Chapter 67 - Kelahiran Wish

1213 Words
Prof. Rei melihat cincin milik Flos. Ia mengambil kursi dan meletakkannya di halaman rumah. Ia ingin bersantai sejenak melihat ke arah jalan di depan rumahnya. Ia memakai kaos putih tipis dengan celana pendek biru bergaris hitam. Janggutnya sudah mulai tumbuh lebat tanpa jenggot menemani.  Ia melihat cincin tersebut, membolak-baliknya, melihat mata cincin, tulisan yang tergores di lingkaran badan cincin, dan juga mengangkatnya ke atas membiarkan matahari menyinari batu cincin tersebut. Ia hanya bingung, mengapa kekuatan yang diserap dari batu cincin tersebut tidak habis-habis. Ia juga bertanya dalam hati, untuk apa cincin itu digunakan di dunia waktu. Mau bagaimanapun caranya ia menyangkal, tetap saja ia tidak menemukan celah bahwa Flos bukan manusia.  “Ini energi yang tidak ada habisnya!” Ucap Prof. Rei menggelengkan kepala. Istrinya belum mengetahui bahwa cincin miliknya itu disimpan oleh Prof. Rei. Ia tidak menaruh curiga sedikitpun kepadanya. Ia lebih sibuk untuk menonton acara masak di televisi dan mengerjakan pekerjaan rumah, bercanda dengan suaminya setelah pekerjaannya selesai, dan memastikan pakaiannya sudah terlipat rapi, dibanding mencari cincinnya yang hilang itu. Atau bisa jadi ia sudah melupakan bahwa cincin waktunya sudah tidak ada di tangan. Flos sedang menonton televisi di ruang tamu. Ia sedang menonton acara memasak masakan western. Ia sangat serius mendengarkan acara tersebut dan mengingatnya agar bisa mempraktekkannya nanti. Tiba-tiba, ia berteriak kepada Prof. Rei. Dengan cepat ia memasukkan cincin tersebut ke sakunya lalu pergi melihat apa yang terjadi dengan istrinya. Ia pun bertanya kepada Flos yang sedang telentang di sofa. Acara masak memasak terdengar seraya Prof. Rei berbicara. Ia kemudian mematikan televisi tersebut dan mengusap keringatnya yang bercucuran. Ia sangat takut sesuatu terjadi dengan Flos. Ia mengingat ucapannya kemarin yang mengatakan bisa jadi ia mati tiba-tiba. Flos memegang perutnya. Prof. Rei bisa melihat gerakan di dalam perutnya itu. Ia langsung jongkok di depannya dan menyentuh perut Flos. Ia bisa membayangkan sebuah kaki kecil sedang menendang tangannya. Ia merasa takjub saat itu juga. “Sebentar lagi saatnya untuk melahirkan, sayang! Aku bisa merasakan gerakan bayi kita meminta keluar!’ Kata Flos menarik napas. “Ini sudah waktunya!” Prof. Rei merasa seharusnya jadwal lahirnya adalah bulan depan, tetapi mengapa baru delapan bulan sudah ada kontraksi. Ia sangat khawatir, karena bisa jadi anaknya lahir prematur.  “Apakah kau kesakitan?” Tanya Prof. Rei. “Tidak, aku tidak merasa kesakitan. Aku hanya gugup saja membayangkan bayi tersebut akan melihat ibunya!” Kata Flos dengan bahagia. Ia menarik napas berkali-kali mencoba menenangkan diri. “Kita harus ke rumah sakit!” Ia mencoba mengangkat Flos ke dalam mobil. “JANGAN!” Henti Flos. Prof. Rei berhenti kebingungan. “Jadi?” Ia hanya memandangi Flos. “Kamu tidak kesakitan?” Tanyanya kepada Flos. “Disana kita akan melahirkan!” Lanjutnya. “Tidak perlu. Kami tidak melahirkan seperti manusia yang merasakan sakit dan perlu manusia lain. Anak kita akan keluar sesuai waktunya. Kau tidak perlu khawatir. Itu tidak menimbulkan sakit.” Kata Flos sambil mencoba berdiri dari sofa. “Ayo bantu aku ke kamar!” Kata Flos merentangkan tangannya ingin di rangkul di pundak. “Apakah ini aman?” Kata Prof. Rei. Ia merangkul Flos dan mencoba mempercayai ucapan istrinya itu. Ia dibaringkan di kamar mereka, dengan kaki menghadap jam dinding di kanan dinding. Prof. Rei memberikannya bantal agar lebih nyaman dan duduk di sampingnya memegang tangan kanannya. “Setelah ini, apa lagi yang perlu?” Tanya Prof. Rei mengusap-usap tangan Flos. Ia bisa melihat keringat mulai bercucuran dari wajah Flos. Diambilnya kain dengan melepaskan genggaman tangannya dan mengusap keringat Flos. “Dari keringat ini saja sudah menunjukkan betapa sakitnya itu!” Kata Prof. Rei menggelengkan kepala. Ia menganggap ucapan Flos tidak benar. “Tidak! Itu tidak benar! Tidak akan sakit!” Flos berupaya meyakinkan suaminya lalu melepaskan tangan suaminya. Flos bersiap-siap untuk melahirkan. Ia melepaskan celana dalamnya dan memberikannya kepada Prof. Rei. Ia mengangkat rok nya dan menyembul-kan perut besarnya. Ia menahan bagian bawah perutnya saat akan kembali berbaring. Ia mencari bagian terbaik di kasur tersebut hingga merasa nyaman. Ia merentangkan kakinya, membukanya lebar-lebar dan mulai menunggu. Ia menarik napas lalu mengeluarkannya perlahan. Rambutnya tiba-tiba menjadi basah dan keringatnya kembali memenuhi keningnya. Prof. Rei kembali memegang tangan Flos. Ia menggenggamnya erat-erat seperti tidak akan melepaskannya.  Ia diam saja dan terlihat berkonsentrasi. Ia menatap ke atas, ke langit-langit kamar. Ia menepuk-nepuk tangan suaminya dengan lembut lalu melepaskan genggaman tangannya. Ia melakukannya agar Prof. Rei merasa bahwa dirinya baik-baik saja dan dalam upaya melahirkan ia harus melepaskan genggamannya. Kedua tangannya mulai saling menggenggam dan meletakkannya di d**a seperti posisi orang mati. Prof. Rei berkomat-kamit. Ia tahu Flos membutuhkan ketenangan. Ia membantunya dengan mengelap keringat yang mengguyur keningnya.  Tiba-tiba Flos memejamkan matanya. Mulutnya berkomat-kamit dan genggaman tangannya semakin erat. Ia terlihat menghembuskan napas panjang tanpa teriakan.  Flos kemudian berkata kepada Prof. Rei, “Matikan lampu!”  Awalnya ia tidak mengira Flos akan berbicara, jadi sejenak ia lambat merespon. Setelah sadar, ia langsung berdiri dan mematikan lampu kamar. Kunang-kunang berdatangan di sekitar Flos dan memberikan cahayanya. Suara tangis terdengar. Anak tersebut keluar dengan sendirinya dan terangkat ke atas. Prof. Rei melihat anaknya terbang ke atas dengan tali pusar yang masih terikat. Kunang-kunang mengelilingi anak tersebut sehingga mereka bisa melihat wajah anak mereka.  Prof. Rei sangat senang. Ia melihat anak mereka yang lahir berkelamin pria. Ia berdiri dan mengambil anak yang melayang itu ke pelukannya. Darah masih menyelimuti tubuhnya dan suara tangis yang tak henti-henti juga. Prof. Rei tidak bisa berkata apa-apa. Diambilnya handuk lalu membungkus anak tersebut di dalamnya. Sedikit demi sedikit anak tubuhnya dibersihkan hingga kulit halusnya muncul. Wajahnya begitu sempurna.  Ia memperlihatkan anak tersebut kepada istrinya. Ia mendekatkan wajahnya agar Flos bisa melihat dengan jelas. Mereka tersenyum senang, hingga mengeluarkan air mata. Suara besar dari langit terdengar. Suara itu bukan seperti bunyi sangkakala.  “Suara apa itu?” Kata Prof. Rei yang melihat ke atas. “Langit juga ikut bahagia!” Kata Flos sambil mengusap air mata Prof. Rei. Ia masih terbaring di tempat tidur tersebut. Ia tersenyum menimang-nimang bayi mereka yang baru lahir dengan tali pusar yang masih melekat panjang. Setelah suara gemuruh dari langit terhenti, tali pusar bayi tersebut langsung terputus. Prof. Rei langsung terdiam. Ia melihat pusar anaknya dan memastikan bahwa itu baik-baik saja. Ia sangat kaget karena normalnya tali pusar seorang bayi yang baru lahir akan putus setelah seminggu lebih. Prof. Rei menggeleng-gelengkan kepalanya. “Tali pusar bayi kita tiba-tiba terputus!” Ucap Prof. Rei kepada Flos dengan ketakutan. “Tidak apa-apa sayang. Itu menandakan bahwa bayi kita sehat.” Kata Flos.  Prof. Rei meletakkan anak tersebut di tempat tidur bayi di dekat mereka. Ia melihat anak mereka diam dan tertidur pulas. “Kau pasti kelelahan!” Kata Prof. Rei mengusap pipi lembutnya. Lampu kemudian dihidupkan kembali. Prof. Rei membantu Flos membersihkan bercak darah dan juga mengantarkannya ke kamar mandi. Flos ingin membersihkan dirinya lalu mengganti pakaiannya. Sementara mandi, Prof. Rei hanya menatap anak pertamanya. Ia berkata, “Hai Wish!” Senyuman di pipinya tak berhenti juga. Rasa senangnya menjadi seorang ayah tak bisa dijelaskan. Ia selalu tersenyum dan tak ingin berpisah dengan anaknya itu. Ia menatapnya terus hingga Flos selesai mandi.  Usai dari melahirkan, Flos tidak merasa kesakitan. Yang berbeda darinya hanyalah cara kakinya melangkah. Karena terlalu lama melebarkan kaki, ia merasa kakinya sedikit kram. Ia berpakaian dan menggendong bayinya tersebut. Prof. Rei merangkul pundaknya dan Flos menyandarkan kepalanya di bahu Prof. Rei.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD