Chapter 25 - Presentasi Alat Pengirim Pesan ke Masa Lalu

1119 Words
Tibalah hari weekend. Hari ini Prof. Rei berpakaian rapi. Ia tersenyum di kaca memandangi seluruh penampilannya. Ia akan pergi ke kota untuk memberikan laporan penelitian. Ia sudah membayangkan dirinya mendapat pujian dan juga gaji yang sangat besar. Ia tidak sabar menunggu hal itu terjadi. Ia keluar dari kamar dan melihat Flos sedang sibuk membuat makanan. Semakin hari, Flos semakin hebat dalam memasak. Ia bisa memasak apapun dan masakannya sangat lezat. Meski Prof. Rei harus bekerja lebih keras karena harus belanja stok bahan makanan mereka selama beberapa hari. Prof. Rei tidak memperbolehkannya keluar dan dilihat penduduk sekitar.  Ia makan sebentar. Pagi ini, Flos menyiapkan segelas s**u hangat, dua telur setengah matang, sayur rebus buncis dan wortel yang tertata di piringnya. Meski tampak sederhana, tetapi Prof. Rei merasa tubuhnya lebih sehat dibanding sebelumnya. Selesai makan, ia pun bersiap-siap berangkat. Alat-alat penelitian dan lembar-lembar laporan dimasukkannya ke dalam mobil. Flos membersihkan meja dan mendengar suara Prof. Rei yang mengucapkan salam perpisahan. Suara mobil terdengar dan dia pun berangkat.  Selama perjalanan Prof. Rei teringat dengan wajah putri Flos. Ia membayangkan wajahnya yang tersenyum saat memberikan piring kepadanya. Setiap ia memandang Flos, ia merasa sebuah cahaya keluar dan bintang-bintang menghiasi sekelilingnya. Rambutnya yang lurus dan pirang membuat tangannya ingin menyentuh dan merasakan lembutnya rambut tersebut. Tidak perlu memakai baju yang cantik, baju apapun yang dikenakannya seperti gaun mewah yang menghiasi tubuhnya. Ia tidak bisa bertahan terlalu lama dengan situasi tersebut. Ia memikirkan ucapan Tn. Smith yang sudah berhari-hari dan mempertimbangkan untuk menikahinya. Ia berpikir lagi, Flos tidak lagi pernah mengatakan bahwa ia ingin menikahinya. Itu merupakan suatu tanda tanya besar apakah Flos hanya bercanda padanya.  Ia tersadar dan memukul stir mobil dan bunyi klakson berbunyi. “Apa yang sedang ku pikirkan?” Ucapnya kepada diri sendiri.  Prof. Rei pun sampai di gedung PI (Penelitian Indonesia). Gedung tersebut berbentuk kubus memanjang dengan tiang bendera di tengah-tengahnya. Seluruh bagian luar ruangan adalah kumpulan kaca-kaca yang membuatnya memantulkan sinar Matahari. Seolah-olah gedung tersebut bersinar meski di atasnya ada Matahari.  Ia masuk ke dalam dan menyapa beberapa orang temannya. Ia tampak senang dan bangga saat berjalan. Ia bisa merasakan ketukan kakinya melangkah yang menunjukkan kewibawaan. Ia bertemu dengan Sahat, rekan satu timnya. Ia berjalan menaiki tangga terlebih dahulu. Prof. Rei memanggilnya. Meski mereka tidak begitu akrab, tetapi Sahat merupakan teman yang cukup enak diajak berbicara. Prof. Rei pun menyapanya. Ia berlari hingga mendapatkannya. “Bagaimana kabarmu?” Tanya Sahat. Ia terlihat keberatan dengan file bawaannya. “Baik, cukup banyak yang kau bawa hari ini!” Jawab Prof. Rei.  “Aku tidak seenak dirimu yang bisa mengerjakan pekerjaan dari rumah. Ada banyak yang harus k****a dan memberikan laporan kepada mereka.” Ucap Sahat.  “Aku akan melaporkan laporan penelitian juga.” Jelas Prof. Rei. Sahat mendengar apa yang diucapkannya. Ia melihat Sahat sedang membersihkan kaca matanya. Ia menawarkan bantuan untuk  membawa sebagian dari peralatannya. “Sejak kapan ada cincin melingkar di tanganmu? Apakah kau baru-baru ini bertunangan?” Tanya Prof. Rei.  Sahat menjadi malu. Ia tersenyum lebar dan mendekatkan jarinya di wajah Prof. Rei. “Indah!” Puji Prof. Rei.  “Menaklukan bos kita lebih sulit dibanding dengan menyakinkan wanita.” Ucap Sahat dan mereka tertawa. Ucapannya membawa mereka kembali ke ingatan-ingatan sebelumnya tentang proposal penelitian yang mereka ajukan kepada Pak Wangsa, direktur perusahaan tersebut. “Sudah berapa lama?” Tanya Prof. Rei.  “Baru semalam. Karena itu aku akan memberitahu yang lain nanti.” Ucap Sahat.  Mereka menaiki tangga satu persatu dan Sahat berkata, “Seorang pria itu harus lebih berani. Sudah saatnya kau mencari pendamping hidup. Kau yang harusnya memulai dan tidak menunggu aba-aba dari si cewek!” Saran Sahat.  Prof. Rei langsung diam. Ia memikirkan Flos.  “Bagaimana jika ditolak?” “Pria adalah yang memilih. Kita memilih. Ada banyak yang bisa kita pilih. Kalau ditolak, cari yang lain.” Jawab Sahat. “Bagaimana jika ia dulu tampak mencintai, tetapi sekarang tidak?” Tanya Prof. Rei. “Dari mana kau tahu dia tidak mencintai? Kau menanyakannya?” Tanya balik sahat.  Prof. Rei menggelengkan kepala. “Jika tidak, sekarang adalah giliran kamu yang bertindak. Kau tidak akan mendengar lagi ucapan tersebut dari bibirnya sebelum kamu yang juga menyambut pernyataan cintanya.” Ucap Sahat. Prof. Rei diam saja. Tatapannya kosong. Pikirannya melayang.  “Sepertinya ini pengalaman pribadi!” Ejek Sahat.  Prof. Rei langsung memukul punggung Sahat. “Diamlah! Aku hanya bertanya.” Katanya.  Sahat langsung berjalan lebih cepat menaiki tangga dan meninggalkan Prof. Rei sendiri. Ia tidak ingin dipukul lagi. Suara tawa Sahat masih sampai di telinga Prof. Rei. Prof. Rei menaiki tangga satu per satu. Perkataan Sahat membuatnya lagi-lagi memikirkan Flos. Ia merasa sekarang adalah saatnya dia untuk mencoba mendekati dan mengungkapkan perasaannya kepada Flos. Flos sudah mengatakannya, dan ia sekarang sedang menunggu balasan darinya.  Perasaan cinta seperti ini bukanlah bidang yang cocok bagi Prof. Rei. Ia tidak begitu berpengalaman kalau berbicara tentang cinta. Ini adalah pengalaman pertamanya. Bukannya tidak ingin bertindak, tetapi memang itu tertahan begitu saja. Tak terasa langkah kakinya sudah sampai di lantai keempat ruang tim khusus.  Saat berada di kantor, ia sudah melihat Sahat dikerumuni oleh tim penelitian balik. Yang tidak ada disitu hanyalah Edward, kepala penelitian. Ia berada di meja kerjanya sedang melihat diagram fase.  Prof. Rei membuka tasnya dan memberikan laporan. Ia pun duduk sebentar, dan saat Edward selesai membaca proposalnya, ia berteriak keras hingga mendiamkan kerumunan yang mengerumuni Sahat. “Uji coba.. uji coba, mana alatnya!” Kata Edward yang berdiri dan menuju meja kerja Prof. Rei. Semua memandangi mereka dan bertanya-tanya apa yang sedang terjadi dengan mereka berdua. “Alatnya ada di mobil. Aku akan menunjukkannya, tapi aku ingin direktur Wangsa ada disini. Ialah yang membantuku bekerja sama dengan tim ini!” Ancam Prof. Rei. Ia sangat jual mahal. Semua orang terkejut saat Prof. Rei berani mengatakannya kepada Edward, atasan mereka.  “Baiklah!” Kata Edward terpaksa. Prof. Rei ingin memastikan bahwa yang bekerja keras dalam proyek penelitian ini adalah dirinya. Ia tidak memberi kesempatan kepada Edward, kepala tim tersebut untuk ikut cari perhatian juga. Mau tidak mau mereka pun mengatur waktu untuk rapat dengan kepala direktur, Pak Wangsa. Pak Wangsa mengiyakan usulan Edward. Ia tidak membantah sedikitpun dan merasa kesal karena mendapat kabar rapat yang tiba-tiba.  Prof. Rei pun mulai memperlihatkan alat yang dibuatnya. Semua terpukau dengan presentasi dari Prof. Rei mereka sangat senang karena akhirnya bisa menemukan pesan yang bisa terkirim ke masa lalu.  Usai mendengar presentasi, Pak Wangsa bertanya. “Bagaimana mereka akan menerima pesan ini?”  Prof. Rei dengan mudah menjelaskan. “Itu mudah. Pesan-pesan yang dikirim akan diterima berupa bisikan-bisikan dari telinga mereka. Semakin sering mereka mendengar bisikan-bisikan tersebut, semakin mudah bagi mereka untuk mempercayai hal tersebut.” Ucap Prof. Rei.  Pak Wangsa mengangguk dan ia bertepuk tangan sendiri lalu diikuti oleh yang lainnya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD