Andrew yang baru memarkir mobilnya, kaget melihat Emilia turun dari mobil, yang terparkir di sebelahnya.
"Pagi, Om. Hmm ... Om tajir juga ya, mobilnya lebih bagus dari yang menabrak mobil aku kemarin,"sapa Emilia, matanya mencermati mobil yang diparkir Andrew.
Andrew tersenyum
"Orang tuamu juga pasti kaya, mobil yang kamu bawa juga lebih bagus, dari yang kemaren," balas Andrew.
Emilia tertawa.
"Mobil Mamah!"
"Ada apa pagi-pagi kamu ke sini?"
"Hanya ingin memastikan, kalau Om memang benar bekerja di sini."
"Hahaha ... kamu pikir aku menipumu?" Andrew tertawa dengan suara nyaring.
"Jangan menertawaiku, jaman sekarang banyak penipu tahu!" Emilia merasa tersinggung ditertawakan.
"Apa kamu tidak ingin masuk ke dalam, siapa tahu aku ini cuma supir, atau tukang parkir. Kalau kamu ikut ke dalam, kamu baru bisa menilai, aku ini penipu, atau bukan," tawar Andrew bercanda.
Emilia berpikir sesaat .
"Om benar, baiklah aku ikut ke dalam."
Andrew melangkah diiringi Emilia.
Tiba di dalam ruangan Andrew. Emilia menatap ruangan kantor Andrew dengan seksama..
"Hmm ... nggak kalah bagus dari kantor Papahku."
Emilia mengitari ruang kantor Andrew yang luas.
"Kamu masih kuliah, Emilia, berapa usiamu?" tanya Andrew, matanya menatap wajah bule di depannya.
"Aku kuliah sambil bekerja, bantu di perusahaan Papa. Umurku dua puluh dua, kenapa? Apa anak Om seumuran aku?" tanya Emilia menyelidik. Andrew tersenyum pahit.
"Ayahmu, atau ibumu yang bule?" tanya Andrew lagi, tanpa menjawab pertanyaan Emilia.
"Mamaku bule, Papaku asli Indonesia."
Andrew mengamati wajah Emilia. Ia merasa pernah bertemu sebelumnya.
"Apa kita pernah bertemu sebelumnya, Emi?" Andrew tak bisa menahan rasa penasarannya.
"Tentu saja pernah!" jawab Emilia. Andrew mengernyitkan keningnya.
"Di mana?di Belanda?" Andrew semakin penasaran. Emilia gelak tertawa, suara cemprengnya membuat sakit telinga Andrew
"Kenapa tertawa, Emi, aku serius bertanya!" Andrew merasa tawa Emi sangat mengganggunya.
"Om lucu, kita baru bertemu beberapa hari lalu, masa Om lupa. Aduuuh nggak menyangka, orang seganteng Om ternyata pelupa. Oh iya, Om sudah tua, jadi maklum kalau sudah pikun, hihihihi ...."Emi terkikik kecil sambil menutup mulutnya.
Andrew ternganga mendengarnya, dia sudah berpikir keras, pernah bertemu di mana sebelumnya, ternyata Emi hanya menggodanya.
'Ya Tuhan ....
Bagaimana orang tua gadis ini bisa tahan, dengan sikapnya yang seperti ini, belum lagi suaranya yang cempreng itu hhhh ....'
"Eh, Om belum jawab pertanyaanku, Om punya anak seumuran aku nggak? Kalau dilihat usia om pasti sudah empat puluhan."
Emilia menatap Andrew, dari ujung kaki sampai ujung kepala, tanpa sungkan. Justru Andrew yang merasa jengah.
"Umurku hampir empat puluh tujuh, dan aku belum pernah menikah," jawab Andrew.
"What? Belum pernah menikah?jangan bohong, Om. Papaku sama umurnya dengan Om, sudah punya anak dua. Kalau aku lulus SMA langsung menikah seperti omaku, pasti papaku, sudah punya cucu. Tapi sayangnya, aku belum ingin menikah," cerocos Emilia.
"Kamu sudah punya pacar?" tanya Andrew. Emilia menganggukkan kepala.
"Sudah, kenapa? Jangan bilang Om mulai naksir aku ya!" Emila memelototkan matanya ke arah Andrew.
Andrew tertawa.
"Mana mungkin aku naksir sama kamu, kamu yang mengatakan aku seumuran Papamu."
"Om pernah patah hati ya?" Emilia mendekati Andrew. Andrew terdiam sesaat
"Pacar Om selingkuh ya?" tanya Emilia lagi, karena Andrew tak menjawab pertanyaannya. Kepala Andrew menggeleng
"Om gay ya?" pertanyaan yang membuat mata Andrew melotot.
"Aku normal, Emi!" seru Andrew gusar.
"Ya lantas kenapa Om belum menikah sudah setua ini?" tanya Emilia tidak sabar.
"Dulu aku meletakan cintaku di tempat yang salah."
"Maksud, Om?"
"Wanita yang kucintai ternyata istri orang?"
"What?"
"Sayangnya, aku belum bisa melupakan dia sampai saat ini, padahal aku sudah lari ke Belanda selama puluhan tahun."
"Om masih berharap bisa bersatu dengan cinta sejati Om?" tanya Emilia serius, Andrew tersenyum pahit.
"Entahlah, aku juga tidak tahu, apa aku masih mengharapkannya, yang pasti aku masih mencintainya saat ini."
"Aduh, Om, setia banget yaa."
"Kenapa aku cerita masa laluku ke kamu?" Andrew tertawa pelan.
"Mungkin karena aku mirip cewek, cinta sejati Om itu"
Andrew tergelak
"Bagaikan langit, dan bumi, Emi. Dia asli Indonesia, kecil mungil, hitam manis, menggemaskan." Andrew membayangkan sosok Tiara.
"Hahaha ... begitu ya, Om. Ya sudah, aku mau kuliah dulu, nanti kalau mobilku sudah selesai diperbaiki, aku ke sini lagi, menagih uangnya sama Om. Semoga Om, bisa bersatu dengan cinta sejati Om." Emilia melangkah ke pintu.
"Oke, kuliah yang bener ya, Emi," pesan Andrew.
"Pesan Om, persis pesannya Opaku, hehehe ... bye, Om!" Emilia melangkah pergi.
Andrew masih memikirkan wajah Emilia, seperti tidak asing baginya.
'Mirip siapa yaa?'
********
Sekar mengayuh sepedanya pelan, menuju pulang ke rumah, tiba-tiba stang sepedanya tersenggol, stang motor yang melaju di sebelahnya. Sekar hilang keseimbangan, karena banyak batu-batu material bekas perbaikan jalan yang berserakan. Sekar terjatuh, ditimpa sepedanya, pengendara motor cepat turun menolongnya.
"Eeh, maaf ya, Dek. Maaf nggak sengaja menyenggol sepedamu, maaf ya ...." Si penabrak menuntun Sekar untuk duduk di trotoar.
"Nggak apa-apa, Kak," jawab Sekar, sikunya berdarah, merembes di lengan panjang baju seragam. Sekar berusaha menutupi dengan tasnya. Lututnya juga berdarah, rok dibagian lutut sampai bolong, ditutupi Sekar dengan telapak tangannya.
"Kita ke rumah sakit ya, Dek, mungkin ada yang luka,"
tawar si penabrak.
"Eeh, nggak terima kasih, Kak Kakak pergi saja, aku nggak apa-apa. Rumahku juga sudah dekat." Sekar menunjuk ke jalan arah rumahnya.
"Oh ya, kenalkan aku Adytia, aku selolah di SMK, kamu sekolah di SMP itu kan, aku lagi buru-buru, Dek, Aku janji, besok aku akan ganti biaya berobat, dan perbaikan sepedamu."
"Eeh, nggak usah, Kak. Aku benar nggak apa-apa kok," jawab Sekar sambil berdiri.
"Benar nggak apa-apa, namamu siapa?"
"Sekar, Kakak pergi saja, aku baik-baik saja."
"Baiklah, sekali lagi maafin aku ya, Sekar. Besok aku tunggu kamu di depan sekolahmu." Adyt pergi sebelum Sekar sempat protes.
Terpaksa Sekar menuntun sepedanya, ke bengkel sepeda yang ada di depan jalan masuk ke perumahan. Stang sepedanya sedikit bengkok.
Dengan sedikit tertatih, Sekar berjalan pulang. Sampai di rumah, dilihatnya mobil Sakti terparkir di halaman.
"Assalamualaikum," salam Sekar, diraih, dan diciumnya punggung tangan Sakti.
"Walaikumsalam, dari mana saja kamu? Ini sudah lewat waktunya pulang?" tanya Sakti, matanya menatap wajah Sekar yang meringis ambil memegangi siku. Sakti kaget, melihat lengan baju Sekar yang berdarah.
"Ya Tuhan ... kamu kenapa, Sekar, ini kenapa luka begini?" Tanpa sadar, Sakti mencekal lengan Sekar, membuat Sekar merintih.
"Auww sakit!"
Didudukkan Sekar di sofa.
"Teh ... Teh Euis;"
"Ya, Mas, ya Allah, tanganmu kenapa, Sekar?" tanya teh Euis cemas.
"Ambilin kotak obat di mobil. Eeh ambil dulu air hangat sama lap bersih!" perintah Sakti.
Cepat Teh Euis melaksanakan perintah Sakti.
"Aku nggak apa-apa, ini cuma luka kecil." Sekar berusaha membuat Sakti tenang. Sakti yang kesulitan menggulung lengan baju Sekar, langsung merobek lengan baju itu, dari bawah lengan sampai ke siku Sekar. Sekar terpekik kaget, tak menyangka Sakti merobek lengan bajunya.
Baru kali ini Sakti melihat lengan Sekar, karena Sekar selalu memakai baju lengan panjang, juga celana, atau rok panjang untuk bawahannya.
Sakti tertegun sesaat, menatap lengan putih Sekar, yang sangat kontras dengan darah yang mulai mengering di sikunya. Pelan Sakti membersihkan luka Sekar. Sekar meringis menahan sakit.
"Kamu jatuh dari sepeda?" tanya Sakti. Kepala Sekar mengangguk.
"Kok bisa?"
"Jalannya kotor, banyak bekas material jalan yang belum dibersihkan." Sekar tak ingin menceritakan kalau habis tersenggol motor.
"Untung bisa sampai rumah, bawa sepedanya dengan tangan luka begini."
"Ehhh ... sepedanya di bengkel depan, stangnya bengkok sedikit, nggak enak buat dipakai."
"Jadi tadi kamu jalan dari depan ke rumah?"
Kepala Sekar mengangguk.
Tanpa sengaja, lutut Sakti menyenggol lutut Sekar, Sekar meringis. Sakti baru melihat, kalau rok Sekar bolong, dan berdarah. Cepat Sakti menyingkap rok Sekar sampai ke atas lututnya. Wajah Sekar memerah, seumur hidup baru, kali ini kakinya dilihat orang, karena sejak kecil, Bapaknya memakaikan pakaian tertutup, meski tidak berhijab.
Sakti kembali tertegun sesaat, melihat kaki Sekar yang putih mulus. Sakti membungkuk, membersihkan, dan mengobati luka Sekar.
"Besok tidak usah sekolah kalau masih sakit." Sakti membereskan kotak P3K miliknya.
"Aku nggak apa-apa, masih bisa sekolah," jawab Sekar lirih.
"Ya sudah, besok tunggu aku, jangan pergi sendiri, kamu pasti susah jalankan, biar aku yang antar ke sekolah."
Sekar menggelengkan kepalanya.
"Ayah nggak usah repot-repot, aku bisa minta bonceng Kak Rama, nanti berangkat sekolah."
"Ooh ... begitu, ya sudah, Teh ... Teh Euis, aku pulang dulu!" Tanpa pamit pada Sekar, Sakti ke luar dari rumah, ia langsung masuk ke mobilnya. Teh Euis, dan Sekar saling pandang.
"Ayah marah ya, aku salah apa?" tanya Sekar bingung.
Teh Euis hanya menggeleng.
"Nggak tahu, Sekar, tadi kalian ngomongin apa?" tanya Teh Euis.
"Ayah bilang mau mengantarku ke sekolah besok, tapi aku nggak mau," jawab Sekar pelan.
"Ya sudah, mungkin Mas Sakti cuma buru-buru saja, kita makan yuk," ajak Teh Euis, Sekar mengangguk.
Sakti bingung dengan dirinya sendiri,
'Seperti ada yang tidak beres dengan diriku. Mungkin aku perlu ke psikiater. Kontrol dirimu, Sakti, jangan lepas kontrol, dari sekarang lebih baik menghindar bertemu dengannya, sebelum semuanya terlambat. Ingat amanah almarhum Bapaknya.'
Sakti menghela nafas berat.
'Maaf, Sekar, aku tidak bisa jadi Ayah yang baik untukmu. Mulai saat ini, aku tidak akan menemuimu lagi, biar Randi yang akan mengawasimu. Aku takut apa yang ada di hatiku saat ini, akan berkembang, jika aku tidak mengakhirinya dari sekarang.'
Masih terbayang, lengan, dan kaki putih Sekar tadi.
'Mungkin aku sudah gila, karena merasa tergoda dengan tubuh anak kecil. Apa aku p*******a, oh no ... jangan sampai. Tapi perasaanku, kenapa ada yang aneh, saat Sekar menyebut nama lelaki lain. Apa aku cemburu?
Ya Tuhan ....
Aku ini harusnya bisa bersikap sebagaimana seorang ayah. Sekar pasti bingung, kenapa aku tiba-tiba pergi tanpa pamit. Hhhhh ... kekanakan sekali sikapku tadi.'
-----
Sekar menatap ponsel di tangannya, bungkusan yang diberikan Sakti beberapa hari lalu, isinya ponsel. Hatinya tengah menimbang-nimbang, untuk menelpon Sakti, atau tidak. Sekar masih penasaran, kenapa Ayahnya itu pergi tanpa pamit.
'Apa Ayah marah? Apa aku ada salah?'
Sekar meletakan ponselnya, ia memutuskan untuk tidak jadi menelpon Sakti.
'Mungkin Ayah cuma buru-buru,' batinnya.
***Bersambung***