan seolah-olah ada seseorang yang akan menerima jabatan tangannya. “Aku Alroy,” lalu ia menggoyangkan tangannya sendiri persis seperti orang yang sedang berjabat tangan. Ia kembali melompat ke tempat tidur karena frustasi. Ia tak menemukan cara yang tepat untuk menghubungi wanita itu. Dan hal tergila yang ia lakukan sekarang adalah membuka Google lalu mengetikkan sesuatu di mesin pencarian, ‘Cara menyapa wanita gila’. Sebelum menekan tombol search ia mengganti keyword gila menjadi aneh. Alroy menggulir layar ponselnya, membaca satu persatu artikel yang membuatnya memasang wajah masam. “Apa ini?” kesalnya. “Ini hanya artikel yang tidak masuk akal,” sambungnya. Meski mengatakan bahwa artikel-artikel itu tidak masuk akal, ia tetap melanjutkan membaca. Berharap ada satu sapaan yang bisa ia praktekkan kepada Almeera. Namun, hampir 10 menit ia membaca, ia berakhir mendengkus. “Apa-apaan ini?” gerutunya. “Sejak kapan aku tak tahu cara menyapa wanita?” Pria itu mulai bertingkah seperti orang kesurupan, mondar-mandir atau kembali lagi meluncur ke tempat tidurnya. Dan ia melakukannya tiap kali ia mengetikkan sesuatu di salah satu aplikasi chat namun berakhir menghapusnya sebelum mengirimkan pesan itu. “Wah …,” gerutunya sekali lagi. Sementara itu ada satu lagi makhluk aneh yang sedang harap-harap cemas menunggu ponselnya berbunyi. Dokter Wulan telah mengabarinya bahwa pria dengan bau badan menjijikkan itu akan menghubunginya untuk proses penyembuhan. Yang terpaksa dilakukan secara online karena Almeera tak sanggup menemui pria itu secara langsung. “Terapi online ishh…,” desisnya. “Saingan tuh sama sekolah online.” Ponselnya tak kunjung berbunyi, padahal ia menunggu sejak tadi. Sibuk memikirkan jawaban atas pertanyaan yang bahkan belum mampu Alroy kirimkan padanya. Dan kegilaan Almeera makin menjadi-jadi, karena ia bahkan sampai menuliskan persiapan balasan chat di buku catatannya. Selamat malam juga, tulisnya di buku catatannya. “Ah, ini terlalu formal.” Good night, tulisnya lagi ditambah emoticon tersenyum. “Ini terlihat sangat menggelikan, seperti aku menggodanya.” Belasan catatan ia tuliskan dan berakhir ia coret sendiri karena menurutnya terlalu aneh.   Aku Almeera. Kamu bekerja apa? Tinggal di mana? Umur berapa? Lulusan mana?, tulisnya lagi sebelum ia merobek kertas itu dan meremasnya dalam genggaman tangannya. “Apa aku sedang mewawancarainya?” “Kenapa juga aku harus tau dimana dia tinggal, pekerjaan, atau umurnya?” “Sekalian aja tanyain gajinya berapa?" Almeera mengomeli dirinya sendiri lalu menutup buku catatannya karena gagal menyiapkan balasan chat untuk Alroy. “Pasti gajinya tidak seberapa.” Almeera berasumsi. “Buktinya dia sangat bau. Dia pasti jarang mandi dan jarang mengganti bajunya. Atau jangan-jangan baju yang dia pakai itu belum dicuci?” Almeera kembali memasang wajah jijik. Tiba-tiba perutnya terasa tak nyaman gara-gara membayangkan bagaimana pria itu tak mandi, jarang mengganti bajunya, dan bahkan tak mampu membeli parfum. Ponsel milik Almeera bergetar tanda pesan masuk, ia melirik sekilas menatap deretan nomor yang belum ia simpan. Tangannya meraih benda pipih itu, mengusap layarnya lalu ia membaca sebuah pesan. Via WhatsApp (08X-XXX-XXX-XXX: Apa kau mengenal seseorang bernama Mike dan Tiara?) Untuk sesaat Almeera terpaku menatap layar ponselnya. Pesan yang ia terima sangat jauh dari ekspektasinya. Tak ada ucapan basa-basi seperti selamat malam atau apa kabar. Membuatnya merasa rugi telah sibuk mempersiapkan chat balasan. Namun, di saat yang bersamaan ia merasa kosong. Dua nama yang ditanyakan oleh Alroy tak ia kenali, tapi kenapa terasa tak asing baginya. Pesan itu, entah kenapa membuat hatinya teremas sakit untuk alasan yang ia tak mengerti. Sementara itu, Alroy menatap ponselnya tanpa berkedip. Tanda dua centang berwarna biru itu menunjukkan bahwa wanita aneh itu telah membaca pesannya. Ia menunggu, tapi tak juga mendapatkan balasan, padahal pemilik kontak Si Tukang Muntah itu sedang online. Online… Di-read... Tapi, tidak dibalas. HIKSROT… “Apa-apaan ini, apa dia sekarang jual mahal padaku?” ketus Alroy. 5 menit berlalu sebelum akhirnya pesan balasan itu Alroy terima. Via WhatsApp (Si Tukang Muntah: Tidak) Alroy melempar ponselnya. “5 menit dia baru membalasnya dan hanya mengatakan ‘tidak’. Wah, apa dia sedang mengajakku bermain-main?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD