Mas Al dan Durian

1992 Words
Rencana permainan 6 jamnya gagal. Alroy tak bisa berlama-lama. Ia baru saja menerima telepon dari atasannya jika ia harus kembali untuk bertugas. Dan karena itu, ia memilih mematikan timer 6 jamnya. Lalu buru-buru menghubungi Almeera melalui sambungan video call. Sekitar jam 7 pagi, ketika Almeera melonjak kaget mendengar ponselnya yang berdering dengan nyaring ditambah setelah melihat nama pemanggil yang muncul di layar itu. “Aaakkhh!!” Almeera menjerit sambil meraih ponselnya dengan tangan gemetaran. “Ini dijawab atau gak?” tanyanya pada diri sendiri dengan suara memburu. Semakin nyaring bunyi ponsel Almeera, tapi ia memilih untuk berlari ke depan cermin dulu. Memastikan wajahnya tidak terlihat terlalu aneh. “Udah cantik” serunya sambil tersenyum. Jari telunjuknya hampir menekan tombol hijau itu sebelum ia kembali menarik tangannya. “Kenapa aku harus keliatan cantik?” Ia mengacak-acak rambutnya sendiri agar terlihat berantakan. Tapi, justru di detik berikutnya ia kembali merapikan rambutnya hingga deringan panggilan video call itu berakhir. “Yaah, mati” Almeera mendesah kecewa. Butuh waktu semenit sebelum akhirnya panggilan video call itu kembali membuat ponsel Almeera berbunyi nyaring. Dan kali ini, tanpa menunggu apakah ia terlihat cantik atau berantakan, Almeera langsung menjawab panggilan itu. Ia menjulurkan tangannya untuk memposisikan benda pipih itu di meja riasnya. Almeera tersenyum kikuk memandangi pria yang saat ini ada di layar ponselnya. Tangannya terangkat lalu melambai kecil untuk beberapa saat. “Hai” sapa Almeera dengan canggung. “Bisakah kita bertemu?” tanya Alroy langsung, tanpa basa-basi. Almeera menggaruk kepalanya, dalam kepalanya kini terputar bagaimana penderitaannya jika ia harus bertemu pria dengan bau badan super menjijikkan itu. Hanya sekedar membayangkannya saja sudah membuat Almeera menggelengkan kepalanya. “Aku akan tetap menemuimu, ini penting” ucap Alroy dengan serius. Mendengar nada suara pria itu, entah kenapa Almeera tak sanggup mengatakan penolakan. Karena itu, ia hanya mengangguk pasrah. “Baiklah, setidaknya mandilah dulu sebelum kita bertemu” pinta Almeera dengan lirih. Dari layar ponsel Almeera terlihat pria itu memasang wajah malas. Bukan malas mandi maksudnya, tapi malas dianggap bau padahal sebenarnya ia baik-baik saja. “Di mana kita bertemu?” Alroy bertanya. “Kau bisa ke sini saja. Aku mungkin akan membuat masalah jika harus berada di tempat umum. Aku akan mengirim alamatku.” “Baiklah, aku berangkat sekarang” ucap Alroy lalu sambungan video call terputus. “APAA??” Almeera memekik, mau protes sekalipun tak berguna. Karena itu, ia buru-buru mengirimkan alamatnya melalui chat. Selanjutnya, Almeera berlari keluar kamar untuk mencari lokasi paling strategis untuk bertemu pria itu. Lokasi yang setidaknya bisa menyelamatkannya dari muntah-muntah tiap menit. Ia berdiri di lantai satu rumahnya, menatap sekeliling tempat itu. Namun, entah berapa kali pun ia melihat tempat itu, ia tetap tak bisa menemukan tempat yang tepat. Saat Alroy tiba, entah ia memakai masker berapa lapis pun, ia akan tetap muntah-muntah. “Nyari apa, Nona?” tanya Bi Yati yang baru muncul sambil membawa kemoceng di tangan kanannya. “Itu, aku nyari tempat buat ketemu sama orang” jawab Almeera. “Berapa orang?” tanya Bi Yati bingung melihat gelagat aneh Almeera. “Satu orang” jawab Almeera sambil menunjukkan satu tangannya. Merasa tak menemukan lokasi yang ia cari, Almeera berlari mengelilingi rumahnya. Sibuk mondar-mandir di berbagai ruangan tanpa mengambil apapun. Sementara wajahnya menunjukkan ekspresi panik. Semakin lama ia membuang-buang waktu tanpa mendapatkan apa-apa, sementara pria itu bisa tiba kapan pun. “Bintang!! Jojo!!” teriak Almeera memanggil satu persatu pengawalnya. “Bintang!!” “Jojo!!” Almeera berteriak dengan nyaring sementara dua orang yang dipanggil itu segera berlari ke sumber suara. Dan mereka menemukan Almeera yang berada di ruang keluarga dalam keadaan panik. “Kenapa, Nona?” tanya Bintang dengan cepat. “Ada yang bisa kami bantu?” Kejora ikut bertanya. “Itu, itu…” Almeera panik setengah mati. “Apa?” Bintang dan Kejora juga mulai ikut panik karena Almeera. “Cowo bau itu mau datang” balas Almeera dengan nada suaranya yang memburu. “HAH!!” jerit Bintang dan Kejora bersamaan. Almeera menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan cepat. Ia mengulangnya beberapa kali sebelum mengutarakan maksudnya. “Kalau cowo bau itu datang, aku harus ketemu dia di mana? Biar aku bisa bicara sama dia tapi gak perlu muntah-muntah kayak waktu itu.” Bintang dan Kejora saling berpandangan untuk sesaat. Setelah itu mereka memutar arah pandangannya ke berbagai penjuru rumah, berusaha menemukan tempat paling aman dan strategis. “Bagaimana kalau di sini?” Kejora memberi saran. Almeera mendecak kesal. “Aku bakalan tetep muntah kalau di sini.” “Maksud saya, Mas Al yang di sini terus Nona di luar” tunjuk Kejora pada area kolam yang berseberangan dengan ruang keluarga. Bagian kolam dan ruang keluarga dipisahkan oleh sekat yang terbuat dari kaca yang bisa digeser ketika ingin membuka atau menutupnya. “Betul juga, Nona” Bintang menyetujui. “Kita tinggal tutup rapat-rapat pintu gesernya. Nona bisa berada di luar sementara dia, eh… maksudnya Mas Al bisa duduk di sini.” Almeera berpikir sejenak sebelum akhirnya ia mengangguk setuju. Untuk kemungkinan terburuk, jika pembatas kaca itu tak mampu menyamarkan aroma tubuh Alroy, setidaknya ia masih berada di tempat terbuka jadi ia tak kekurangan udara segar. “Oke, kalau begitu aku harus siap-siap dulu. Katakan padaku kalau dia sudah tiba” ujar Almeera lalu ia segera berlari naik ke kamarnya untuk bersiap-siap. Almeera mengeluarkan beberapa lembar pakaian lalu mencobanya satu persatu. Dress selutut berwarna hitam lalu ia mengikat rambutnya. “Ah, ini seperti aku akan menghadiri pemakaman.” Dengan cepat Almeera mengganti dress hitam itu dengan kemeja berwarna putih lalu memakai rok sepaha berwarna hitam. “Ah, apa-apaan ini. Apa aku akan mengikuti tes CPNS?” Dilepasnya lagi pakaian itu dengan terburu-buru dan menggantinya dengan jenis pakaian lain, yang tiap kali ia ganti, selalu saja ada komentar-komentar yang keluar dari mulutnya sendiri. Tumpukan pakaian di lantai mulai menggunung, yang artinya Almeera telah menghabiskan banyak waktu hanya untuk mengganti pakaian tanpa memutuskan hendak memakai pakaian yang mana. “Nona… Nona…” terdengar suara Kejora memanggil-manggil Almeera. “Masuk” balas Almeera dari dalam kamar sambil berteriak. Pintu kamar terbuka dan Kejora hanya bisa menganga melihat tumpukan pakaian milik Almeera yang berada di lantai. “Mas Al udah ada di bawah” ucap Kejora dan hanya helaan nafas panjang yang terdengar dari mulut Almeera. Kejora yang paham dengan kepanikan Almeera segera memungut selembar pakaian milik Almeera. Hanya asal memungut sebuah baju kaos lalu menyodorkannya pada Almeera. “Pakai ini aja, Nona” saran Kejora. “Yang ini terlalu biasa” balas Almeera sambil menggeleng. Mendengar jawaban Almeera, Kejora meraih sebuah gaun panjang berwarna silver yang masih tergantung di dalam lemari. “Yang ini luar biasa” ucap Kejora. “Ah, yang ini berlebihan.” “Ya udah, gak usah ganti baju. Pakai ini aja” Kejora menunjuk pakaian yang melekat di tubuh Almeera. Almeera menatap pantulan dirinya di cermin. Dress selutut bermotif bunga sakura dengan kombinasi warna putih dan pink. “Yang ini sudah cantik, tidak berlebihan, dan Nona terlihat sangat cerah memakainya.” “Benarkah?” tanya Almeera untuk memastikan. “Iya, ayo” Kejora menarik tangan Almeera. Seolah-olah hendak mengantarkan adik perempuannya untuk menemui calon suaminya. “Eehh, tunggu… aku harus pakai masker dulu.” Almeera meraih dua lembar maskernya lalu buru-buru keluar mengikuti Kejora. Kehadiran Alroy benar-benar sebuah kehebohan, para pelayan berbisik-bisik dengan rusuh sambil mengintip pria itu. Karena mereka sudah hafal betul jika selama ini tak pernah ada laki-laki yang mengunjungi Almeera. Jangankan orang yang datang berkunjung, sopir atau security sekalipun memiliki jadwal tertentu untuk memasuki rumah atau mereka akan diterjang habis-habisan oleh Almeera. “Itu siapa sih?” tanya seorang pelayan sambil berbisik. “Itu Mas Al” jawab Bi Yati sambil terkikik. “Mas Al punya Nona, bukan yang di tipi.” “Ganteng ya, lebih keren dari Mas Al yang di tipi” ujar yang lain. “Ah gak, lebih ganteng Mas Al yang di tipi” balas yang lain tak terima. Alroy yang disuruh menunggu di ruang keluarga menjadi canggung. Ia tak pernah berkunjung ke rumah orang lain lalu langsung diajak ke ruang keluarga. Tapi, ia tak banyak mempertanyakan hal itu karena setidaknya ia sudah tau bahwa Almeera adalah orang aneh yang pasti punya banyak hal aneh lain yang harus ia ajak berkompromi. Almeera tiba-tiba muncul dari luar. Ia hanya melambaikan tangannya pada Alroy lalu menyengir di balik maskernya. Sementara itu, Alroy langsung berdiri, hendak menghampiri Almeera yang berada di luar tapi berhenti setelah mendengar Almeera berteriak. “STOOPPP!!” teriak Almeera dengan kedua tangannya yang menempeli kaca pembatas itu. Sekat pembatas itu tertutup rapat, tapi tetap saja bau tubuh Alroy menusuk rongga hidung Almeera. Aromanya bahkan lebih mengerikan dari sampah yang dibiarkan membusuk selama berhari-hari. Dan yah, Almeera gagal bertahan. Ia buru-buru berlari menjauh sekitar 10 meter. Ia membuka maskernya dengan cepat lalu meraup oksigen sebanyak mungkin untuk mengaliri paru-parunya. “Hey…” Alroy berteriak dari dalam rumah. Ia mendekat ke sekat pembatas. Belum sempat Alroy melanjutkan ucapannya, Almeera telah menghilang dari pandangan matanya. Alroy menjambak rambutnya, “Arghh.” Pria itu benar-benar terburu-buru. Tapi sebelum pergi, ia benar-benar harus mengetahui sesuatu dari Almeera. Tapi, bagaimana ia bisa melakukannya jika kondisinya malah jadi seperti ini. Mereka dibatasi ruang yang berbeda bahkan dibatasi jarak sekian meter, tapi tetap saja Almeera mencium bau-bau tak sedap dari tubuhnya yang sebenarnya baik-baik saja.  Butuh waktu sekitar 5 menit sebelum Almeera kembali menampakkan diri di depan Alroy. Meskipun demikian, ia tetap mengambil jarak jauh-jauh di seberang kolam sementara Alroy masih berada di balik sekat kaca pembatas di ruang keluarga. “Apa yang ingin kau bicarakan?” teriak Almeera. Suara samar terdengar, tapi karena jarak mereka yang jauh ditambah Almeera yang memakai masker membuat Alroy gagal memahami apa yang dikatakan Almeera. “APA??” teriak Alroy. Almeera menjambak rambutnya. “APA YANG INGIN KAU KATAKAN?” teriaknya lagi, dengan lebih nyaring. Tapi melihat Alroy menggeleng, akhirnya ia membuka maskernya lalu kembali berteriak senyaring mungkin. “APA YANG INGIN KAU KATAKAN??” Almeera menggaruk kepalanya, jika ia harus terus berteriak begini, ia mungkin akan sakit tenggorokan. Alroy merogoh saku celananya, mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi Almeera. Sementara itu, Almeera segera menjawab panggilan telepon dari Alroy. “Sepertinya begini lebih baik, kita tidak perlu berteriak-teriak seperti orang kesetanan” seru Almeera setelah ia mendekatkan ponselnya ke telinga. “Jadi, apa yang ingin kau tanyakan?” “Apa kau mengenal seseorang bernama Mike dan Tiara?” tanya Alroy sambil ia memandangi Almeera dari kejauhan. “Sudah kubilang, aku tidak mengenalnya. Memangnya siapa mereka itu?” Almeera bertanya balik untuk menuntaskan rasa penasarannya. Sayangnya sebelum Alroy sempat menjawab, Almeera harus berlari ke toilet dulu untuk memuntahkan isi perutnya. Sementara itu, Alroy hanya bisa menggelengkan kepalanya. “Dia benar-benar gila” kesalnya sambil melirik jam tangannya. Hampir 10 menit berlalu dan Almeera kembali muncul tapi sambil membawa sesuatu di nampan. Buah durian yang sudah dibelah, yang ia harapkan bisa sedikit menyamarkan aroma tubuh Alroy. Almeera tak pernah menyukai aroma durian, namun untuk pertama kali dan sejarah hidupnya yang penuh kehebohan ia lebih suka mengendus aroma durian yang menyengat itu dibandingkan aroma tubuh Alroy. “Kau mau makan durian?” tanya Alroy dengan kesal karena ia sudah membuang-buang banyak waktu hanya untuk melihat rangkaian kegilaan Almeera. “Tidak” bantah Almeera. “Ini untuk menyelamatkanku dari muntah-muntah” jelasnya. “Bisakah aku melanjutkan percakapan kita?” Alroy kembali angkat suara. “Baiklah” jawab Almeera sambil ia mendekatkan hidungnya pada buah durian itu, mengendus aromanya, mengisi paru-parunya dengan aroma kuat buah itu. Sementara itu, para pelayan, Bintang, dan juga Kejora hanya bisa melongo melihat bagaimana Almeera begitu agresif mengendus aroma durian itu. Selama ini mereka sudah tau betul jika Almeera tak suka dengan yang namanya durian. Tapi demi pria yang dijuluki Mas Al itu, untuk pertama kalinya Almeera berdamai dengan durian. “Sebau apa sih Mas Al itu? Padahal ganteng gitu, masa bau. Nona Almeera bahkan lebih milih deket-deket sama duren” seorang pelayan bersuara. “Iya, bisa-bisanya Nona kita mau dekat-dekat sama duren” timpal yang lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD